16. DHIKA! - Romantisme Rakyat Biasa

2004 Kata
Sepanjang sisa hari itu Dhika disibukkan oleh kegiatan memancing dan berkeliling mengecek pohon-pohon yang ada di kebun Pakde, sesekali mendekat setiap kali Ambu memanggil untuk merecokinya sekedar menawarkan camilan, minuman, ataupun makan siang. Dhika melakukan banyak hal yang membuat para orang tua yang ada di sana menyukainya, dimulai dari membantu membakar ikan dan udang hasil mancing –siapa yang menyangka jika ternyata Dhika pintar membakar ikan, pria itu berhasil membakar ikan dengan kematangan yang pas dan tidak terlalu gosong kulitnya. Dhika juga membantu Paklik yang kesulitan dalam mengangkut hasil panen buah dan melakukan banyak hal lainnya, kecuali satu hal, yaitu mendekati Nas. Tentu saja Nas menyadari sikap Dhika yang seolah menghindarinya itu. Setelah salat duhur, Dhika seolah menjauhi Nas dan enggan berada dekat-dekat dengannya. Pria itu akan pergi kemanapun asal bukan ke tempat Nas berada, pria itu akan melihat kemanapun asal bukan ke tempat Nas berada. Sikap Dhika itu membuat Nas bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa dia telah melakukan kesalahan? Apa dia telah menyinggung perasaan Dhika? Tapi sayangnya, Dhika tetap menjauhinya, bahkan ketika acara selesai dan Dhika berpamitan pada Ambu dan Abah untuk pulang secara terpisah karena Pak Lek sudah menjemputnya di luar pemancingan. Dhika pergi tanpa melirik padanya sama sekali. Sikap itu membuat Nas merasakan kegamangan dihatinya atas perubahan Dhika, membuatnya mempertanyakan alasan perubahannya, apakah dirinya benar-benar telah berbuat salah? *** Tiga hari berlalu setelah acara memancing, ia tidak pernah berpapasan dengan Dhika. Pria itu seolah menghilang ditelan bumi. Jika sebelumnya pria itu selalu muncul tiba-tiba entah dari mana, tapi tiga hari belakangan, pria itu bahkan tidak terlihat di kantin sekalipun. Sampai-sampai Nas tidak tahan lagi dan terdorong untuk pergi ke masjid demi mengecek keberadaan Dhika. Dia benar-benar ada di sana, baru keluar dari tempat wudhu dengan tubuh yang sebagian besar telah terbasuh oleh air yang mensucikannya. Pria yang sedang menyugar rambutnya itu tersadar bahwa dirinya tengah diperhatikan dan menemukan Nas menatapnya dari kejauhan. Senyum kecil muncul dari bibirnya, senyum yang terlihat asing dan sangat bukan Dhika. Entah apa makna dibalik senyuman yang terlihat penuh ironi itu. Baru saja Nas akan berjalan mendekat, Dhika berbalik, dan memasuki masjid. “Dih, apa sih salahku?” Nas berdiri di depan masjid dengan keras kepala menunggui Dhika selesai ibadah. Ketika lelaki itu selesai, Nas mendekatinya, dan duduk di samping Dhika yang sedang mengenakan sepatunya kembali. “Mas Dhika, saya minta maaf…” ujarnya tanpa basa-basi. Spontanitas Nas tersebut cukup mengejutkan Dhika hingga pria itu menegakkan punggung dan mengabaikan tali sepatu yang belum terikat sempurna. Dhika menatapnya dengan mata penasaran, memperhatikan Nas dari ujung kepala hingga kaki. Memastikan bahwa wanita yang meminta maaf di sampingnya adalah benar-benar Nas. “Saya yakin, saya punya salah. Makanya sikap Mas Dhika berubah begini. Saya minta maaf…” Pria itu memperhatikan pipi Nas yang memerah, sikap tubuh yang canggung dan kedua tangan yang mengepal erat di sisi tubuh. Nas merasa gugup diperhatikan sedemikian rupa tanpa jawaban sama sekali atas permintaan maaf yang dia sampaikan. Sampai kapan pria ini akan berdiam diri dan mengacuhkannya! “Oh iya, Abah mengundang Mas Dhika ke rumah nanti malam, tapi kalau Mas Dhika tidak bersedia, tidak apa-apa. Tidak usah memaksakan diri untuk datang, apalagi mengikuti acara yang tidak seru yang diadakan oleh orang-orang lanjut usia!!” Nas lalu bangkit dan meninggalkan Dhika tanpa memberi kesempatan pria itu untuk menjawab sama sekali. Dhika yang terpaku dalam kebingungan atas permintaan maaf Nas yang sangat tiba-tiba itu mengernyitkan kening, dan tersadar… “Dia sedang merajuk, kan?” Dhika menggelengkan kepala tidak habis pikir, senyumnya terkembang hingga menampilkan gigi-gigi putihnya! Dasar anak Ambu yang manja, bisa-bisanya dia merajuk dengan cara yang menggemaskan seperti itu. Datang secara tiba-tiba, sambil menahan malu dan gugup, ia meminta maaf atas kesalahan yang dia tahu tidak pernah diperbuatnya dengan raut cemberut dan bernada ketus, apalagi kalau itu bukan merajuk! Ditambah lagi sindiran Nas yang mengenainya, Nas menegurnya agar tidak usah datang ke acara tidak seru yang diadakan oleh para lanjut usia dan secara tidak langsung memintanya menolak undangan Abah. “Gadis itu lucu sekali…” Dhika menyadari sikap diam dan menghindarnya telah mengganggu Nas dan membuat wanita itu berpikir bahwa dirinya berubah karena acara memancing kemarin. “Padahal bukan itu penyebabnya. Saya tidak berubah, Saya hanya sedang berpikir ulang tentang segalanya.” Tapi melihat kegundahan Nas atas kediamannya selama tiga hari ini, membuat beban dan patah semangat yang menggayuti Dhika selama berhari-hari menguap begitu saja. Ada cahaya harapan yang terpercik di depan matanya. Secepat kilat Dhika mengenakan sepatu dan mengikat talinya dengan sempurna. Lalu menyusul Nas yang berjalan terburu-buru di depan sana. “Ayo makan siang.” Ajak Dhika saat berhasil menyejajarkan langkahnya di samping Nas, Dhika meraih pergelangan tangan Nas hingga wanita itu terkejut oleh perlakuan Dhika tersebut. Nas mencoba melepaskan genggaman Dhika, tapi selalu gagal karena genggamannya terlalu kencang. “Harus dipegang supaya anak Ambu tidak hilang.” ujar Dhika sambil menunjuk kedua tangan mereka. *** Nas terdiam melihat helm pink berinisial N yang disodorkan Dhika, lalu membandingkannya dengan helm biru muda yang berinisialkan D yang sedang dikenakan Dhika. Walaupun Nas tidak pernah merasakan pacaran saat remaja, tapi helm-helm ini membuatnya merasa seperti remaja yang mengenakan helm couple ke sekolah. Membuat teman-teman sekolah iri melihat kekompakan dirinya dan sang “pacar remajanya”. Bedanya ini terjadi di usianya yang ke dua puluh tujuh dan diberikan oleh lelaki yang mungkin sudah berusia tiga puluh tahun lebih yang sedang duduk tenang di atas motor Matic yang terlihat amat kecil dibandingkan dengan tubuh pengemudinya. “Ayo, Dek.” tegur Dhika saat Nas masih terdiam memandangi helm itu. Nas mengangkat pandangannya dan menyadari ada seberkas merah yang muncul di pipi pria itu. Pasti pria itu merasa malu juga ‘kan, dengan helm couple seperti ini diusia yang sebanyak ini? Nas memakai helm pemberian Dhika, ternyata itu adalah helm baru yang sangat pas dan nyaman di kepalanya. “Pegangan, Dek.” perintah Dhika ketika Nas sudah duduk di belakangnya. “Sudah, Mas.” Jawab Nas singkat. Dirinya merasa grogi bukan main. Ini adalah pertama kalinya ia bonceng motor dengan seorang pria selain Abah dan Aa kandungnya. Dhika meraba-raba pinggangnya, “Mana, enggak ada?” “Duh kenapa sih dia harus bersikap begini…bikin malu saja.” “Saya pegangan besi motor, Mas…” ujar Nas dengan gugup. Dhika terdiam sejenak, mengingat-ingat apa benar ada besi yang bisa dijadikan pegangan? “Pegang erat-erat ya, Dek.” Pinta Dhika akhirnya. “Iya, Mas…” Motor skuter matik itu pun bergerak membelah jalanan, mengantarkan mereka hingga sampai ke rumah Nas dengan selamat. Dhika mengendarai motor itu dengan sangat hati-hati dan perlahan, seolah enggan membuat Nas terguncang-guncang selama perjalanan. Tapi akhirnya, jarak yang seharusnya ditempuh selama beberapa saat saja, menjadi dua kali lipat lebih lama. Entah pria itu sengaja melakukannya agar perjalanan mereka lebih lama, atau memang ingin berhati-hati saja. Pria itu tidak tahu bahwa ada hati yang berdebar-debar sepanjang perjalanan pulang, bukan berdebar karena takut terjatuh dari motor tapi berdebar karena entah mengapa hatinya begitu bersemangat, dan begitu grogi disaat yang bersamaan. Sementara bagi Dhika, perjalanan motor itu terasa begitu serene, sejuk dan menenangkan. Menempuh jarak sejauh apapun, asalkan tahu Nas aman berada di belakang perlindungannya membuat Dhika sangat senang. Polusi yang dia hirup, terik sore yang sejuk dan redup, pengamen yang silih berganti mendekat di lampu merah, sama sekali tidak memberatkannya. Ia tidak akan pernah menolak untuk membonceng Nas kemanapun wanita itu ingin pergi, Dhika akan siap dengan kendaraan lucunya ini untuk menjadi tukang ojek pribadi Dek Nas nya yang manis ini. Sesampainya di rumah, Dhika langsung bertemu dengan Abah dan Ambu yang telah siap di pagar rumah. “Assalamualaikum…” Salam Nas dan Dhika bersamaan. “Wa’alaikumsalam, Nak.” jawab Abah dan Ambu. “Nak Dhika sekarang bawa motor?” tanya Ambu. “Baru mulai hari ini Ambu...” “Bagus, dengan begitu Nak Dhika bisa antar Dek Nas pulang ke rumah.” “Ambu!” tegur Nas. “Kalau Nak Dhika tidak sibuk, Dek…” kilah Ambu. “Ambu…” Nas merajuk. Ambunya ini susah dibilangin. “Iya, Ambu. Itu tujuan Dhika membeli motor ini.” Tidak hanya Nas, tapi Ambu dan Abah pun terkejut mendengar jawaban Dhika yang kelewat jujur hingga mereka semua terdiam. “Mas Dhika, nggak terbiasa ngegombal ya? Itu pipinya merah sekali…” goda Teh Arina sambil cekikikan, merasa lucu melihat situasi canggung yang tercipta di antara Dhika dan keluarganya. “S-Saya… tidak bermaksud menggombal…” Dhika mulai menggaruk lehernya, pipinya semakin merah karena tuduhan menggombal itu, “S-saya hanya mencoba jujur.” Kali ini Teh Arina yang terdiam kikuk dengan kejujuran Dhika itu. “Sudah, sudah. Ayo motornya diparkir di dalam gerbang, sebaiknya kita langsung pergi sebelum kemalaman…” “Kita mau ke mana, Abah?” tanya Nas yang tidak tahu menahu rencana apalagi yang Abahnya buat hari ini. “Ke toko alat memancing, Abah sudah berjanji kepada Nak Dhika untuk mengantarnya ke sana...” “Nas dan semuanya harus ikut?” “Ya, Iya dong, Dek! Kan sekalian makan malam di luar, gimana sih!” Sahut Teh Arina, lalu masuk ke dalam mobil yang sudah diparkir di luar. Bahkan Restu dan Rama sudah duduk dengan tenang sambil bermain-main di kursi belakang. *** Suara nyanyian pengamen memenuhi warung lesehan tempat Nas dan keluarganya duduk menanti makanan. Warung pecel lele di pinggir jalan ramai pengunjung yang datang silih berganti. Nas menikmati nyanyian pengamen itu, suaranya yang bagus mendendangkan lagu cinta yang terkenal sejak dirinya remaja. Membawanya bernostalgia pada masa-masa itu, masa di mana dia hanya memikirkan tentang PR sekolah, kesenangan bermain, berteman, dan penasaran tentang: hari ini Ambu masak apa? Tidak seperti masa dewasanya yang entah mengapa selalu terasa berat dan penuh aral rintangan. Walau begitu Nas merasa beruntung, ia telah berhasil melewati semua masalah itu dan melanjutkan hidup dengan lumayan baik. Walau lulus tidak tepat waktu dan sempat sulit mencari pekerjaan, tapi kini Nas bekerja di salah satu perusahaan besar di negeri ini. Walaupun dihantui kenangan buruk masa lalu, tapi ia berangsur-angsur pulih dengan baik. Walaupun Abah sempat koma dan terpuruk, tapi kini beliau sudah sehat kembali. Nas mensyukuri itu semua, sekecil apa pun kebaikan yang terjadi dalam hidupnya. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri, kepada terapisnya, kepada seluruh semesta bahwa dia hanya akan memikirkan hal-hal baik saja. Bahkan kedekatan Dhika dengan keluarganya, kejujuran Dhika untuk mendekatinya, Nas mencoba menganggap itu semua sebagai berkah atau kebaikan dalam hidupnya. Ia tidak mencoba untuk menolak kebaikan itu dan lebih memilih untuk membiarkan semuanya berproses sesuai kehendak Semesta kepadanya. Nas tidak ingin berpikir terlalu jauh mengenai Dhika, dan ia tidak ingin mengabaikan Dhika sebagaimana dirinya mengabaikan pria-pria sebelumnya. Dhika begitu disukai oleh keluarganya, jadi pasti sulit untuk mengabaikan Dhika apalagi melarang pria itu untuk datang menemui Abahnya. Abah seperti mendapatkan teman baru yang sehobi dan menyenangkan, ia lupa bahwa Dhika adalah anak muda yang baru dikenalnya, ia lupa bahwa Dhika lebih muda darinya untuk dianggap teman, tapi pembawaan Dhika yang kadang terlalu serius dan kolot itu memang cocok untuk bergaul dengan orang tua seperti Abah dan Pakde-pakdenya. Lihat bagaimana wajah semringah Abah setelah berbelanja perlengkapan memancing bersama Dhika, mereka masih asyik membicarakan itu semua sambil makan pecel lele ditemani segelas teh manis. “Mas, kok makannya sedikit?” tanya Nas saat melihat isi piring Dhika yang masih setengah penuh. “Bukan seleranya, ya?” tanya Nas curiga. “Engga kok, saya suka!” langsung saja Dhika menyuap nasi uduk itu banyak-banyak. Mencoba membuktikan pada Nas bahwa dirinya suka makanan lesehan yang mereka sambangi. Padahal sesungguhnya, ia sangat tidak suka dengan makanan itu, walau hatinya cukup senang dengan suasana yang ada. Tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya, ia akan berada di lesehan yang terbentang di sebuah teras warung sembako yang sudah tutup dan terletak di pinggir jalan. Menikmati keremangan cahaya, sambil mengobrol dengan sebuah keluarga yang harmonis dan makan ikan lele yang terlihat gelap dan absurd bentuknya ini. Tidak pernah. Dhika sama sekali tidak pernah membayangkan semua ini! Walau warung lesehan ini terlihat konyol baginya, tapi kondisi yang Dhika alami ini berhasil membuatnya rindu pada keluarganya. Apa jadinya jika Dhika mengajak keluarganya makan di pinggir jalan begini? Pasti mereka akan segera memeriksakan kesehatannya ke dokter, bukan? Kasihan keluarganya yang tidak pernah menikmati romantisme rakyat biasa di pinggir jalan ini. Ini adalah romantisme yang langka bagi Dhika dan keluarganya. Mungkin nanti Dhika akan mengajak mereka semua ke tempat seperti ini. Tentunya… Bersama Nas juga… Sang gadis impiannya… ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN