Satu-satunya yang Mia butuhkan adalah oksigen.
Would you be mine?
Mia yakin saat ini jantungnya pasti telah berhenti berdetak. Rafael? Tersenyum? Tidak, bukan tersenyum, saat ini Mia merasa Rafael tengah menyeringai. Jenis seringaian mengejek yang mengingatkan Mia pada salah satu karakter rubah di Zootopia. Bagus, Rafael adalah seekor rubah yang penuh dengan tipu daya, sementara Mia tak ubahnya bagaikan seekor kelinci yang tinggal menunggu untuk dilahap.
“Mia,” kata Rafael. Ia mulai menekankan ibu jarinya pada pergelangan tangan Mia. “Sebenarnya….”
“Cukup,” potong Mia. Mati-matian Mia menahan debaran jantung yang mulai menggila hanya karena sengatan kecil yang diciptakan Rafael. Mia tak boleh kalah. Ia harus kuat. “Lepas atau aku akan teriak.”
Kembali, senyum iblis yang menggoda itu menghias wajah rupawan Rafael. “Kamu beraninya main ngancem.”
“Mundur,” perintah Mia.
Rafael hanya mengedikkan bahu. “Oke,”katanya.
Mia akhirnya bisa bernapas dengan lega ketika Rafael bersedia melepas Mia. Sungguh, mungkin jika adegan itu berlanjut selama beberapa detik lagi, Mia pasti akan langsung terkapar karena tekanan jantung.
“Oke,” kata Mia. “Mari kita luruskan. Kita tidak memiliki hubungan apa pun selain bos dan bawahannya.”
“Itu yang ingin aku jelaskan tadi.”
“Jangan memotong pembicaraan,” protesnya. Mia mulai menekan keningnya, pusing. “Kamu bisa nggak ngilang gitu?”
“Aku bukan jin. Omong-omong ini kantorku, kamu tidak bisa berlaku tidak sopan.”
“Rafael,” cemooh Mia, “bagiku kamu tuh masih sosok Rafael bocah ingusan yang doyan malakin anak kuper.”
“Sayang, waktu mengubah segalanya.”
“Jangan panggil aku sayang.”
“Oke, Honey.”
“No!”
“Gimana kalau Kitty? Mirip, ‘kan?”
Mia melotot, tidak terima. “Rafael, jangan memaksa.”
Terkekeh, Rafael pun berkata, “Kamu segitu dendamnya. Oke, apa yang aku lakuin ke kamu waktu SMP itu salah, tapi itu sudah lama sekali. Bahkan kita tidak boleh mendendam selama tiga hari, dosa.”
“Mendendam?” ucap Mia bersungut-sungut. “Rafael, apa yang kamu lakuin ke aku itu jahat. Tiga tahun. Bisa kamu bayangkan trauma yang kamu sebabkan? Aku sampai nggak berani masuk SMA umum, takut kalau aku sampai ketemu cowok model barbar. Rafael, kamu itu teror.”
“Kitty, sampai segitunya kamu nggak bisa ngelupain aku?”
Mia ingin melempar Rafael. Pria ini benar-benar memicu peningkatan tekanan darah, jika sampai Mia terkena stroke, maka ia akan menyalahkan segala kemalangannya pada Rafael. “Siapa yang mikirin kamu?”
“Nah itu,” tunjuk Rafael pada Mia. “Kamu nggak berani masuk SMA umum dan lebih memilih SMA khusus perempuan. Itu artinya aku punya tempat yang istimewa di hatimu, Kitty.”
“What the … Rafael, kamu harus bisa membedakan benci dan ngefans.”
Rafael melipat tangan dan mulai mengerutkan dahi. “Yah, beda-beda tipis. Intinya, keduanya masih berhubungan dengan perhatian.”
Menepuk jidat, Mia merasa bodoh. Harusnya Mia tahu, Rafael memiliki tingkat rasa percaya diri yang luar biasa mengesalkan. Berbincang dengan pria semacam ini tak akan ada habisnya. Akhirnya Mia memutuskan untuk mengakhiri percakapan, tak peduli pada pesanan teman-temannya, Mia pun melenggang keluar dari pantry.
“Kitty, kamu ngelupain sesuatu.”
***
Nayla tampak menikmati dentuman musik. Mengetik artikel dan tanpa peduli orang sekitar merasa terganggu dengan suara sumbangnya, Nayla pun mulai bernyanyi, “My heart is running to you. Every sec getting close to you. So please don’t run away take my hand. My heart is running to you. Every sec getting close to you. So please don’t run away take my hand.” Selama tiga menit, Nayla terus mendendangkan lagu Boa dengan suara ala kadarnya. Kebisingan baru terhenti ketika ekor mata Nayla menangkap kehadiran Mia.
“Mia,” panggil Nayla. “Minuman….”
Sayang, yang dipanggil tak menyahut dan langsung menghilang di balik kubikel.
“Mia,” tanya Miranda, “Kopiku mana?”
“Bodo,” salak Mia.
Mia mulai menarik papan keyboard dan melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Terdengar suara cklik cklik tanda tombol-tombol keyboard yang tengah beradu dengan ujung jemari Mia. Bahkan Imam yang kubikel-nya berada tepat di samping kubikel milik Mia pun bisa mendengar suara tombol yang tengah, garis miring, dipencet dengan tenaga luar biasa.
Dalam hati Mia terus mengutuk dan mencaci keberadaan Rafael. Pria itu benar-benar iblis. Iblis yang sebenarnya, sosok iblis yang gemar merayu manusia dan mendorong mereka melakukan dosa. Rafael adalah iblis sejati. Iblis yang harus dihindari Mia. Berani-beraninya Rafael membuat jantung Mia jumpalitan. Tidak, Mia tak akan rela mengakui bahwa dirinya pun menikmati saat-saat itu.
“Ada yang membutuhkan kopi?”
Mendongak, Mia hanya bisa melongo menyaksikan Rafael yang tengah membawa baki yang berisi minuman.
Rafael mulai menghampiri tiap kubikel. Dengan senyum ramah, yang Mia tebak dipenuhi dengan racun feronom, Rafael mulai menyerahkan mug. Nayla langsung tergagap mengucapkan terima kasih, begitu pula Miranda dan yang lainnya. Mendapati bos besar ternyata memiliki sifat yang welas dan asih, tak urung hal ini pun menambah nilai plus di mata para wanita. Lalu, ketika tiba giliran Mia, Rafael menyempatkan diri untuk berkata, “This is for my kitten.”
Sumpah. Mia ingin sekali membanting layar monitor dan berteriak, “Like hell!” Namun kenyataannya, Mia hanya bisa memandang tak berkedip. Mungkinkah dia melihat malaikat Rafael?
Di meja, Mia bisa melihat mug putih dengan gambar kucing hitam judes.
“Kurang ajar,” desis Mia.
***
Puji Tuhan, segala tugas dan siksa neraka itu telah berakhir. Mia akhirnya bisa pulang normal, tidak perlu risau pada penampakan sosok Rafael.
“Ya ampun,” puji Nayla. “Rafael itu baik bener.”
Atau mungkin, Mia tidak bisa menghindari pembicaraan mengenai Rafael. Di dalam mobil, Nayla terus berkicau mengenai kebaikan hati seorang Rafael. Bahkan Nayla tak peduli pada perubahan raut wajah Mia, dari lelah menjadi acuh tak acuh.
“Oh, yeah,” ucap Mia, tak semangat.
“Iyeh banget,” sahut Nayla. “Udah baik, cakep, ganteng, punya body yang bikin sesek napas. Kurang apa lagi coba? Mia, dia itu sempurna.”
“Hanya Tuhan yang sempurna.”
“Cih, lagakmu. Jujur deh, kamu juga tertarik, kan?”
Memutar mata, Mia hanya memberikan segaris senyum miris.
“Mia, kamu nyari pria yang kaya gimana, sih? Ini kurang. Itu salah. Pusing tahu. Lama-lama kamu nggak laku baru tahu rasa.”
“Jodohku ada di Eropa,” balas Mia. “Kamu tahu kan yang jadi Legolas itu?”
“Ngimpi,” cibir Nayla. “Situ kurang seksi.”
“Seksi kan nggak harus d**a dan paha berisi,” bela Mia, tak ingin kalah. “Kan nggak semua kecantikan itu sebatas bibir merah menggiurkan yang harus dikecup berkali-kali.”
“Kamu boleh mbahas kecup-mengecup ketika kamu sendiri pernah mengalaminya.”
“Bibirku hanya untuk suamiku,” ujar Mia.
“Dan suamimu itu entah ada di mana.”
Sadar bahwa pembicaraan ini sepertinya akan berlangsung lama, Mia memilih menutup telinganya dengan headset. Lalu, sebuah lagu dari Stacie Orrico pun mengalun.
I can't get out of bed today
Or get you off my mind
I just can't seem to find a way
To leave the love behind
I ain't trippin
I'm just missing you
You know what I'm saying
You know what I mean
You kept me hanging from a string
Why you make me cry?
I tried to give you everything
But you just gave me lies
Every now and then
When I'm all alone
I be wishing you would call me on the telephone
Say you want me back
But you never do
I feel like such a fool
There's nothing I can do
I'm such a fool
For you
I can't take it
What am I waiting for?
My heart's still breaking
I miss you even more
And I can't fake it
The way I could before
I hate you but I love you
I can't stop thinking of you
It's true
I'm stuck on you
Now love's a broken record that's
Been skipping in my head
I keep singing yesterday
Why we got to play these games we play?
Every now and then
When I'm all alone
I be wishing you would call me on the telephone
Say you want me back
But you never do
I feel like such a fool