Kedatangan keduanya tidak memiliki sambutan baik dari keluarga Avega. Bobby dan Andrea masuk ke dalam rumah, hanya di sambut oleh kepala pelayan untuk membawakan barang-barang mereka.
"Aku merasa tidak nyaman tinggal di sini. Bisakah jika suatu hari nanti kita tinggal terpisah dari keluargamu!" ujar Andrea menatapi rumah besar yang saat ini terlihat sepi.
Dia sudah memikirkan hal ini sejak tadi. Rasanya pasti akan canggung untuk bertemu dengan Aldo. Dia merasa agak bersalah juga entahlah, Andrea hanya tahu dia pasti tidak akan merasa nyaman.
"Kenapa?" tanya Bobby santai, meraih tangan Andrea untuk di gandengnya.
"Aku tidak nyaman!" Andrea mengulangi pernyataannya.
"Nyamankan saja. Kau akan suka tinggal di sini!" Bobby tersenyum meyakinkan, tapi karena ada beberapa luka memar di wajahnya, dia jadi agak kesakitan.
Andrea menatap tangan Bobby yang menggandeng tangannya. Dia rasanya sangat kesal padanya, marah juga benci, tapi entah kenapa dia agak lega. Andrea berpikir karena dia sudah kebingungan selama ini memikirkan siapa ayah dari anak yang dikandungnya, karena Bobby mengakui bayi ini miliknya, itu menjadi kelegaan untuknya.
"Kamarmu agak kecil dari yang kubayangkan!" Andrea pikir karena rumah Avega sebesar ini, maka kamarnya akan sangat besar, tapi tidak sesuai perkiraannya karena itu agak kecil. Tempat tidurnya juga hanya setengah dari luas tempat tidurnya.
"Jangan mengeluh! Kemari!" Bobby menepuk sisi sebelahnya.
"Apa?" Andrea mendudukkan pantatnya, dia menoleh pada Bobby dengan tatapan tanya.
"Jadilah baik. Maka kau akan baik-baik saja. Aku berjanji, suatu hari nanti akan memberikan kamar yang lebih besar dari ini!" Bobby tersenyum sombong, dia langsung merebahkan badannya.
"Bobby, kenapa kau melakukan hal itu padaku. Bukankah aku tidak pernah menyinggungmu!" Andrea benar-benar penasaran, apa salahnya hingga Bobby tega padanya.
"Kau akan tahu nanti, kemari!" Bobby membuka lengannya, meminta Andrea ikut berbaring dengannya. Melihat gadis itu enggan, Bobby langsung meraih pinggangnya hingga Andrea jadi berbaring di sebelahnya.
"Ibu hamil tidak boleh tidur malam. Ayo tidur!" Bobby sebenarnya hanya tidak ingin menjawab pertanyaan Andrea.
"Aku tidak bisa tidur dengan kaki menggantung!" keluh Andrea yang bangkit lagi untuk naik sepenuhnya ke tempat tidur minimalis tersebut.
Bobby tertawa, Andrea adalah gadis manja yang baik hati. Dia tahu itu, jika tidak, saat ini gadis itu pasti masih sibuk menyalahkannya.
Dia berguling hingga menindih Andrea, wajahnya tepat di depan perut istrinya. Awalnya Bobby mendongak untuk melihat wajah Andrea yang juga terkejut menunduk memperhatikannya.
Bobby tersenyum lebar, dia mengerahkan tangannya untuk membuka baju Andrea. Tapi istrinya itu menahan dan tidak mengijinkannya. Karena laki-laki memiliki tenaga yang kuat, tentu Andrea hanya bisa mengalah saat perutnya sudah terekspos.
"Berapa umurnya sekarang?" Bobby mengusap perut Andrea dengan gerakan lembut.
Andrea menghitung, dan itu seharusnya sekitar lima Minggu, maka dia menunjukkan lima jarinya. Bobby mengerti, karena Jika diingat-ingat usia janin itu memang sekitar segitu.
"Hallo sayang, ini papa. Eh, menurutmu dia harus memanggilku apa? Papa terlalu umum!" Bobby bertanya pada Andrea.
Andrea sendiri bingung, dia belum pernah memikirkan panggilan seperti itu. "Bagaimana jika Ayah saja?"
Andrea memanggil orangtuanya dengan sebutan papa-mama, begitupun dengan Bobby. Jadi ayah-bunda tidak buruk untuk dicoba.
"Aku tidak suka, bagaimana jika Daddy saja!" Bobby bertanya, tapi dia sudah memiliki jawaban sendiri.
Karena tidak mau berdebat, Andrea hanya mengangguk saja. Meskipun dia tidak begitu suka. Panggilan itu agak terlalu berlebihan untuk lidah orang Indonesia.
Andrea sedang memperhatikan ruangan kamar Bobby, saat merasakan ada tangan masuk ke dalam celananya.
"Apa yang kau lakukan?" Andrea menepuk tangan Bobby keras.
"Apalagi? Aku ingin meminta jatah!" jawab Bobby lebih sengit.
Keduanya saling menatap tajam, hingga kemudian terjadi pergulatan sengit. Bobby yang semakin naik ke tubuh Andrea dan mengunci gerakannya, sedangkan Andrea berusaha bergerak sambil berteriak.
"Hei, kenapa kau berteriak malam-malam. Orang-orang akan berpikir kau sedang menikmati malam pertama kita!" Bobby menegur dengan nada menggoda.
"Malam pertama apa? Aku tidak mau, kita sudah memiliki anak. Jadi kenapa harus melakukan itu lagi!" protes Andrea berusaha lepas dari cengkraman suaminya.
"Heh, bodoh. Kau pikir melakukan itu hanya untuk membuat anak. Tentu saja ada tujuan lainnya. Sebuah kenikmatan!" Bobby menjawab dengan wajah mesumnya.
"Ih, dasar c***l! Sana jauh-jauh!" Andrea memukuli d**a Bobby, dia tidak mau melakukannya.
Bobby jadi menyesal, karena saat dia melakukan untuk pertama kalinya dulu, dia membius Andrea
Sehingga Andrea tidak mengingat kenikmatannya.
"Mana bisa gitu!" Bobby tidak terima, dia tidak akan menyerah.
Aksi saling mendorong itu berakhir dengan Andrea yang sudah tertidur lelap. Bobby memperhatikan wajah istrinya yang terlihat lelah. Malam ini dia tidak benar-benar menginginkannya. Hanya berusaha untuk menggodanya saja.
"Good night istriku!" Bobby mencium kening istrinya.
Di luar kamar, seseorang berdiri dengan tatapan terluka. Dia tidak hanya gagal menikahinya, tapi juga adiknya sendiri yang telah membuatnya kecewa.
Aldo sangat menyayangi Bobby sudah seperti saudara kandung. Dia tidak pernah mendengarkan, saat mamanya menyuruhnya menyingkirkan Bobby. Dia selalu memanjakan Bobby sebagai gantinya.
Aldo melihat sendiri, saat mamanya Aldo meninggal, dan Bobby kecil menangis. Saat pertama kali dibawa ke rumah ini, Bobby kecil tidak mau bicara pada siapapun. Di usianya yang baru lima tahun, Bobby juga tidak suka bermain seperti anak lainnya. Dia pendiam.
Itu saat dia masih kecil, hingga beranjak dewasa Bobby malah menjadi anak yang periang. Dia pandai bergaul dan pembuat masalah. Aldo menyayanginya, sehingga masalah apapun yang diciptakannya, dia selalu membantunya.
Tapi masalah yang dibuat Bobby kali ini sangat menyakitinya. Mendengar candaan mereka di dalam sana, bagaikan ada jutaan pisau menancap di dadanya.
Maureen yang sedari tadi diam-diam memperhatikan dari kejauhan, dia semakin benci dengan Bobby. Dia menyesal, tidak menyingkirkan anak itu sejak dulu.
Rasa benci yang Maureen miliki, sudah tertanam sejak dia tahu suaminya berselingkuh dengan wanita lain, hingga mengandung anaknya. Susah payah dia memaafkan suaminya, dengan syarat agar meninggalkan wanita itu, lima tahun setelahnya, Albi mendapatkan kabar kalau wanita itu sekarat. Maureen hanya bisa membenci, saat akhirnya anak dari hasil perselingkuhan itu harus tinggal bersama mereka.
Dia berbalik pergi, begitupun dengan Aldo. Dia berjalan meninggalkan pintu ruangan tersebut. Dan melangkahkan kaki menuju pintu utama.
Saat paginya di rumah Avega, seorang pelayan berteriak karena melihat tuan mudanya tergeletak tidak sadarkan diri di depan pintu utama.
Maureen meminta orangnya untuk membawa Aldo ke kamarnya. Ada aroma Alkohol yang sangat pekat tercium dari badannya. Semua orang bisa menebak, kalau Aldo tengah Hangover.
Bobby hanya menonton dari kejauhan, dia tersenyum melihat kesengsaraan di wajah mama Maureen. Tapi sedikit merasa bersalah pada kakaknya.
"Ada apa?" tanya Andrea yang baru saja selesai mandi dan bersiap akan sarapan.
"Tidak ada apa-apa. Kau sangat wangi!" Bobby mencium pipi istrinya.
"Aih, jangan cium-cium sembarangan. Kau ini!" Andrea menjauhkan wajah Bobby yang masih ingin menciumnya.
Bobby tertawa sambil membiarkan sang istri untuk terus mendorong wajahnya. Dia punya hobi baru sekarang ini. Yaitu menggoda istrinya.
"Kau malu?" tanya Bobby masih terus berusaha menggoda istrinya.
Andrea berakhir di pelukan sang suami. Dia tidak bisa melepaskan dirinya dari dekapan Bobby. Akhirnya hanya bisa pasrah menyandarkan kepala di dadanya.
"Aku suka wanginya!" ujar Bobby sambil menghirup dalam aroma yang tercium dari tubuh istrinya.
Andrea hanya diam. Dia masih canggung, tapi Bobby sedikitpun membiarkannya seperti orang asing. Sentuhannya dan semua perlakuannya, seakan mereka adalah orang yang saling mengenal lama.