17. NAS! - Romantisme Rakyat Eksklusif

1422 Kata
Mobil elf pariwisata berjalan perlahan menerjang jalanan sempit nan berkelok-kelok dan naik turun yang ada di perbukitan. Sekelompok pegawai Atmajaya F&B duduk berdamping-dampingan di dalamnya, tubuh mereka berayun ke kanan dan kiri mengikuti gerakan mobil elf berukuran cukup besar itu. Kelompok pegawai itu berasal dari divisi keuangan dan divisi CSR yang tergabung dalam satu kendaraan, mereka sedang dalam perjalanan menuju sebuah hotel tempat mereka menginap dan melepas lelah. Sepanjang hari ini mereka melakukan outbound untuk melatih teamwork dan menguji kekompakan antar divisi di salah satu area outing terbesar di area pariwisata terdekat. Dengan pelatih professional dan bimbingan yang telaten, mereka semua berhasil melewati acara itu dengan baik tanpa ada cedera satu pun selama melakukan berbagai kegiatan mancakrida yang telah dipersiapkan. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan di antaranya adalah permainan, stimulasi, diskusi dan petualangan yang dilakukan di tengah alam terbuka yang  akan melatih mereka untuk berkembang, menyegarkan suasana, dan melepas penat yang ada. Nas menguap di kursi paling belakang mobil elf, lalu menyandarkan punggung sambil mencari posisi yang amat sangat nyaman di sana. Dirinya kelelahan setelah sepanjang siang menghabiskan waktu di tengah alam terbuka, apalagi dirinya terpaksa harus mengikuti kegiatan arung jeram bersama yang lainnya. Nas tidak bisa berenang, jadi Nas dibuat panik sepanjang waktu karena terpaksa berada di atas permukaan air berarus deras di tengah musim hujan. Siksaan arung jeram itu pun berakhir, digantikan dengan siksaan kantuk yang menyerbu dan badan yang pegal-pegal. Nas tidak habis pikir, dari mana ide gathering perusahaan ini muncul tiba-tiba. Padahal Nas sudah menghela nafas lega ketika mendengar pengumuman mengenai batalnya acara gathering tahunan ini karena perusahaan sedang mengalami krisis beberapa bulan sebelumnya. Tapi tiba-tiba saja, sekonyong-konyong, pengumuman pembatalan itu berubah dua minggu lalu, ternyata acara gathering tahunan perusahaan tetap diadakan walau mereka tidak harus pergi jauh-jauh keluar kota maupun provinsi, mereka tetap mengadakan gathering di daerah mereka sendiri. Perubahan pengumuman yang tiba-tiba itu membuat banyak karyawan yang memprotes, karena acara ini diadakan tepat pada tanggal 1 dan 2 Januari alias Sabtu dan Minggu yang seharusnya menjadi hari libur panjang akhir tahun, tapi mereka malah harus mengikuti gathering selama dua hari satu malam ini! Mau tidak mau mereka akhirnya membatalkan acara akhir tahun yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari demi mengikuti acara. Nas mendesah lelah, seharusnya ini adalah hari dimana ia bisa rebahan total di rumah. Mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang kelelahan bekerja, bukannya melakukan kegiatan di alam seperti ini. Ia merasakan tubuhnya pegal-pegal sekali, sementara pikirannya melayang pada Ba’da subuh tadi pagi saat Dhika menjemputnya di rumah untuk pergi bersama ke perusahaan. Mereka wajib berkumpul pukul enam pagi dan tidak boleh terlambat sama sekali. Oleh karena itu Dhika sudah duduk santai menikmati udara dingin di teras rumahnya saat langit masih sangat gelap, lelaki itu bahkan salat subuh di masjid dekat rumah. Entah jam berapa Dhika berangkat dari tempat tinggalnya hanya untuk menjemput Nas. Di teras rumah, Dhika ditemani Abah berbincang-bincang sambil menikmati kopi panas yang Ambu sajikan sambil menunggu Nas yang tak kunjung menyelesaikan persiapannya. Saat itu Ambu dan Teh Arina sibuk di dapur ketika Nas turun dan meletakkan barang-barangnya di ruang tamu. Dari ruang tamu yang hanya terpisah dengan jendela yang tertutup tirai itulah Nas bisa mendengar percakapan Dhika dan Abah di luar sana. Di subuh buta, Abah justru memilih membahas dan mempertanyakan masalah serius itu. Di waktu ketika banyak orang seharusnya baru bangun tidur dan belum sepenuhnya sadar dengan isi kepala mereka, Abah mempertanyakan tujuan Dhika mendekati putrinya. Abah meminta kejelasan Dhika yang diucapkan secara langsung dan gamblang. Bukan hanya melalui tindakan-tindakan yang selama ini anak muda itu lakukan. Dhika menjawab dengan sangat lancar dan jelas, membuktikan bahwa pria itu tidak sedang melindur. Dhika benar-benar dalam kesadaran penuh saat mengatakan bahwa ia mendekati putri Abah karena tertarik dan ingin mengenal lebih jauh, bahwa ia sudah menyukai putri bungsu Abah sejak pertama bertemu dan memiliki rencana untuk menikahinya. Jika Abah mengizinkan, maka Dhika akan memperkenalkan keluarganya pada keluarga Abah. Walau ia bisa menebaknya, tapi Nas tetap terkejut dengan rencana Dhika untuk menikahinya. Entah mengapa, ide itu seperti melayang di seluruh penjuru rumah hingga membuat Nas ingin menepis ide itu jauh-jauh dari benak semua orang! Dhika ingin menikahinya? Apakah dirinya sudah siap? Apakah dirinya sudah mampu untuk melakukan pernikahan? Apakah dirinya bisa menghadapi seorang pria tanpa gemetar? Nas sampai menahan nafas untuk menunggu jawaban Abah terhadap permintaan Dhika itu, tubuhnya kaku dan tegang setengah mati karena rasa takut yang menerpanya. Abah sangat menyukai Dhika, Ambu juga sangat menyanjung Dhika. Bagaimana jadinya jika kedua orang tuanya menerima Dhika tanpa sepertujuannya? “Abah tidak bisa memberikan jawaban. Nak Dhika tanyakan pada Dek Nas saja. Tapi Abah mohon, apa pun keputusan Dek Nas, Mas Dhika jangan tersinggung ya.” Nas menghembus lega, ia tegang setengah mati sambil menunggu jawaban Abah. Ternyata Abah masih menyayanginya, sebanyak apa pun kekhawatiran beliau tentang persoalan jodoh anaknya, tidak serta merta membuat Abah sembarangan dalam menerima siapa pun yang datang untuk meminang. Tapi ada sebersit nyeri tak kasat mata yang mencubit dadanya. Kalimat Abah menunjukkan betapa ia ragu dan memiliki pemikiran negatif tentang keputusan yang akan Nas tetapkan. Abah seolah sudah memprediksi bahwa putrinya akan menolak pria yang satu ini juga. Nas meremas kain pakaiannya kuat-kuat, seluruh hatinya dipenuhi rasa bersalah yang teramat sangat. “Maafkan Nas, Abah…” *** “Nas dicari Dhika.” Ujar Bu Santi dari luar kamar. Nas segera memasukkan tas travelnya ke dalam lemari, lalu berkaca sebentar untuk memastikan penampilannya baik-baik saja setelah perjalanan yang ia tempuh dari tempat outbound hingga sampai di hotel yang terletak di atas area perbukitan. Hotel bergaya modern semi minimalis yang sebagian  besar accessories bangunannya dihiasi material kayu-kayuan yang mengkilap sehingga membuatnya terlihat sangat cocok berada di tengah area wisata hutan yang ada di sekitar. Nas menutup pintu kamar di belakangnya dan menemukan teman-temannya sedang mengobrol di teras kamar. Sejak sore hingga esok pagi tidak ada jadwal yang disiapkan oleh panitia, sehingga setiap karyawan memiliki waktu bebas untuk melakukan kegiatan yang mereka inginkan. Ada wisata perkebunan, ada pasar dadakan dan rekreasi lainnya yang berjarak dekat dengan hotel ini. Semua bebas memilih pergi kemana pun asalkan tetap dalam pantauan tim panitia. “Nas, kita mau berkunjung ke kebun strawberry, kalau urusanmu dengan Dhika sudah selesai, kalian menyusul saja ya!” Jelas Bu Santi, kemudian pergi bersama teman-teman lainnya setelah menerima anggukan dari Nas. “Ayo...” Ajak Dhika sambil mengulurkan tangannya. “Kemana, Mas?” “Ke tempat dimana kita bisa mengobrol sambil mendengarkan musik.” Nas melipat kedua lengannya di depan perut, entah mengapa ia merasa defensif tiba-tiba. Padahal Dhika hanya mengajaknya mengobrol, tapi kenapa ini terasa seperti pergi ke tempat penjagalan? “Saya yakin, Dek Nas pasti suka berada di sana!” bujuk pria itu. Seharusnya tadi ia memilih ikut pergi ke kebun strawberry dan mengajak Dhika mengobrol di sana saja, setidaknya di sana akan ramai bersama teman-temannya dan dia tidak perlu berduaan dengan pria ini. Tapi bagaimana caranya menolak pria yang sedang dipenuhi binar-binar riang gembira ini? “Ya sudah, Ayo…” Nas merasa buntu dan tidak memiliki solusi untuk menolak Dhika, jadi ia memilih berlalu terlebih dahulu mengabaikan tangan Dhika yang masih terulur untuknya. Dhika mengabaikan sikap Nas itu dan menyusulnya dari belakang. Mereka keluar dari area hotel dan berbelok ke kiri, melangkah pada jalan aspal yang menurun tajam ke bawah. Sepanjang perjalanan kaki mereka, Dhika benar-benar melindunginya dari jalanan yang tidak memiliki trotoar. Dengan sengaja pria itu berjalan di depan Nas dan mengambil risiko untuk berhadap-hadapan langsung dengan kendaraan yang sedang menanjak maupun menurun. Setelah beberapa menit, sampailah keduanya di sebuah tempat yang sangat ramai. Terlihat banyak orang yang  sedang mengantre. Di kejauhan sana, Nas melihat Pak Lek –yang kini ia tahu nama aslinya adalah Leksono, sedang berdiri di samping sebuah gerbang kecil yang dijaga oleh para polisi. Dhika dan Nas berjalan menuju Pak Lek, lalu salah seorang polisi membukakan gerbang kecil agar mereka bisa masuk. Nas termenung sesaat. Tanpa tiket, tanpa kerepotan dan tanpa antrean yang mengular sama sekali? Belum sempat Nas mendapat jawaban atas pertanyaan dalam benaknya itu, Nas kembali dibuat terheran-heran dengan lingkungan yang ia masuki. “Ini tempat apa, Mas?” “Tempat konser musik Jazz. Ayo kita duduk di atas!” *** Catatan kaki: 1.       Mancakrida adalah suatu bentuk pembelajaran perilaku kepemimpinan dan manajemen yang dilakukan di alam terbuka dengan pendekatan yang sederhana dan efektif. Kegiatan ini diyakini akan meningkatkan pengembangan baik secara individu maupun tim dengan melakukan berbagai kegiatan yang telah dirancang dengan baik oleh pihak professional. Kegiatan disusun dengan menyenangkan sehingga semua pegawai perusahaan atau kelompok belajar bisa melepas beban dan stress pekerjaan untuk sejenak bermain-main dengan alam. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN