9

1692 Kata
Gawat. Mia harus segera menemukan pekerjaan baru! Berbaring di atas ranjang, Mia menatap langit-langit ruangan dan mulai mempertimbangkan beberapa kemungkinan buruk. Pertama, Mia akan mengalami stroke akibat terlalu lama bertatap muka dengan Rafael. Kedua, Mia akan terkena serangan jantung akibat terlalu sering bertemu Rafael. Ketiga, Mia akan dibawa ke psikiater terdekat untuk memeriksakan kewarasannya. Astaga, bahkan dia masih memikirkan Rafael. Menoleh ke seberang, jam menunjukkan angka sepuluh. Belum terlalu larut, namun entah mengapa rasa kantuk tak kunjung datang. Menghela napas, Mia mulai menelusuri gambar beruang yang tercetak di piama. Hingga suara smarth phone milik Mia berbunyi. Satu messanger dari Susan, sahabat Mia semasa SMP. Mia, kamu kira-kira datang nggak pas reunian? Mengerutkan kening, Mia mendapat firasat buruk. Mia: Kenapa? Susan: ( Ya elah, nggak ada kamu nggak seru. Mia: Aku bukan badut. Susan: ( Jangan ngambek gitu.  Mia: Aku nggak ngambek! Susan: Yes, you are. Mia: Bodo! Susan: Oke, setop. Please datang, ya?  Neraka. Neraka. Neraka. Neraka. Mia membayangkan perjumpaan dengan anak-anak sok berkuasa sejenis Rafael yang mungkin akan hadir di sana. Dan oh, Mia bahkan mungkin akan mengulang tragedi yang sama. Sungguh, Mia bisa membayangkan iblis berambut pirang dalam wujud wanita dan pria seksi lengkap dengan tanduk mereka yang tengah mengarahkan tongkat neraka ke arah Mia.  “Wahai manusia rendahan,” ujar iblis. “Hidupmu akan berakhir di dasar neraka.” Merinding, Mia tidak mungkin mengambil risiko. Sudah cukup selaga teror yang pernah Mia alami. Tidak lagi, hidup di bawah kendali manusia lain. Mia ingin bebas. Mia: Aku sibuk. Susan: Ayolah, kamu kan temen baik aku. Mia: Temen? Kamu kan cuma nebeng soal matematika doang. Susan: Jangan dibahas. Datang, ya? Aku maksa. Mia: Untuk apa? Susan: Ayolah, cowok-cowok rese yang dulu ngejahilin kamu mungkin dah tobat. Mia, buktikan pada mereka bahwa kamu itu sudah berubah. Tidak ada yang bisa mengganggumu lagi. I dare you. Tidak ada yang bisa mengganggumu lagi. Oke, itu adalah sebuah wahyu, tanda bahwa Mia juga perlu menunjukkan taring dan cakarnya. Saatnya untuk membalas. Mia akan melempar ketiga cowok sengak yang telah menyengsarakan kehidupan Mia selama tiga tahun. Lalu, Mia pun membalas, oke. *** Nayla terlihat jenuh. Sebagian artikel dia biarkan tersepak di atas meja. Sesekali Nayla mampir ke kubikel Mia, berharap bisa menjambret persedian cokelat milik Mia.  “Jangan sentuh,” larang Mia.  “Aku bosan.” “Aku sibuk.” Mia mencoba merapikan beberapa artikel yang membahas kafe-kafe ternama yang ada di Jakarta. Belum sampai halaman ketiga, Nayla datang menghampiri laksana nyamuk yang tak diundang dan sulit diusir. Sialnya, kawannya itu mencoba menjarah cokelat yang dengan susah payah Mia beli di supermarket terdekat. Tiada yang diizinkan menyentuh persediaan cokelat milik Mia, itu terlarang. “Junsu Oppa,” rengek Nayla. “Tolong aku.” “Nay, nyebut Nay. Situ lo menggila jangan di lapak orang. Hushh,” usir Mia. “Aku sibuk. Sangat sibuk.” Mendengus, Nayla pun mengundurkan diri. Mia mulai melanjutkan pekerjaan yang tertunda, hingga seseorang datang mengganggu konsentrasi Mia. “Mbak,” pangil Bejo, salah satu OB yang bekerja di Intermezo. “Ada kiriman bunga.” Buket mawar merah. Mia hanya bisa menatap pongah wajah Bejo yang tak kalah datarnya dari papan penyeberangan jalan. Mengerjapkan mata, Mia bertanya, “Eh, saya?” Mengangguk, Bejo menjawab, “Iya, buat Mbak Mia.” Dengan tangan bergetar Mia menerima buket sakral tersebut. Seumur hidup, ini adalah kali pertama Mia mendapatkan perhatian yang semanis drama Korea. Lalu, adegan penyerahan buket pun terjadi; dengan perlahan dan wajah datar, Bejo memberikan buket tersebut. Kemudian, dengan senyum malaikat Mia menerima mawar tersebut sembari berkata terima kasih. Bejo mengangguk, menerima ucapan terima kasih sebelum pergi meninggalkan kubikel Mia.  Mawar merah itu terlihat memikat. Menghidu, Mia bisa mencium aroma cinta. Di dalam benaknya, Mia mulai membayangkan sosok pangeran berkuda putih yang diam-diam memendam rasa pada Mia. Berdebar-debar, Mia mulai meletakkan mawar di atas meja, mengambil secarik kertas yang tersemat di antara kuntum mawar. Perlahan-lahan, Mia membuka lipatan kertas. Kemudian kebahagiaan Mia pun sirna. Maaf untuk masa lalu. Kitty, makan malam? Mia bisa merasakan salah satu bagian dari dirinya tengah terbahak-bahak, menertawakan imajinasi norak yang sempat bersarang di kepalanya. Mawar itu bukan berasal dari salah satu pangeran khayalan Mia. Tiada pangeran berkuda putih. Mia bisa merasakan kehadiran malaikat kegelapan bernama Rafael.  Tanpa ragu Mia segera meremas pesan. “What the hell!” “Mia,” sapa Miranda. “Butuh aspirin?” Tak menyahut, Mia terus meremas pesan, kesal. Miranda hanya mengernyit, lalu pandangannya jatuh pada buket mawar. “Astaga, manisnya. Dari siapa?” “Malaikat kegelapan,” jawab Mia, ketus. “Malaikat kegelapannya pasti seksi banget.” “Njir, nggak seksi.” “Terus mau diapaain tuh?” Mia mendengus, “Ambil aja.” “Males.” Miranda pun berlalu dari kubikel Mia. Ini mengerikan. Rafael? Apa maksud dari segala perhatian ini? Mia mulai berpikir perihal niatan buruk. Mungkin Rafael tengah merencanakan sesuatu yang jahat.  Merinding, Mia mulai membuka jendela email dan mengecek surel. Dalam hati Mia berharap segera menemukan tawaran pekerjaan. Mia harus segera pindah. Pindah, secepat mungkin. *** “Ciyeh, yang dapat mawar.” Mengabaikan sindiran Nayla, Mia terus menyendok es krim yang dipesannya. Sepulang kerja, Miranda, Nayla, dan Mia berencana menghabiskan akhir pekan di salah satu kafe terkenal di Jakarta. Nayla belum menyentuh cake yang dipesannya, sementara Miranda sibuk menghabiskan waffle. “Aduh, manis banget tuh cowok.” “Nay,” kata Mia. “Makan.” “Galak banget sih. Mia, emang dari siapa sih?” “Malaikat kegelapan.” “Gitu aja terus ampe taun monyet.” “Nay,” sela Miranda. “Emang dari siapa, sih?” Menepuk jidat. Tidakkah kedua wanita ini bisa memilih hal lain untuk diperbincangkan? Andai saja ini film fantasi, mungkin Mia akan berubah menjadi manusia harimau dan dia akan langsung menerkam kedua wanita tersebut.  “Ya, udah,” kata Nayla. “Biarkan waktu yang menyibakkan kebenaran kepada kita berdua.” Memutar mata, Mia berkata, “Waktu.” Baik Nayla maupun Miranda, mereka berdua tak lagi merongrong Mia untuk membuka nama pengirim buket. Mereka bertiga mulai menikmati pesanan masing-masing sembari bergosip keanehan Toni yang tertangkap radar psikis Nayla. “Percaya nggak,” omel Nayla. “Toni minta aku revisi seluruh artikel. Gila, aku harus ngulang dari awal.” “Jangankan kamu. Aku aja begitu.” “Nda, kamu juga?” Mengangguk. Miranda membenarkan, “Iya, semua bagianku harus direvisi. Ya ngulang dari awal.” “Mia, bisa nggak kamu kutuk tuh Toni jadi apa gitu.” “Nay, aku bukan mbah dukun.” “Sengak nih,” keluh Nayla. “Bisa-bisa kecantikanku memudar. Nanti Mas Kim Hyeon Joon nggak ngenalin diriku lagi.” Miranda dan Mia serempak berkata, “Tobat.” Nayla memicingkan mata, mencoba menajamkan pengelihatan, “Eh, itu bukannya Pak Rafael, ya?” Siaga satu. Mia langsung menoleh dan mengumpat dalam hati. “Iya,” kata Miranda. “Kita panggil aja apa, ya? Kasian tuh, tempatnya penuh.” “Nay, ja—” Terlambat, Nayla melambaikan tangan dan Rafael menangkap kehadiran mereka bertiga.  Rafael beserta seorang pria berwajah asia pun menghampiri meja Mia dan kawan-kawan. “Kalian?” kata Rafael. Senyum aristokrat tak lekang dari wajahnya. “Boleh?” “Silakan,” tawar Miranda dan Nayla, mengacuhkan perengutan Mia. Mia ingin menciut, mengerut, dan menghilang. Tak masalah yang mana pun dari permisalan tadi, Mia hanya ingin lenyap.  “Maaf merepotkan.” Rafael duduk (dugaan Mia dengan sengaja) tepat di samping Mia. Lalu, pria berwajah Asia itu, yang memperkenalkan diri sebagai Kim Joon pun duduk di samping Miranda. Kerlip kebahagiaan tak pernah surut dari manik mata Nayla, akhirnya dia bisa berjumpa kembaran Lee Min Ho. Suatu saat Mia akan mengirim Nayla ke Korea. Tentu, Mia harus segera menjauhkan diri dari kawan-kawan terkutuk ini. Dalam hati Mia mengutuk, dasar pengkhianat! Begitulah sahabat, mereka bisa sangat menyenangkan dan di suatu saat mereka bisa luar biasa menyebalkan. “Tinggal di mana?” tanya Nayla pada rekan Rafael. Mia ingin menjedotkan Nayla. Demi inikah dia memanggil Rafael? Agar dia bisa melakukan manuver pada pria ini? Tega. Kejam. Sungguh terlalu. “Di rumah saudara,” jawab Kim Joon.  Entahlah, Mia sedang dalam keadaan tidak ingin berbincang dengan siapa pun. Di luar dugaan, Rafael mampu menyesuaikan diri. Dia bahkan tidak sungkan menawarkan menu-menu yang tidak mungkin dipesan Mia dan Nayla karena harganya yang setara dengan n****+ terjemahan. Miranda? Dia berbeda status dengan Mia ataupun Nayla. Dia adalah jelmaan Venus yang tengah bercengkerama dengan rakyat jelata. Sungguh menyedihkan. “Pak,” cerocos Nayla, “Mia baru dapat buket mawar loh. Manis deh.” “Oh, ya?” kata Rafael, tertarik. Mia bersumpah Rafael tengah mengeluarkan kemampuan aktingnya. Senyum palsu. Kaget palsu. Wajah palsu. Hidupmu penuh kepalsuan! “Lady,” kata Kim Joon. “You are so lucky.” Atas nama norma kesopanan, Mia hanya bisa tersenyum. Andai saja mereka tahu bahwa buket tersebut telah berpindah tangan ke seorang office girl bernama Marni, mungkin saat ini mereka akan melempar Mia dan mulai melaknatnya. “Well, saya jealous.” “Kenapa, Pak?” tanya Miranda. “Sebab bunga yang kalian bicarakan itu kini berada di tangan Marni.” Menelan ludah, Mia hanya bisa menggigit bibir ketika Miranda dan Nayla menatap Mia dengan tatapan horor yang bisa diartikan, beraninya kau bersikap buruk. Bagaimana bisa Rafael mengetahui itu? Mungkinkah Rafael memiliki mata-mata? “Mia?” kata Nayla. “Kamu beneran….” Beruntung, dering ponsel menyelamatkan Mia. Mengambil ponsel Mia pun langsung menekan tombol jawab. “Ya, Sayang,” ucap Mia dengan nada bahagia yang dibuat-buat. Melihat itu, Nayla dan Miranda hanya mengerutkan dahi. Bingung. “Sayang? Kak, ngeri ah,” balas Rio. Mengabaikan sarkasme Rio, Mia pun berkata, “Oh, iya aku lupa. Aku ke sana, ya?”  “Apaan, sih?” “Iya, aku juga sayang kamu, bye.” Selesai. Untuk kali ini saja, Mia berterima kasih kepada Rio. Terpujilah bocah itu. Menoleh ke samping, Mia bisa melihat rahang Rafael yang kini mengencang. Apa Mia telah melakukan kesalahan? Atau seharusnya dia tidak berpura-pura? Telanjur, tidak mungkin Mia membiarkan kebohongannya terungkap. Gengsi. “Pacar?” tanya Nayla. Mia mengangguk. “Sejak kapan?” Kini Miranda yang menyuarakan rasa tidak percaya. Gawat. Mia harus segera melarikan diri. “Maaf, udah ditunggu.” Mia pun kabur dan tak peduli bahwa kedua mata Rafael mengikuti sosok belakang Mia.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN