"Dea, kau baik-baik saja?" tanya Aldo khawatir.
Andrea tidak menjawab, tapi Aldo dapat yakin kalau Andrea masih terus muntah. Dia akhirnya memutuskan untuk masuk, dan benar seperti yang dia pikirkan.
Huek
Andrea sudah memiliki wajah pucat, tapi dia masih merasa terus mual. Kepalanya juga jadi pusing karena terus menunduk. Air matanya mengalir, karena dia kesal.
"Ayo kita ke dokter. Minta obat biar kamu gak mual!" Aldo sangat khawatir melihat kondisi Andrea.
Adik iparnya itu bahkan tidak jadi makan malam, karena sudah lebih dulu mual di suapan pertama. Dia langsung mengikuti kepergian Andrea menuju kamar mandi tamu yang paling dekat dengan dapur.
Orangtuanya tidak ada, Bobby juga sedang keluar dengan teman-temannya. Hanya ada dia yang tersisa. Bagaimana mungkin dia akan membiarkan begitu saja.
"Dea lemes, kak!" keluh Andrea sambil memijat kepalanya.
Aldo dapat melihat kalau Andrea sampai berkeringat, juga wajah pucatnya menunjukkan kalau dia tersiksa.
"Ayo, kakak angkat!" Aldo agak tidak biasa memanggilkan dirinya sebagai kakak, tapi bagaimanapun Andrea adalah adik iparnya.
Aldo langsung mengangkat tubuh Dea, dia membawanya menuju ke mobilnya. Diikuti oleh kepala pelayan.
"Hubungi Bobby. Tanyakan dia dimana, suruh dia pulang!" perintah Aldo pada kepala pelayan tersebut.
Aldo kesal, karena Bobby masih tidak tahu waktu saat main, meskipun dia sudah menikah. Membiarkan istrinya makan malam sendirian. Jika saja tadi dia tidak segera pulang dari bertemu klien, mungkin Andrea masih muntah-muntah di kamar mandi saat ini.
"Siap, tuan muda!" Kepala pelayan melihat Andrea yang sudah sangat pucat, dia juga khawatir.
Aldo langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Sebenarnya dia memiliki dokter pribadi, tapi dia ingin mengecek kandungan Andrea sekaligus. Dia khawatir, karena Andrea sempat mengeluhkan kalau perutnya sakit.
"Kak, Dea mau muntah!" Andrea agak panik, dia benar-benar tidak bisa untuk terus menahannya.
Aldo langsung menghentikan mobilnya di depan rumah orang. Memberikan adik iparnya itu tissue "Muntahkan saja!"
Pada dasarnya, Andrea hanya memuntahkan cairan sedikit setiap dia muntah.
Aldo dengan sabar mengusap tangan Andrea. Melihatnya duduk lemas dengan wajah semakin pucat, dia tidak tega.
"Kita jalan lagi, ya?" Aldo melajukan mobilnya lagi, dia tidak menjalankan dengan kecepatan penuh, karena Andrea akan semakin muat jika dia ngebut.
"Kapan terakhir kali kamu periksa kandungan kamu?" Aldo menoleh ke samping, Andrea juga sedang melihat ke arahnya.
"Sehari sebelum pernikahan. Saat itu mama pengen aku untuk melakukan aborsi, tapi aku gak mau. Jadi hanya diperiksa saja!" Andrea mengatakan dengan sedih, hari itu sangat berat untuknya dan keluarganya.
Bima tidak mendukung apa yang dilakukan istrinya. Dia tidak mau putrinya melakukan aborsi. Mereka berselisih, sedangkan Andrea syok berat karena melihat kekacauan yang terjadi karenanya. Dia ketakutan, saat mamanya memaksa untuk ke rumah sakit. Untung saja kakaknya cepat datang saat itu. Membawanya pergi dengan mengamuk.
Andrea sangat bersyukur, kakak satu-satunya yang dia miliki itu selalu mendukung dan menjaganya. Hanya dia yang terus menguatkannya. Tapi di pernikahannya dengan Bobby, dia melihat kakaknya sangat kecewa.
Sebenarnya Andrea hanya tidak mau selalu membebani kakaknya. Dengan menikah dengan Bobby, maka akan ada orang yang bertanggung jawab atas bayinya. Hanya itu alasan dia mau menerima pernikahan itu.
"Kamu punya Bobby sekarang. Aku akan pastikan dia bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan padamu. Aku minta maaf, hidupmu jadi sulit karenanya!" Aldo dapat mengerti semua kesulitan yang dijalani Andrea. Dia sama kecewanya, saat tahu adiknya sendiri yang telah menjadi pengacaunya.
"Yah, kakak juga pasti sulit. Maaf!" Andrea membuang pandangan ke arah jendela, dia tahu kalau Aldo adalah orang yang baik, tapi dai juga telah mengecewakannya. Dia cukup tahu diri, bukan hanya dia yang terluka, Aldo pun sama.
"Kamu gak perlu minta maaf!" Aldo tersenyum, dia melihat Andrea tidak lagi mual, mungkin karena dia berhasil mengalihkan pikirannya.
Mereka kembali hanya diam. Hingga akhirnya sampai di rumah sakit. Aldo akan menghangat Andrea, saat wanita itu menolak.
"Dea bisa jalan sendiri!" Meskipun agak lemas, tapi Dea tidak enak jika merepotkan kakak iparnya.
Masuk ke ruangan dokter, Andrea melakukan pemeriksaan. Hasilnya baik-baik saja. Dan untuk mualnya, dokter memberikan obat untuk mengurangi rasa mual tersebut. Meskipun tidak berpengaruh banyak, karena wajar untuk ibu hamil mengalami masa itu di trimester pertama.
"Kau ingat kata dokter tadi. Jangan melakukan banyak aktivitas. Kau bisa ambil cuti kuliah untuk beberapa hari bukan?" Aldo melirik Andrea yang sudah tidak sepucat tadi, karena dokter sudah memberikan suntikan vitamin.
"Aku tidak bisa terlalu sering cuti. Setidaknya aku harus lulus di semester ini, sebelum cuti di semester depan!" Andra berencana mengambil cuti satu semester penuh di semester selanjutnya, jadi dia berniat menyelesaikan dua bulan sisa di semester ini.
"Kau tidak bisa memaksakan diri. Minta Bobby mengantar-jemput. Jangan menyetir sendiri!" Aldo menyarankan.
Andrea hanya diam. Karena Bobby itu pemalas, dia sangat sulit dibangunkan saat dia ada kuliah pagi. Andrea memang dulunya manja harus dibangunkan oleh mama atau kakaknya, tapi dia bukan pemalas. Dia merasa Bobby adalah karmanya.
"Kau mau mampir beli makanan? Perutmu belum terisi 'kan?"
Andrea mengangguk. Dia sebenarnya masih takut akan mual lagi. Tapi dia juga tahu, kalau harus makan demi calon bayinya.
Berhenti di salah satu restoran. Andrea memesan satu porsi untuk dirinya. Dia sengaja menghindari makanan amis. Agar tidak mual lagi. Sedangkan Aldo, dia hanya memesan kopi saja.
Andrea tahu Aldo memiliki wajah yang tegas dan serius, tapi sikapnya hangat. Meskipun mereka tidak akrab sebelumnya, tapi tidak ada batas dalam perhatiannya. Andrea merasa seperti sedang bersama Revdi.
Ngomong-ngomong tentang Revdi, laki-laki itu juga berada di restoran yang sama dengan Aldo dan Andrea. Dia sedang makan malam dengan teman-temannya dalam sebuah reuni. Awalnya dia terkejut melihat adiknya malah bersama Aldo, tapi dia masih terus memperhatikan.
Dia laki-laki, jadi dia tahu kalau Aldo memandang Andrea bukan sebagai adik ipar. Tatapan terlalu lembut seperti tatapan pada seorang kekasih. Dia mengetahui kalau Aldo bukan orang yang sering dekat dengan wanita. Berbeda dengan Bobby, suami adiknya. Jadi saat melihatnya memiliki tatapan seperti itu pada Andrea, Revdi dapat melihat ketulusannya. Sangat disayangkan. Adiknya tidak jadi bersanding dengan laki-laki seperti itu, malah bersama b******n seperti Bobby.
Tingkah keduanya masih terus Revdi perhatikan. Saat Aldi dengan telaten membantu Andrea mengusap bibirnya. Dan lagi, saat Andrea berlari ke toilet, Aldo juga langsung mengikutinya. Revdi dapat menebak, kalau adiknya sedang mual, karena terakhir kali Andrea di rumah, adiknya memang selalu mual sehabis makan.
Revdo ijin dengan temannya untuk ke toilet. Dia melihat kalau Aldo bahkan masuk ke toilet perempuan untuk menemani Andrea. Beberapa wanita juga mengerti saat Aldo memaksa masuk, karena berpikir dia suaminya.
Revdi langsung berbalik pergi, dia agak lega karena Aldo tidak mengacuhkan adiknya. Dia awalnya berpikir mungkin Aldo akan membenci Andrea, tapi laki-laki itu malah masih terlihat sangat peduli. Setidaknya Revdi tahu, kalau adiknya baik-baik saja di sana.
Aldo langsung membawa Andrea pulang. Karena wanita itu sudah sangat lemas, jadi dia ingin agar Andrea bisa segera beristirahat.
Di perjalanan, rupanya Andrea sudah tertidur. Dia terlihat sangat lelah. Aldo merasa kasihan, tangannya terulur untuk mengusap keningnya.