“Tania, nanti malam mama mau ajak kamu makan malam, bisa?” tanya Leo yang tiba-tiba sudah berdiri di depan Tania. Tania tak merespon, pandangannya lurus ke depan laptop. Leo menggoyangkan lima jarinya di depan Tania, tapi gadis itu tak bergeming. Penasaran kenapa Tania bisa seperti itu, Leo akhirnya berjalan memutar meja kerja Tania dan matanya lantas langsung membola melihat drama Korea yang isinya ada sepasang pasangan sedang melakukan ciuman panas di sebuah apartemen.
“Tania!” sentak Leo yang langsung membuat Tania sadar dan kelimpungan berdiri dari kursinya dan menatap Leo yang sudah berdiri di belakangnya dengan wajah memerah.
“K-Kok bapak sudah ada di sini?” tanya Tania heran.
“Kamu ngapain nonton film itu pas lagi kerja, Tania?” tanya Leo seraya menunjuk laptop di atas meja kerja Tania. Tania menoleh dan lantas mendelik kaget melihat adegan apa yang sedang diperlihatkan oleh laptopnya. Adegan ciuman panas di ruangan apartemen yang membuat tokoh utamanya pindah satu tempat ke tempat lain sembari berusaha melepaskan pakaian masing-masing. Leo menelan ludah, ia merasa gerah tiba-tiba. Panik dan malu, Tania akhirnya menutup laptopnya dan menoleh lagi ke arah wajah Leo yang sudah memerah.
“Maaf pak, kerjaan saya sudah selesai, dan itu … saya hanya merasa gabut saja,” kata Tania bingung. Leo bisa melihat wajah Tania juga memerah dan menahan malu.
“Kamu mau?” tanya Leo.
“Mau apa, pak?” tanya balik Tania dengan bingung. Leo sebal, Tania ini lola sekali dalam urusan cinta sepertinya. Padahal dalam urusan pekerjaan, ia selalu cekatan, “jangan berpikiran yang enggak-enggak, pak,”
“Kamu ini sok tahu sekali apa yang saya pikirkan,” kata Leo.
“Bapak ada mau apa ke sini?” tanya Tania. Tania merasa heran, gak biasanya Leo sampai ke ruangannya jika ada perlu, kecuali baru kembali dari suatu tempat gitu.
“Mama bilang mau ajak kamu makan malam di rumah,” kata Leo. Tania menatapnya dengan wajah memelas, “kenapa? Kamu gak mau?” tanya Leo.
“Saya ada janji kencan, pak,” kata Tania yang langsung membuat mata Leo mendelik lebar.
“Kamu udah punya pacar?” tanya Leo dan Tania menggeleng.
“Kita kenal lewat online, dia pemuda yang baik agamanya dan saya kepincut,”
“Mau jadi istri ke berapa?” canda Leo
“Bapak ini!” kesal Tania.
“Terus saya bilang ke mama gimana? Kamu udah dijodohin sama saya loh!” kata Leo.
“Tapi saya cuma mau nikah sama orang yang saya cintai, pak. Pernikahan satu kali untuk selamanya,” kata Tania pada Leo. Leo meliriknya sekilas, “bukan nikah konrak yang bakalan cerai nantinya,” jawab Tania, “emangnya bapak gak mau nikah sama perempuan yang bapak suka?” tanya Tania. Leo berpikir sejenak, di otaknya kini sedang melayang beberapa wajah wanita yang mati-matian mengejarnya, bahkan demi menjerat Leo, mereka tak segan-segan bersikap sedikit nakal, terang-terangan melepaskan pakaian saat Leo mengajaknya ke hotel. Padahal setelah itu, Leo hanya memberi mereka semua uangnya dalam jumlah besar dan keluar hotel tanpa melakukan apapun. Leo gak minat sama sekali dengan perempuan-perempuan seperti mereka itu.
“Ya sudah kalau kamu gak mau, saya akan bicara sama mama,” kata Leo yang langsung disambut dengan tawa yang cukup lebar oleh Tania. Melihat tawa Tania itu seketika hati Leo berkedut tak karuan. Antara kesal dan entahlah. Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun, dadanya kembali berkedut dan berdebar ketika seorang perempuan tersenyum kepadanya.
“Terima kasih banyak, pak!” kata Tania berseru dan bahagia. Yah, mungkin memang gak semua perempuan akan tergila-gila padanya karena ia tampan, kaya dan tinggi gagah.
***
Langkah kaki Leo terhenti di lobi saat ia melihat Tania sedang berdiri di halaman luar perusahaannya saat hujan turun. Leo tersenyum kecil, ia berniat menghampiri Tania tapi langkah kakinya mendadak berhenti kala ada satu buah mobil berhenti di depan Tania dan seorang pemuda tampan yang terlihat beberapa tahun lebih muda darinya turun dari mobil dan bergegas menghampiri Tania sembari membawa payung untuknya. Hati Leo berkedut keras, ia merasa seperti kehilangan dan rasanya lumayan sakit kala ia melihat Tania pergi bersama pemuda itu dengan senyum lebar di wajahnya.
Tenang, Leo! Perempuan seperti dia, kan, banyak!
Leo berusaha menghibur diri sendiri dan memilih tak peduli lalu pergi dari perusahaannya dengan mobil yang sudah siap di halaman depan perusahaannya. Leo mulai menyetir dan pikirannya mulai tak tenang, bayangan wajah Tania telah benar-benar menarik semua fokus dirinya hingga tanpa ia sadari, ia malah mengarahkannya pada panti asuhan yang Tania tinggali.
Kenapa aku malah berakhir di sini?
Leo memejamkan matanya dan menertawai dirinya sendiri. Gila kerja telah membuatnya tak memiliki waktu yang pas untuk berkencan benar-benar dengan wanita, paling lama ia hanya akan mengencani wanita itu seminggu, selebihnya ia bosan karena wanita yang ia kencani terlalu banyak meminta waktu darinya dan memintanya banyak hal.
Desi.
Nama itu membuat Leo berpikir bahwa mungkin Desi akan menjadi tempat pelarian yang pas buatnya. Leo bertemu dengan Desi di bar saat ia baru saja selesai meeting dengan investor barunya dari Singapura. Desi memberinya minumannya karena Leo terlihat belum memesan setelah cukup lama memandang botol-botol minuman di hadapannya.
“Always Jack Daniel that can make u better,” kata Desi kala itu. Leo mengangguk dan meraih gelas itu setelah mencampurnya sedikit dengan cola. Sudah lama ia tak minum JD, jadi dia merasakan sensasi yang sedikit bisa menyegarkan dirinya saat ini.
“Thanks,” jawab Leo. Mereka kemudian saling berbincang dan bercanda sedikit. Desi mulai menilai harga seluruh outfit yang dikenakan Leo dan menjadikannya target untuk mendapatkan uang. Tapi, Desi yang pintar bisa melihat bahwa Leo pemilih soal perempuan, jadi kali ini ia akan bermain pelan dan membiarkan Leo mengejarnya. Dan sesuai dugaannya, Leo benar-benar meminta nomer kontaknya setelah beberapa kali pertemuan mereka di bar dan Desi sama sekali tak menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya sebagai perempuan pemburu harta saja. Waktu itu Leo mengira bahwa mungkin Desi bisa ia ajak menjadi teman dan kedepannya ia tidak tahu harus apa. Pendekatan padanya dulu, mungkin?
Ragu-ragu Leo mau menghubungi Desi setelah kejadian hari itu. Sejak Desi tiba-tiba pergi dari perusahaannya tanpa mengatakan apapun, Leo mengabaikan pesannya. Baginya perintah mamanya yang mengatakan kalau ia harus menikahi Tania adalah ultimatum yang tak bisa dibantah sama sekali, jadinya ia menurut saja, toh pikirnya Tania memang adalah partner yang pas, dia adalah sekretaris yang sudah paham dengan dunia Leo yang sibuk, jadi ketika nanti Leo sibuk bekerja dan tak ada waktu buat Tania, lelaki itu pikir semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya, Tania malah menolaknya karena ia sudah memiliki pria lain tambatan hatinya.
Leo akhirnya menghubungi Desi dan panggilan tersebut langsung terhubung dengan Desi.
“Sayang …” sapaan dari seberang membuat Leo mengerutkan kening, pasalnya saat memanggilnya dengan sebutan itu, suara Desi terdengar sedikit mendesah.
“Des, ini bener kamu, kan?”
“Iya dong, Leo! Siapa lagi?” tanya Desi.
“Kamu lagi di mana?” tanya Leo.
“Di kamar saja,” jawab Desi, tanpa sepengetahuan Leo, Desi tengah bermain dengan seseorang di dalam kamarnya, “kamu pasti masih marah karena aku pergi begitu saja, iya, kan?” tanya Desi.
“Nggak, aku tahu kamu pasti jengah menungguku selesai meeting,” kata Leo.
“Jadi, kita ketemu hari ini?” tanya Desi bersemangat sembari membelai rambut pria asing di sebelahnya.
“Ya, di mana?” tanya Leo.
“Tempat biasa,” kata Desi dan Leo menyanggupinya. Setelah menutup telepon, Leo lantas menyalakan mesin mobilnya dan berniat pergi dari sekitaran panti asuhan tempat Tania tinggal. Belum sempat ia menjalankan mesin mobilnya, ia melihat sebuah mobil berhenti tak jauh di depannya dan Tania turun dari mobil itu dalam keadaan kesal dan tak peduli hujan. Tania sedikit berlari masuk ke dalam panti dan seorang lelaki keluar dari sana lalu mencoba menghentikan Tania yang membuka pagar rumah pantinya.
Leo bisa melihat bahwa Tania dan lelaki itu sedikit mengalami cekcok, mereka bertengkar dan Tania mendorong bahu lelaki itu agar menjauh darinya. Melihat itu tanpa sadar Leo tersenyum kecil, seolah ia senang dengan pertengkaran yang terjadi di antara mereka berdua.
Kenapa lo jadi seseneng itu sih, Le?
Leo heran dengan dirinya sendiri, lalu ia benar-benar memutuskan untuk pergi dari halaman rumah Tania dan menuju bar tempat ia memiliki janji dengan Desi.
“Hai, sayang!” seru Desi saat ia melihat wajah Leo menyembul dari balik pintu, ia gegas turun dari kursi tempatnya duduk dan menemui Leo yang baru datang. Ia memeluk Leo dan entah mengapa rasanya aneh saja, dadanya sama sekali tak merasakan getaran atau debaran yang berarti saat Desi memeluknya. Tapi meski begitu, Leo tetap memaksakan diri untuk tersenyum di depan Desi. Mereka menghabiskan minum beberapa sloki dan Desi cukup tercengang karena tak biasanya Leo minum beberapa sloki seperti ini.
“Ada masalah?” tanya Desi dan Leo menggeleng. Wajah Tania kembali membayanginya dan itu benar-benar membuatnya frustasi. Wajah Tania yang terlihat kesal dan marah sembari diguyur hujan, “mau minum lagi?” tawar Desi dan Leo mengangguk. Desi menuangkan dua sloki sekaligus dan hanya memberi campuran cola sedikit. Leo meminumnya.
“Mama memintaku menikah,” kata Leo. Desi yang terkejut langsung menoleh ke arahnya.
“Hah? Kenapa mendadak?” tanya Desi, ia bingung, tak mungkin ia membatalkan pernikahannya dengan seseorang demi Leo, kan? Ia sudah menyusun matang rencana pernikahannya ini dengan Mike jauh sebelum ia mengenal Leo, jika ia memutuskan Mike dan pindah hati ke Leo, ia tak tahu akan bisa mendapatkan uang yang banyak untuk menutupi hutang ayahnya itu.
“Mama yang memintaku,”
“Tapi, sayang, kita baru saja mengenal. Kita tidak mungkin,”
“Aku tahu!” potong Leo cepat, ia kesal karena ia ditolak menikah lagi oleh perempuan. Ia kembali minum dan pikirannya tertuju pada Tania.
“Maafkan aku,”
“Nggak, nggak perlu. Aku juga berniat menentang ucapan mama, aku akan menikah kala aku juga siap menikah,” kata Leo.
“Satu tahun, hanya setahun. Tunggu aku dan kita menikah kemudian,” kata Desi, “kita baru kenal dan aku gak mau kamu kecewa sama semua sifat aku setelah kita menikah,” kata Desi berpua-pura tulus, “maafkan aku. Setelah setahun, aku siap jadi istrimu, karena aku yakin kamu akan jatuh cinta padaku,” kata Desi. Leo menatap Desi lekat-lekat dan ia tiba-tiba memeluk perempuan itu.
“Baiklah, kita akan menikah satu tahun lagi,” kata Leo. Leo pikir, ucapan Desi ada benarnya, mereka baru mengenal dan ia juga tak mau kecewa dengan Desi. Sesuatu yang buru-buru itu memang tidak baik, pikirnya.
***
Leo berusaha membuka kedua matanya dengan sangat berat, tapi kepalanya sangat pusing. Ia tak tahu kenapa kepalanya sangat berat, ia hanya ingin tidur saja sepanjang hari ini, tapi ponselnya terus berdering dan ia tak bisa tak menghiraukan panggilan itu. Nada dering special yang hanya akan berbunyi jika Ibu Suri atau sang mama meneleponnya. Dengan susah payah, Leo membuka matanya dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah pintu kamar dan sofa yang nampak asing di matanya.
“Aku di mana?” gumam Leo bingung. Leo memejamkan matanya lagi dan ia membuka lagi kedua matanya karena kini telinganya bukan menangkap suara dering telepon tetapi suara gemericik air. Leo berguling dan wajahnya langsung diterpa sinar matahari yang cukup menyengat.
“Selamat pagi!” suara sapaan itu langsung membuat wajah Leo menoleh dan ia melihat Desi yang hanya mengenakan bathrobe dan sedang mengeringkan rambut dengan handuk itu membuat Leo kaget setengah mati. Gegas Leo bangkit dari posisi berebahnya dan selimut yang ia pakai turun ke bawah sampai ke pusar. Ia sadar bajunya telah tanggal dan ketika ia menyingkap selimutnya, ia kaget melihat bahwa ia benar-benar tak memakai apapun, “kenapa wajahmu lucu sekali?” tanya Desi dengan tawanya yang ringan. Leo masih diam terpaku.
“Apa yang sudah kita lakukan?” tanya Leo heran. Desi ikutan heran. Eksrepsi Leo ini benar-benar membuatnya geli.
“Apa lagi? Kita telah melewati malam yang panas,” kata Desi yang membuat Leo lantas berdiri dan bergegas ke kamar mandi.
Apa yang sudah aku lakukan dengan Desi?
“Sayang, keluarlah! Kita sarapan bersama! Lagi pula kamu tetap akan menikahiku tahun depan, kan? Jadi tidak masalah kalau kita sesekali tidur bersama,” kata Desi di luar kamar mandi. Leo benar-benar bingung dan tak tahu apa yang harus ia lakukan. Jadi ia bergegas mandi dan keluar dari kamar mandi disambut oleh Desi dengan senyuman.
“Kita tidak seharusnya melakukannya sebelum menikah, Desi!”
“Aku merasa bersalah karena telah menolakmu, jadi ketika kamu mabuk dan menciumku lalu menginginkan lebih dariku, aku tak kuasa menolak lagi,” kata Leo.
“Tapi ini tidak benar!” Leo bersikukuh.
“Sayang, tenanglah …”
“Kita harus menikah! Aku akan bertanggung jawab padamu! Bagaimana jika nanti kamu hamil?”
“Aku minum pil pencegah kehamilan,” jawab Desi, “sayang, tenanglah,”
“Kita harus menikah. Aku akan bilang pada Mama kalau aku akan menikahimu,” kata Leo. Desi panik. Ia tak mau rencananya gagal.
“Tidak bisa! Kita tidak bisa menikah!” kata Desi.
“Kenapa enggak?” tanya Leo.
“Karena, karena aku tunangan orang lain,” jawab Desi jujur yang membuat Leo kaget setengah mati. Leo sampai tak bisa berkata apa-apa. Ia benar-benar bingung, “aku tidak bisa menikah denganmu karena ayahku punya hutang banyak dan ia menjualku pada pria dan aku harus menikahinya dalam waktu dekat. Tapi, aku hanya mencintaimu, bisakah kita menikah setahun kemudian? Aku janji bahwa pernikahanku dengan pria itu hanyalah sandiwara belaka karena ia juga tak mencintaiku dan kami sama-sama menjalani pernikahan kontrak saja selama setahun,” kata Desi.
“Berapa hutang ayahmu? Aku akan melunasinya,” jawab Leo yang membuat Desi terperanjat.
“Nggak, jangan! Tunggu aku setahun, masalah yang aku hadapi lebih rumit dan susah! Meski kamu kaya, kamu gak akan mengerti,” kata Desi. Desi kemudian berbalik dan gegas memakai pakaiannya. Ia tak mau terjebak percakapan panjang dengan Leo. Ia tak mau rencananya gagal. Leo mencekal lengannya, Desi menatap Leo yang menatapnya tajam.
“Kamu yakin akan pergi setelah malam yang kita lalui?” tanya Desi.
“Masalahku terlalu rumit dan besar,” d**a Desi berdebar-debar saat mengatakannya. Untuk pertama kalinya ia merasakan gelenjar aneh saat matanya bertemu dengan mata Leo, padahal sebelumnya ia tidak merasakan itu. Apakah karena Leo tulus padanya?
“Aku akan coba selesaikan,” Desi menggeleng lemah. Ia tak bisa melepas rencananya begitu saja, karena jika tidak semuanya akan rumit.
“Maafkan aku, Leo. Jika kamu masih mau bersamaku, aku akan menunggumu tiga bulan lagi di sini, mungkin saat itu aku bisa memberikan jawaban,” kata Desi seraya pergi dari kamar itu segera.
Leo terpaku, ia heran dengan Desi, sepertinya gadis itu menyembunyikan sesuatu yang besar darinya, tapi ia tak tahu itu apa. Sampai Leo tersadar dan ketika ia akan mengejar Desi, ia tak bisa menemukan Desi di lorong kamar hotel itu. Ia gegas masuk kembali ke kamar, memakai pakaiannya dan meraih ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Sebuah pesan masuk dari Tania yang belum ia baca. Ia gegas membukanya karena ia yakin kalau Tania mencarinya karena persoalan pekerjaan, sayangnya bukan sama sekali.
‘Pak, aku menerima perjodohan kita, kira-kira kapan kita menikah? Apa bisa secepatnya?’