Terik siang yang menyengat menyapa kulit kepalanya yang terasa berat. Nas mengantuk dan kelelahan akibat persiapan pengajian bulanan yang dilakukan sejak pagi buta, bahkan Ambu tidak pergi ke toko hari ini dan menyerahkan segala urusan penjualan pada asistennya.
Pukul setengah empat pagi, Nas menemani Ambu dan Abah pergi ke pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan segar untuk dimasak hari ini. Menu makanan yang telah mereka rancangkan adalah nasi rawon, nasi pecel, buah-buahan, beberapa jenis makanan ringan dan berbagai minuman segar untuk disajikan bagi setiap tamu yang akan hadir lepas ba’da ashar nanti.
Ambu dibantu Mbak Ana –tetangga mereka-, Teh Arina –kakak sulung Nas dan Mbak Risya –kakak iparnya, untuk melakukan semua persiapan yang diperlukan.
Acara pengajian ini diadakan setiap satu bulan sekali oleh Abah dan jamaah Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Al Azhar yang dulu melakukan persiapan dan keberangkatan ibadah Haji ke tanah suci bersama. Acara dilakukan bergilir setiap bulannya di rumah jamaah yang menyanggupi kesiapan acara reuni yang mereka lakukan. Walau pada akhirnya lebih sering dilakukan di rumah Abah Susilo karena menurut banyak jamaah, rumah Abah sangat strategis dan menjadi pusat lokasi terdekat untuk semua jamaah yang berasal dari desa yang berbeda-beda.
Ada sekitar 40 orang yang solid dan kompak yang selalu hadir dalam setiap acara yang diadakan, walau sebenarnya jumlah anggota KBIH angkatan mereka jauh lebih banyak, tapi rata-rata kurang lebih 40 orang yang akan datang sore nanti.
Di tengah semua persiapan itu, Nas masih harus berangkat bekerja di hari Sabtu yang tidak ceria. Padahal ini hari libur, tapi dia terpaksa harus tetap berangkat karena ada pekerjaan yang harus segera dituntaskan karena waktu semakin sempit dan timnya harus bisa menyelesaikan laporan akhir tahun dengan tepat waktu sebelum berangkat ke acara rekreasi di minggu terakhir Desember nanti.
Mengingat semua jadwal kerjanya membuat Nas mendesah lelah. Belum apa-apa, semua energi tubuhnya sudah terasa terkuras habis begitu saja. Apalagi hari ini, matahari tengah bersinar begitu terang benderang di atas sana, membuat Nas memijit keningnya, entah kenapa perjalanan dari kantin menuju kantor yang seharusnya singkat, terasa begitu panjang dan berat.
Barusan Abah menelepon Nas dan memintanya untuk mengingatkan Mas Dhika tentang undangan pengajian Abah sore ini. Saat itu Nas cukup kaget mendengar permintaan Abah, dirinya baru tahu jika ternyata Abah telah mengundang Dhika untuk datang tanpa sepengetahuannya sama sekali.
Sejak kemarin Nas tidak bisa berpura-pura tidak tahu bagaimana cara Abah memandang Dhika, hanya sekali pertemuan dan Dhika berhasil mencuri hati Abah. Lelaki itu memang punya pesona yang luar biasa. Pendiam tapi begitu menarik perhatian. Terlihat dingin tapi sebenarnya hangat dan sopan. Abah menyukainya, harus diakui bahwa dirinya juga memiliki ketertarikan padanya, lalu jika lelaki itu datang ke rumah, sudah bisa dipastikan bahwa semua orang di rumah pun akan dengan mudahnya jatuh cinta padanya.
“Hmn... rumit!” keluh hati Nas.
Nas juga tidak tega untuk abai dengan kepedulian orang tuanya, walau selama ini ia berpura-pura bodoh dan mengabaikan segala kode yang Abah dan Ambu berikan, berupaya acuh pada pria-pria yang orang tuanya sodorkan, tapi Nas tahu betapa besar harapan mereka akan kelangsungan hidup anak gadisnya yang tak juga menunjukkan ketertarikan pada soal percintaan.
“Nas belum siap, belum mau.”
Wanita itu meremas kedua tangannya yang terjalin saling menggenggam, ia khawatir jika Dhika merasa terpaksa dan terbebani oleh semua perhatian yang akan keluarganya berikan. Ia bahkan juga khawatir jika Dhika terpaksa mengiyakan ajakan Abah atas dasar kesopanan dan merasa tidak enak jika menolak.
Nas tidak ingin Abah berharap terlalu banyak. Jadi untuk kali ini, Nas akan menuruti mau Abah, tapi lain kali Nas pasti akan memberi Abah peringatan untuk tidak sembarangan mengundang orang lain seperti ini. Nas juga akan memberi Dhika pengertian, jika memang tidak ingin berangkat, maka Dhika tidak usah merasa tidak enak untuk menolak.
Ia berbelok lalu memasuki ruang kantor. Kalau tidak salah, tadi pagi Nas melihat kehadiran Septian yang bekerja pada divisi yang sama dengan Dhika, jadi Nas fikir dirinya akan bisa mendapatkan nomor ponsel Dhika dari Septian. Tapi sayangnya, saat masuk ke area divisi keuangan berada, Nas justru tidak menemukan siapa-siapa.
Hari ini dirinya belum melihat Dhika, entah lelaki itu datang ke kantor seperti Septian atau tidak. Staff kantor pasti libur hari ini, hanya yang lembur yang terpaksa datang dan staff produksi yang tetap berjalan sesuai shiftnya.
Saat hendak berbalik untuk meninggalkan divisi tersebut, mata Nas menangkap kehadiran seseorang yang muncul secara tiba-tiba dari bawah meja yang terletak di dalam kantor manajer keuangan, ruangan itu terpisah dengan sekat kaca bening dan transparan.
Orang itu membelakangi Nas, menghadap lemari berkas yang ada di sana sehingga tidak tahu akan keberadaan Nas di ruang staff biasa.
Nas merasa mengenali punggung itu, tapi ia tidak begitu yakin.
Pikirannya melayang pada ingatan pagi tadi dan ia semakin yakin bahwa orang itu bukanlah Septian, dirinya ingat jika Septian mengenakan kemeja seragam perusahaan. Bukan kaos hitam berlengan pendek seperti itu.
Pria itu memasukkan benda kecil ke dalam saku belakang celananya, lalu bergeser menyamping untuk mengambil jaket putih yang ia letakkan di atas kursi manajer dan menyelipkan sebuah berkas yang dia lipat menjadi dua di sana. Jaket tersebut digulung-gulung hingga berkas itu tersembunyi dan tak terlihat. Nas yang masih berdiri di ambang pintu segera menyingkir keluar ruangan sambil memperhatikan semua yang terjadi.
Apa yang baru saja dia lihat?
Kenapa Mas Dhika seperti sedang mengendap-endap mengambil sesuatu yang bukan miliknya?
Kenapa Mas Dhika ada di ruang Manajer yang seharusnya dikunci itu?
Nas ingat betapa divisi keuangan tidak menyukai kehadiran Dhika yang tiba-tiba dan menurut mereka mencurigakan, jadi sepertinya agak mustahil Pak Rustam, Manajer divisi itu memberikan kunci ruangannya pada Dhika.
Rasa kaget menguasai dirinya dan dengan refleks yang amat cepat, Nas memutuskan untuk segera bergerak menjauh, keluar dari kantor untuk menenangkan diri.
Nas berhenti di samping gedung kantor dan menyandarkan punggungnya pada tembok. Nafasnya memburu, detak jantungnya berpacu, ia baru saja menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat!
Wanita itu menoleh ke arah pintu kantor. Dari kejauhan, Nas menangkap sosok yang mencurigakan itu berjalan menuju area loker dengan santai, seolah tidak sedang menyembunyikan apa-apa.
Jiwa Agent Hill milik Nas bangkit ke permukaan, merongrong dan menuntut agar tubuh ini bergerak untuk melakukan investigasi. Tapi sebagian dirinya menolak untuk melakukan itu.
Ini bukan urusannya, jadi lebih baik ia berpura-pura tidak tahu saja. Cari aman.
Tapi…. Bagaimana jika ternyata Mas Dhika sedang melakukan keburukan pada perusahaan ini?
Nas menutup wajah dengan kedua tangan, ia gusar sekaligus khawatir. Lalu sebuah tekad membulat dalam dirinya, ia tidak ingin berprasangka buruk pada Mas Dhika, jadi lebih baik ia mencari sedikit pencerahan.
Dengan langkah enggan, Nas berjalan menuju pintu masuk loker dari ujung yang berlawanan dengan yang Mas Dhika masuki, hingga Nas bisa mencapai area itu lebih cepat karena jaraknya cukup dekat dengan posisinya berdiri.
Disana, di ujung area loker yang terbuka dan terhubung dengan kebun belakang, Pria itu sedang membuka lipatan jaketnya dan menyerahkan berkas itu kepada Pak Lek, tukang kebun yang baru dipekerjakan selama beberapa bulan terakhir ini.
Pak Lek menerima berkas itu dan langsung menyelipkan sebagian kecil ujungnya pada bagian belakang celana yang ia kenakan, kemudian menutupi dokumen itu dengan menggunakan kaosnya yang berukuran besar.
Tanpa sepatah kata apa pun, keduanya mengangguk lalu saling berpisah.
Begitu mencurigakan!
***
Suara ketukan bolpoin yang dilakukan berulang-ulang menggema begitu keras di dalam ruangan yang sepi. Tak ada siapa pun yang ada di sana kecuali Nas sendiri. Sementara Yoga, Renita dan Bu Santi sudah pamit pulang pukul satu tadi. Pikirannya terlalu sibuk melayang kesana kemari, memikirkan kejadian yang ia saksikan dengan kedua matanya sendiri, hingga membuat Nas melupakan tugas utama yang memaksanya datang ke kantor di hari libur ini.
Sekitar satu jam yang lalu ia menyaksikan hal-hal yang tidak pernah diduganya, Pak Lek dan Mas Dhika…
“Mbak Nas…”
Nas merasa dirinya terlalu berlebihan memikirkan hal ini, sampai-sampai ia seperti mendengar suara lelaki itu memanggilnya.
Ia menggeleng kecil, lalu semakin hanyut dalam pikirannya. Nas menyandarkan pipi pada telapak tangan kirinya dan mengencangkan ketukan bolpoin demi mengusir pikiran-pikiran buruk tentang Mas Dhika yang terus melintas dalam benaknya.
Mungkin lelaki itu memiliki suatu alasan tertentu sehingga ia terpaksa berbuat seperti itu. Mungkin lelaki itu memiliki tujuan yang baik dibalik upaya diam-diamnya. Mungkin juga lelaki itu…
“Mbak Nas…” Nas merasa bahunya terguncang kecil.
Guncangan itu berhasil menariknya dari lamunan dan matanya yang tengah terpejam membuka dengan cepat.
Kesiap kecil terlepas dari bibir Nas.
Terpesona dengan keindahan yang ada di depan matanya.
“Mas Dhika…”
Nas menemukan sepasang mata indah itu lagi, mata yang telah mengejutkannya dengan kedekatan intens yang terjadi hingga berhasil membuat system nafasnya hilang kendali.
Ini terasa seperti déjà vu.
Bedanya, kali ini Nas sudah mampu mengendalikan diri dari keterkejutan dengan lebih cepat.
'Toh dirinya tidak tidur, hanya memejamkan mata saja.
“Mas Dhika?” Nas berdeham, tiba-tiba tenggorokannya terasa begitu kering.
“Iya, Mbak. Mbak Nas baik-baik saja? Apa merasa sakit?” Tanya Dhika, terlihat khawatir saat melihat Nas yang terpejam dan agak pucat wajahnya.
Dengan lembut, Nas menggunakan kekuatan salah satu kakinya untuk mendorong kursi yang ia duduki hingga roda kursi itu bergerak mundur, menjauh, dan memberikan sedikit jarak dengan pria yang pesonanya sangat berbahaya ini.
Nas memutar kepalanya ke sekeliling ruangan dan mendapati ruangan tersebut benar-benar kosong, hanya ada mereka berdua.
Matanya kemudian berlabuh pada salah satu CCTV yang ada di ruangan.
“Professional Nas…
Professional…
Ini di ruang kerja dan hanya ada kalian berdua, jadi tetap professional.
Dan Tetap Waspada….”
“Saya baik-baik saja, Mas. Ada yang bisa saya bantu?”
Walau nadanya tenang dan lembut seperti biasa, tapi Dhika sepertinya menangkap kesan defensif dari bahasa tubuh Nas, membuat lelaki itu mundur selangkah untuk membuat wanita itu merasa nyaman.
Diam-diam Nas menghembuskan nafas lega saat melihat langkah mundur Dhika.
Kebiasaan waspadanya yang terkadang mengambil alih secara berlebihan dan terlihat begitu jelas dari bahasa tubuhnya memang sudah tidak bisa Nas sembunyikan. Mas Dhika pasti telah menyadari hal ini dan Nas merasa tidak enak padanya.
Sikap tubuhnya yang seolah “menolak” atau anti dengan kedekatan mereka, mungkin akan membuat lelaki itu sedikit tersinggung. Mengira Nas enggan dan jijik berdekatan dengannya.
Tapi semoga tidak, semoga Mas Dhika mau memaklumi tindakan impulsifnya.
“Diriku memang sudah tak tertolong…huft!!!” lirih hati Nas.
“Mbak Nas terlihat agak pucat jadi saya pikir Mbak kenapa-kenapa…” Mas Dhika menggosok lehernya dan tersenyum canggung, “Oh iya, pagi tadi saya menelepon Abah untuk bertanya mengenai acara malam nanti, tapi ternyata acara pembukanya sejak sore, jadi saya...” Lelaki itu mencoba mengalihkan perhatian Nas.
“Mas Dhika menelepon Abah?” Fakta ini menarik perhatian Nas lebih banyak dari pada tentang acara pengajian yang Mas Dhika sebutkan.
Lelaki itu mengangguk kecil mendengar pertanyaan Nas yang terlihat sangat terkejut itu, “Iya saya menelepon Abah…”
“Mas Dhika punya nomor telepon Abah?” potong Nas lagi.
“Punya. Kemarin saat menunggu Mbak Nas mengambil tas, saya meminta nomor telepon Abah.”
Nas memproses informasi itu dengan perlahan dan Dhika melanjutkan, “Barusan Abah bilang, kalau lebih baik saya ke rumah bersama Mbak Nas agar tidak salah jalan. Sebenarnya, saat pertama kali mengantar Mbak Nas ke rumah, saya tidak memperhatikan jalan karena hujan lebat… jadi, lebih baik saya menunggu Mbak Nas menyelesaikan pekerjaan dan pergi bersama. Bagaimana menurut Mbak Nas?”
***