Bab 8: Tiba-Tiba Datang

1865 Kata
Tania masih menangis, bukan karena pesan kurang ajar yang ia kirimkan ke Leo, melainkan karena Ilham, pria yang selama ini menjalani kencan sembunyi dan diam-diamnya itu akan menikahi perempuan lain pilihan keluarganya. Masih ingat dengan jelas di benak Tania bagaimana Ilham mengatakannya dengan sangat ringan kemarin saat mereka mampir sepulang dari kerja ke sebuah café. Itu adalah kali ketiga mereka bertemu dan Tania benar-benar sudah jatuh cinta kepadanya. Ilham. Muhammad Ilham, diam-diam pemuda tampan yang memiliki mata teduh itu membuatnya menjadi pribadi yang baik. Tania rajin ibadah dan semakin yakin bahwa Ilham adalah lelaki yang tepat untuknya kala pria itu sangat santun kepada orang-orang yang tak dikenalnya. Ilham akan memberikan sisa uang di dompetnya kepada pengamen jalanan yang jumlahnya cukup banyak dan senang saat bertemu dengannya. Ilham akan menepikan mobilnya dan membantu ibu-ibu atau orang tua menyebrang, Ilham akan menemani anak kecil asing main di taman saat orang tua atau pengasuh mereka pergi ke toilet atau sibuk dengan ponsel mereka. Ilham akan memberi makan kucing di pasar yang kelaparan dan kehausan. Tania suka pribadi Ilham yang menurutnya pasti akan membuatnya menjadi ratu di pernikahan mereka, tapi dia harus mengubur mimpinya dalam-dalam kala omongan Ilham yang menyakitkan itu keluar dari mulutnya. Sempat Tania tak percaya dan mengira telinganya sedang bermasalah, nyatanya Ilham mengulangi ucapannya lagi. “Kenapa?” tanya Tania saat Ilham baru saja bilang bahwa mungkin hari itu adalah hari terakhir bagi mereka bertemu. “Orang tuaku sudah memilihkanku perempuan yang lebih baik darimu,” kata Ilham lagi. “Apa?” Tania merasa telinganya bermasalah, lima kata terakhir dari Ilham itu bukan hanya menyakitkan tapi bukankah tak pantas mengatakannya secara langsung? “Orang tuaku sudah menjodohkanku dengan perempuan lain yang lebih baik darimu,” kata Ilham. Ilham memang seperti ini ketika ia kesal, ia lupa kesal dengam siapa hingga meluapkannya pada orang lain. Ilham sedang kesal pada orang tuanya yang memaksanya tapi ia meluapkannya pada Tania di depannya dengan membandingkan Tania secara tak langsung dengan calon istri pilihan orang tuanya. “Perempuan lain yang lebih baik dariku?” ulang Tania dengan nada ucapannya yang tak percaya bahwa ia mengulang kalimat menyakitkan dari Ilham. Seperti tersadar bahwa ia telah salah ucap pada Tania setelah menyadari bagaimana cara Tania menatapnya sekarang, Ilham buru-buru meraih tangan Tania dan menggenggamnya, mencoba menyalurkan rasa penyesalan lewat matanya tanpa mengucapkannya. Sungguh aneh sekali. Tania menarik tangannya yang digenggam oleh Ilham, entah mengapa ia merasa berdosa tiba-tiba saat melihat tangannya digenggam oleh Ilham., “Tania, maafkan aku. Aku sedang kesal, jadi aku tak tahu apa yang aku ucapkan,” kata Ilham. Tania tersenyum mengejek. Ilham bukan anak kecil yang menurutnya akan mudah membuat kesalahan seperti itu. “Pasti orang tuamu menjodohkanmu dengan perempuan yang rajin beribadah, pandai mengaji dan menutup auratnya, kan?” tanya Tania. “Untuk itu kenapa aku memintamu untuk berhijab,” jawab Ilham lesu. “Ini aku dan itu dia, kamu suka aku ya kamu perjuangkan, kalau gak ya sama dia aja sesuai pilihan orang tuamu!” kata Tania tegas seraya berdiri dari kursinya. Ilham tersentak karena belum pernah Tania semarah ini sebelumnya dan itu membuat d**a Ilham berdebar-debar saking takutnya ia melihat Tania marah. “Jangan marah, Tania,” kata Ilham lembut. “Jangan sentuh aku! Kamu tahu itu berdosa, bukan? Lagian katamu calonmu adalah wanita yang lebih baik dari aku,” kata Tania menyindir, Ilham seolah mendapatkan tamparan keras dari ucapan Tania tersebut. Ilham terdiam, ia bingung, satu sisi Tania dan sisi lain adalah orang tuanya. Ia pikir mengatakan kata berpisah pada Tania akan mudah. Di dalam bayangannya, Tania akan menangis dan mengatakan kalau ia siap berubah demi Ilham seperti berkerudung dan berhenti dari pekerjaannya, tapi yang ada malah berbeda, Tania marah dan bahkan tak mau dipegang oleh Ilham. “Maafkan aku, Tania,” kata Ilham. “Aku pergi, anggap saja kita sudah tak pernah kenal. Mumpung juga kita baru jalan beberapa kali, belum satu tahun juga, jadi melupakanmu akan sangat mudah bagiku.” Tania sengaja mengatakan itu bukan untuk melukai Ilham tetapi menenangkan hatinya yang terluka akibat ucapan dan perbuatan Ilham, ia juga tak berharap banyak dari Ilham. Jika Ilham saja mudah dengan menghinanya, tentu dia akan mudah melupakannya, kan? Jadi tak perlu bermanis-manis di hadapannya. Ilham hanya bisa melihat Tania yang pergi begitu saja dari hadapannya. Ia pikir ucapan Tania benar bahwa mereka akan mudah saling melupakan satu sama lain, tapi ternyata, Ilham dan Tania sama-sama terluka. Tania yang mengurung dirinya di kamar sembari menangis semalaman dan Ilham yang tak bisa tidur karena wajah Tania terus memenuhi ruang otaknya. Paginya, Ilham tak tahan lagi, ia mencoba menghubungi Tania sebelum ia terlambat. Sayang, panggilannya direject berkali-kali dan itu membuatnya bingung. Akhinya, ia memutuskan untuk mengirimkan Tania pesan singkat saja. ‘Tania, aku sudah memutuskan yang terbaik diantara kita semua. Bagaimana kalau kita kawin lari saja? Setelah kita menikah dan pulang kembali ke rumah, maka sudah bisa dipastikan kalau kedua orang tuaku pasti akan menyetujui pernikahan kita,’ Pesan itu membuat Tania kesal bukan main. Ilham bukannya memberikan contoh yang baik kepada Tania, ia malah mengajak gadis itu untuk kawin lari. Bagaimana bisa? ‘Maaf, aku gak minat. Buat apa? enak di kamu, gak enak di aku donk!’ Balasan dari Tania membuat Ilham semakin frustasi, dari pesan singkat Tania itu, seolah mengatakan kalau dia baik-baik saja dan benar-benar tak membutuhkan lelaki pengecut seperti Ilham. Apalagi dengan ceplas ceplosnya Tania mengatakan kalau Ilham yang diuntungkan dalam kawin lari diantara mereka. Ilham semakin gemas dan menginginkan Tania. Ia tak bisa melepaskan Tania begitu saja. ‘Kalau begitu, beri aku waktu bicara dengan ibuku,’ ‘Apa yang aku katakan kemarin sudah jelas! Jangan hubungi aku lagi! Aku tidak bisa memberimu waktuku berharga! Lupakan aku! Aku sudah melupakanmu! Tania mengetik dua kata terakhir dengan air mata yang berderai. Sial sekali, nyatanya ia tak setangguh kalimat-kalimat dalam pesannya itu, hatinya sakit dan ia belum bisa melupakan Ilham. ‘Aku akan bicara pada ibuku hari ini, jadi jangan kemana-mana. Tunggu aku satu jam lagi,’ pesan dari Ilham itu membuat Tania melongo. Ia heran sekali kenapa Ilham seperti nekat dan gentle sekali. Tania mulai tersenyum dan ia bergegas mandi lalu menggunakan masker mata agar matanya yang sembab tidak kelihatan oleh Ilham dan keluarganya pagi ini. “Tania! Kamu gak kerja?” ibu panti menegur Tania. “Tania kan udah bilang ke ibu kalau Tania ambil cuti karena besok tanggal merah, jadi liburnya biar bisa empat hari sekaligus gitu,” jawab Tania. Bu Hani manggut-manggut paham dan meninggalkan kamar Tania, tapi langkah kakinya terhenti kala ia melihat mobil Leo memasuki pekarangan panti asuhannya. “Tapi kenapa Leo ada di sini, Tania? Kalian ada dinas keluar kota?” tanya bu Hani pada Tania yang membuat gadis itu lantas melepaskan masker di wajahnya dan segera bangkit dari tempat tidurnya. Tania lantas meraih ponselnya dan membaca pesan terkirimnya ke Leo. Ia memukul jidatnya kemudian, merasa bodoh karena belum mengirim pesan klarifikasi kepada Leo bahwa ia tak jadi meminta Leo menikahi dirinya. Aduh! Bagaimana ini? Bagaimana jika Ilham bentar lagi juga datang ke rumah pantinya bersama ibundanya? Leo turun dari mobil dan berjalan lesu ke dalam panti asuhan milih Tania. Permintaan Desi yang gila benar-benar membuat tubuhnya kehilangan kekuatan. Bahkan untuk melangkahkan kaki saja, ia terasa kesulitan. Berulang-ulang kali Leo mendesah ketika ia teringat akan dirinya yang bangun dari tempat tidur hotel dalam keadaan tanpa busana dan Desi keluar dari kamar mandi dengan wajah ceria dan handuk yang membungkus dari d**a sampai pangkal pahanya saja. Rambutnya yang basah sama sekali tak membangkitkan gairah Leo sebagai seorang lelaki. Tapi, pantang bagi Leo melukai hati perempuan, ia memang suka gonta ganti pasangan tapi tak pernah mengajak mereka untuk one night stand. Paling banter Leo berciuman dan itupun dengan kekasihnya setelah mereka menjalin tali kasih selama dua tahun lamanya, setelah itu Leo lebih suka bergandengan tangan dengan pacar-pacarnya dari pada mencium mereka. Mereka yang agresif dan Leo yang pasif, akhirnya Leo memutuskan mereka ketika mereka meminta lebih ke Leo. Bagi Leo, hubungan itu sudah tak sehat dan ia teringat akan dua adiknya yang juga perempuan, Bella dan Nella. Tentunya, Leo berharap kedua adiknya mendapatkan pria yang tabiatnya tak jauh sepertinya, baik kepada perempuan meski suka mematahkan hati mereka yang tiba-tiba bucin ke Leo. Leo sungguh-sungguh ingin bertanggung jawab ke Desi, sayangnya Desi benar-benar menolaknya dan lebih memilih tunangannya. “Bagaimana jika kamu hamil?” tanya Leo dan Desi lagi-lagi tertawa. “Sudah kukatakan kalau aku meminum pil KB,” kata Desi. “Baiklah jika itu maumu! Jangan cari aku lagi setelah ini!” kata Leo kesal. Baginya, ia sudah cukup baik dengan berniat bertanggung jawab tapi nyatanya Desi malah mempertahankan pertunangannya dan buat apa Leo bersusah payah? “Jangan marah,” kata Desi yang mulai mencoba merayu Leo kembali, “tunggu aku setahun lagi. Aku hanya butuh setahun untuk menuntaskan dendamku,” kata Desi lagi. “Dendam?” tanya Leo dan Desi mengangguk, “dendam apa?” tanya Leo dan Desi menggeleng, tentu ia tak bisa berbohong lebih jauh ke Leo. Bukan itu rencananya. “Aku tak bisa mengatakannya sekarang. Hanya saja hidupku pernah kacau sebelumnya dan aku harus memperbaikinya. Bagaimana jika kamu menikahi perempuan lain lebih dulu di atas kontrak sementara itu kamu menungguku? Kamu takut aku hamil anakmu, kan? Jika aku benar hamil atau tidak itu akan kelihatan tiga bulan lagi. Jika aku hamil, maka aku akan melupakan dendamku dan menikah denganmu, tapi jika tidak, kamu bebas pergi. Anggap semalam bukan apa-apa,” kata Desi. “Bagaimana mungkin aku menikah kontrak?” “Kamu pasti bisa dan sudah pernah mendengarnya,” kata Desi. Ya, Leo tahu soal itu, “tapi ingat kamu hanya menikahi gadis itu secara kontrak , jangan sampai kalian punya hubungan lebih dalam sebelum kamu bertemu denganku,” kata Desi. Jika saja Leo tak ingat bahwa dia memiliki dua adik perempuan dan ibunya juga seorang perempuan, ia tak akan rela menjalani hubungan tidak jelas seperti sekarang ini dengan Desi. Ia menyesali dirinya yang mabuk semalam dan bangun dalam keadaan tak ingat apapun yang telah terjadi semalaman dengannya. “Nak Leo, kok lemas? Belum sarapan?” tanya bu Hani lembut. Leo menapaki tangga menuj u panti asuhan milik Tania dan mencium punggung tangan bu Hani dengan lembut. “Tania ada, bu? Dia masak apa?” tanya Leo. “Sambal tempe penyet terong,” jawab Tania ketus, “gak ada ayam di sini, pak. Bapak saya sarankan sarapan di tempat lain dulu saja,” kata Tania. Bu Hani mendelik mendengarkan ucapan Tania barusan, terkesan benar-benar tak sopan di telinganya. “Sama kamu, ya?” tanya Leo yang membuat mata Tania membola sempurna. “Saya gak bisa temani bapak, saya mau ada tamu barusan, kalau siangan mungkin bisa. Lagi pula ini masih pagi, pak,” kata Tania, “hari libur pula,” “Saya ke sini karena pesan kamu itu,” kata Leo. Tania menoleh ke arah ibu pantinya dan segera mengajak Leo menjauh dari rumah sebelum Leo bicara yang tidak-tidak, “ kita mau ke mana, Tania?” tanya Leo yang tangannya diseret Tania keluar dari rumahnya. Sekretarisnya itu jika diluar jam kerja memang seperti itu kelakuannya, gak ada sopan-sopannya sama Leo. Langkah kaki Tania terhenti ketika ia menyadari mobil Ilham memasuki halaman luas perkarangan panti asuhannya. Ya Tuhan! Kenapa pagi sekali? belum juga satu jam! Aduh! Bagaimana ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN