Ilalang di tepian jalan berayun-ayun terhempas angin sore yang menerpa, menemani langkah dua anak manusia yang terdiam sepanjang perjalanan kaki yang mereka lalui. Rupanya, Matahari pukul dua siang terasa lebih ramah dibandingkan saat makan siang tadi, sedangkan sekarang sinar yang terasa lembut nan hangatlah yang menerpa dan menyinari bumi tempat mereka berdiri.
Di kejauhan sana terlihat awan gelap tengah menyelimuti bagian kota yang lain, area yang cukup jauh sehingga dirinya dan lelaki yang berjalan bersamanya ini tidak perlu khawatir akan dijatuhi hujan dalam perjalanan mereka.
Dalam diamnya, Nas membatin. Jika Abah memiliki nomor ponsel Mas Dhika dan Mas Dhika memiliki nomor ponsel Abah, lalu kenapa Abah menyuruhnya untuk mengingatkan Mas Dhika tentang acara itu?
Rupanya Abah benar-benar memiliki agenda tertentu!
“Mas Dhika…” Nas bingung harus mulai dari mana percakapan ini.
Dhika menoleh, “Ya, Mbak?”
“Maaf ya, Jika Abah terlalu…Yah, begitu…” wanita itu tidak mampu mendeskripsikan keagresifan Abah pada Dhika, Entah bagaimana pria muda seperti Dhika memandang sosok Abah yang langsung berlagak akrab padahal baru saja kenal.
Nas jadi pusing sendiri. “Mas Dhika, kalau merasa tidak nyaman untuk menghadiri undangan Abah, tidak perlu memaksakan diri. Ditolak saja, tidak apa-apa…” tutur Nas selembut mungkin.
Dhika yang tengah asik memandangi
ilalang langsung terkecoh dan mengalihkan perhatiannya pada wanita di sebelahnya, “Apa Mbak Nas mengira bahwa kehadiran saya ini terpaksa karena saya tidak mampu menolak undangan Abah?”
Nas mengangguk kecil sambil membalas perhatian Dhika padanya.
Mata Dhika terpejam dan senyum manisnya mengembang sambil menggelengkan kepala sebagai jawaban atas prasangka Nas.
“Kalau Mbak Nas berfikir begitu, saya harap Mbak Nas melupakannya, karena saya tidak merasa terpaksa menerima undangan Abah, justru saya menyukainya…”
Nas mengerjap atas penjelasan itu, “Benarkah?”
“Iya, Mbak Nas tidak usah mengkhawatirkan hal itu…”
Sikap tubuh Nas yang sebelumnya terlihat agak tegang, kini melentur karena merasa lega mengetahui kenyataan itu. Dhika terdengar tulus saat mengatakannya dan ia percaya, “Syukurlah kalau begitu, Mas… hmn..... ”
“Mbak Nas seperti ingin mengatakan hal lainnya?” tanya Dhika saat Nas tidak melanjutkan kalimatnya.
“Tidak… Uhm, Saya hanya merasa tidak enak pada Mas Dhika kalau sampai terpaksa menerima undangan Abah. Sebenarnya ini adalah acara pengajian sekaligus reuni Jamaah KBIH yang beribadah haji bersama Abah… tidak banyak anak muda yang mau datang ke acara-acara seperti ini.” Nas mencoba menjelaskan sebaik mungkin agar Dhika memahami sudut pandangnya.
“Abah sudah menjelaskannya pada saya, tapi saya tetap tertarik untuk datang…” Dhika berdeham, tiba-tiba pipinya memerah entah kenapa. “Mungkin saya tidak terlihat seperti orang yang akan datang ke acara semacam ini, atau acara-acara ramai lainnya. Tapi saya
benar-benar ingin datang, Mbak.” Dhika menanamkan tatapannya pada mata Nas dalam-dalam. Mencoba untuk menunjukkan kesungguhannya.
“Syukur kalau begitu, tapi kalau nanti Mas Dhika merasa bosan, saya sarankan Mas Dhika berkumpul dengan kakak saya di luar… ngobrol dengan para pemuda sambil jaga gerbang. Hehe.” lontar Nas, mencoba meringankan suasana diantara mereka.
Saat melihat kedua bibir itu tertarik ke kiri dan kanan, menampilkan lesung yang membuat sang pemiliknya menjadi semakin manis, Dhika pun ikut tersenyum secara otomatis, matanya berkilat akibat pesona yang terlihat. Tawa kecil mengalir lembut dari bibirnya,
“Baik, Mbak Nas… saya akan melakukannya jika merasa bosan.”
Nas mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya dari wajah cerah Dhika yang memantulkan sinar mentari yang menyentuhnya dengan lembut. Sementara Angin sejuk kembali menyapa rambut Dhika yang sebelumnya menutupi kening, membuatnya berantakan dan berterbangan ke belakang, membuat Nas bisa melihat apa yang selama ini tertutupi. Dhika dengan kening terbuka adalah pemandangan indah.
Mata coklat itu… hidung itu… pipi itu… senyum itu….
Sayup dersik terdengar dari angin yang bergesekan dengan ilalang kering yang berayun-ayun. Mereka sedang melewati trotoar yang memisahkan antara jalan raya dan lahan kosong yang luas dan dipenuhi ilalang kering akibat panasnya matahari yang menyapa sebelumnya. Pemandangan itulah yang kini menjadi pusat perhatian Nas, dia tidak ingin terus menerus terpesona oleh pria ini. Nas belum mau jatuh semakin dalam pada pesona yang tak tertahankan itu.
Apa jadinya jika ternyata dirinya tidak bisa menahan perasaanya?
“Angkot!” Seru Nas saat melihat sebuah angkutan kota yang hendak pergi dari pangkalannya.
Dirinya dan Dhika sudah berjalan sejauh ini untuk menuju pangkalan angkot dan sepertinya itu adalah angkot satu-satunya yang tersisa. Beberapa saat yang lalu mereka ketinggalan bis antar jemput pabrik dan bahkan tidak kebagian angkot karena selalu dipenuhi oleh karyawan-karyawan yang telah selesai menjalankan tugas shift pagi, karyawan dari berbagai pabrik yang ada di sekitar area itu berebut agar bisa mendapatkan tempat di dalam kendaraan kecil tersebut karena tidak semua pabrik menyediakan kendaraan antar jemput untuk mereka.
Pukul 2.40 tertera pada jam tanganya dan tiba-tiba Nas merasa menyesal kenapa dirinya memilih pulang tepat ketika jam bubaran pabrik, pasti begini akibatnya. Mungkin dia akan terlambat sampai di rumah.
Supir angkot mendengar panggilan Nas dan menghentikan mobilnya.
“Ayo, Mas…” Nas berlari kecil menuju angkot, diikuti Dhika di belakangnya. Saat sampai di ambang pintu angkot, Nas naik terlebih dahulu dan duduk di ujung kursi panjang yang berada tepat di samping pintu.
Angkot penuh sesak diisi oleh orang-orang yang pulang bekerja itu tidak memiliki kursi kosong lain selain kursi kayu yang diletakkan di depan pintu. Kursi itu sengaja diletakkan di sana sebagai sarana tambahan untuk menampung orang-orang yang tidak kebagian tempat duduk. Kini, Dhika lah yang terpaksa harus duduk di sana karena tidak ada tempat
lagi yang tersisa. Pria sejuta pesona itu duduk bersempit-sempitan dengan seorang bapak-bapak berkumis tebal di kursi kayu yang bergoyang tidak stabil sepanjang jalan.
Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang kendaraan. Penuh, sesak, berdempet-dempetan, saling menyikut, dan aroma semerbak manusia-manusia yang baru saja berpeluh akibat kerja keras yang mereka lakukan telah memenuhi ruangan kecil itu.
Dhika diserang pusing yang mendadak menyerbu kepalanya, lalu memalingkan wajahnya sambil bergeser semakin ke tepi kursi dan tanpa sengaja, lututnya bersentuhkan dengan lutut Nas.
Matanya terpaku menatap Nas, Wanita itu juga ternyata sama seperti dirinya, duduk di ujung dan melekat pada pintu yang terbuka.
Dhika mengernyit tidak suka melihat pemandangan seorang wanita yang duduk di dalam kendaraan dengan pintu terbuka, karena hal itu terlihat sangat berbahaya bagi seorang wanita bertubuh lemah seperti Nas.
Tiba-tiba saja dorongan untuk merengkuh Nas dalam perlindungannya begitu kuat menguasai. Dhika menggeleng kecil. Sekuat tenaga menahan keinginan yang sangat mendadak tersebut.
Nas yang sedang menunduk sambil menatapi jalinan tangan pada tas kerja yang ia letakkan di atas pahanya itu mendongak kaget ketika lututnya bertubrukan dengan kaki Dhika. lelaki itu terlihat sedang bergeser mencari kenyamanan di atas kursi sempitnya, hingga kini kedua kaki Dhika terbentang diantara kedua kaki Nas yang tertutup rapat. Memepet Nas di kursinya hingga tidak bisa bergeser kemana pun.
Seperti yang Nas sadari sebelumnya, Dhika memiliki postur kurus tetapi sebenarnya memiliki badan yang lebih tinggi dari orang kebanyakan sehingga kakinya yang berukuran lebih panjang pasti terasa tidak nyaman untuk duduk di angkot dengan kursi pendek seperti
ini, ditambah lagi, dadaa Dhika yang lebar itu membuat tubuh nya menjadi terlihat lebih superior jika dibandingkan dengan bapak-bapak di sebelahnya.
Kehadiran Dhika telah berhasil mengecilkan keberadaan orang-orang yang ada di dalam sana. Menyedot seluruh perhatian Nas, hingga tanpa sadar wanita itu tengah menatap Dhika tanpa berkedip sama sekali sejak tadi.
Dhika balas menatapnya dengan sangat tajam, entah apa yang terlintas dalam benak pria itu ketika tangannnya terulur ke sisi tubuh Nas yang tersudut dan meringkuk di depannya, meletakkan tangannya tepat di badan mobil yang menempel pada Nas.
Keharuman menyeruak dan memenuhi indera penciuman Nas, pria ini wangi sekali. Kedekatan mereka dan juga angin sore telah berhasil membawa aroma percampuran antara kayu, bergamot yang sangat citrusy, dan musk yang dihidu Nas dengan begitu jelas hingga mampu merasuki kesadaran Nas akan kehadirannya yang begitu lekat, lutut yang menempel dan lengan yang seolah melingkupi tubuhnya itu terasa begitu nyata, membangkitkan seluruh indera yang ada di dalam tubuhnya hingga menjadi lebih sensitif, bahkan berhasil membuat perutnya terasa melilit tiba-tiba.
Nas merasa gelisah dengan apa yang terjadi pada dirinya, gelisah aneh yang baru pertama kali ia rasakan ketika ada pria yang berdekat-dekatan dengannya.
Ini adalah rasa gelisah yang berbeda dari yang biasa ia rasakan. Ada rasa nyaman yang membuatnya tak ingin jauh-jauh dari Dhika.
Ya ampun!
Pemikiran itu membuat Nas panik lalu berusaha menyingkirkannya sejauh mungkin.
Nas mencoba mengalihkan perhatiannya dan berusaha mengembalikan akal sehatnya yang sempat menguap. Ketika akal sehatnya kembali dan dirinya tersadar dengan posisi mereka yang terlampau dekat, Nas akhirnya menoleh penuh tanya pada lengan putih yang menampilkan urat-urat kehijauan di sana karena Dhika masih mengenakan kaos hitam polos berlengan pendek, sedangkan jaket putihnya ia simpan di dalam tas ransel hitam yang ia bawa.
“Terlalu bahaya duduk di dekat pintu yang terbuka…” ujar Dhika memberi penjelasan dengan suara rendah.
Nas kembali menatap wajah pria di depannya, menelusuri mata pria itu dalam-dalam, mencari tahu bagaimana bisa pria ini membaca pertanyaan di dalam kepalanya dengan mudah.
Apa semuanya tergambar jelas pada wajah Nas?
“Lain kali saya akan membawa kendaraaan supaya lebih aman.”
“Mas Dhika bawa motor dari Jakarta ke sini?” Tanya Nas tanpa fikir panjang. Ia mengucapkan pertanyaan pertama yang muncul dikepalanya.
Ada kilat geli yang terpancar dari mata Dhika, senyum kecil pun bermain dibibirnya, “Mbak Nas suka naik motor?”
“Ya???” Wanita itu kebingungan mendengar pertanyaan Dhika yang tiba-tiba. Nas menundukkan pandangannya, pipinya terasa panas dan merona akibat malu yang ia rasakan, bagaimana mungkinbdia berfikir bahwa Dhika membawa motor dari Jakarta ke kota ini, jarak yang terbentang terlampau jauh dan pasti akan sangat melelahkan jika Dhika benar-benar melakukannya.
“I-itu saya kira…Mas..”
“Kalau begitu, nanti saya bawa motor ke kantor.” potong Dhika sebelum turun dari mobil dengan cepat dan membiarkan bapak yang duduk di sampingnya turun dan membayar ongkosnya. Setelah transaksi bapak itu selesai, Dhika menaiki mobil kembali dengan posisi duduk yang sama persis seperti sebelumnya. Walau kursi kayu itu sudah lebih luas untuk diduduki sendiri, posisi Dhika tidak berubah sama sekali, bahkan Pria itu mengulurkan tangannya lagi untuk melindungi Nas.
Wajah Nas yang dipenuhi rasa malu, menoleh kemanapun, asal bukan Dhika.
“Rumah Mbak Nas masih jauh?”
Nas memperhatikan sekelilingnya, “Sebentar lagi kok mas.”
***