Dapat melihat, tapi tidak memiliki

1117 Kata
Membantu Andrea berbaring di kamarnya, Aldo duduk diam memperhatikan wajah Andrea yang sudah terlelap. Tidak diragukan lagi, kecantikan Andrea bukanlah sekedar omong kosong. Revdi dan Andrea memang dikenal dengan ketampanan dan kecantikannya. Sangat disayangkan, di usianya yang masih muda, Andrea sudah terikat dalam pernikahan. Dulu dia tidak pernah berpikir akan hal tersebut, saat akan melamar Andrea. Karena dia sangat penasaran dengan sosok Andrea yang sering diceritakan orang-orang, termasuk keluarganya sendiri. Sehingga saat mendengar keinginan papanya untuk menjodohkannya, dia pun tidak langsung menolak. Bahkan merasa penasaran. Wanita cantik di depannya itu bukan miliknya. Sungguh takdir yang menyakitkan. Dia hanya bisa melihatnya, tapi tidak ditakdirkan untuk memilikinya. Rasanya enggan untuk beranjak dari sana. Menikmati kecantikan adik iparnya adalah hal candu yang sulit untuk dihilangkan. Beruntung, besok sore dia akan pergi ke Jepang. Atau dia akan jadi gila karena ingin terus berada di sisinya. Ikatan antara mereka sebelumnya hanya sebagai orang yang baru saling mengenal karena dijodohkan. Tapi Aldo sendiri sudah terlalu sering mendengar tentang Andrea, sehingga saat bertemu, dia sudah merasa dekat. Tangannya terulur untuk mengusap rambut atasnya. Wajar jika wanita secantik ini menjadi idaman banyak pria, bahkan dia juga mendengar betapa Revdi, kakaknya Andrea sangat protected terhadap wanita cantik yang saat ini tengah tertidur lelap. "Sleep tight!" Aldo menahan dirinya agar tidak mencium keningnya, tapi malah berakhir dengan mencium pipinya. Merasa tidak benar, dia langsung bangkit dengan ekspresi rumit. Berjalan keluar, dia melihat Bobby bersandar di pintu. "Lo lupa posisi, kakak?" Bobby menyeringai, menunjukkan ejekan. Aldo tahu dia salah. Dia juga mengerti kalau Bobby tersinggung. Tapi tanpa mengucapkan apapun, dia memilih segera pergi. "Lo gak bisa mengendalikan keinginan itu bukan? Seperti ingin marah, saat lo gak berdaya!" Bobby masih belum mau melepaskan kakaknya. Aldo menghela nafas, dia berbalik. Menatap pada adiknya. "Jangan pancing gue, Bobby. Lo tahu, gue udah menahan amarah" Bobby tertawa, dia beranjak dari posisinya, tangan kanannya menarik pintu agar tertutup. "Kenapa? Lo takut Andrea mendengarnya?" Bobby sudah berdiri di depan kakaknya, hanya menyisakan jarak dua jengkal saja. Aldo mendorong d**a Bobby hingga mundur satu langkah ke belakang. Tangannya menunjuk tepat di wajah Bobby, "Gue gak permasalahin tentang masalah ini, karena lo masih gue anggap adek gue. Tapi bukan berarti gue gak marah. Jadi, sebelum Lo ngomong kayak tadi, mending Lo introspeksi dulu!" Berbalik hendak pergi dari sana, tapi Aldo berbalik lagi. Dia menatap tajam pada adiknya, "Kalo Lo lakuin ini untuk balas dendam, mending jangan lanjutin. Karena itu gak mengubah masa lalu!" Aldo benar-benar pergi, membawa kemarahannya agar tidak meledak. Dia tidak ingin memukul adiknya lagi. Cukup di hari pernikahan itu saja. Karena dia tahu, Bobby sengaja ingin memancing amarahnya. Dia mendudukkan diri di mini bar yang ada di rumahnya. Menegak minuman merah itu untuk mengalihkan rasa sakit di kepalanya. Aldo memiliki masalah dalam kemarahan. Dia tak terkendali jika meledak, tapi terapi yang dia jalani sejak usia remaja telah melatihnya untuk tidak melepaskan amarahnya. Tidak tahu itu gelas ke berapa, tapi Aldo hampir berada di batas kesadarannya. Belum ingin beranjak dari sana, dia benar-benar kacau. Di lantai atas, Bobby juga sedang menikmati minuman di kamarnya. Dia duduk menghadap sang istri yang masih lelap. Rasanya memang jahat, tapi Bobby tahu apa yang dilakukannya. Dia juga berjanji akan menjaga Andrea dan anaknya. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaannya terhadap wanita cantik itu, karena Bobby pun juga belum benar-benar yakin. Melepaskan bajunya, Bobby berjalan mendekati tempat tidur, dan memilih posisi berbaring di belakang tubuh Andrea yang sedang berbaring miring. Mengecup sebelah pipi Andrea lama, dia menariknya lebih masuk dalam dekapannya. Entah Andrea sadar atau tidak, karena wanita itu berbalik mencari posisi ternyaman. Senyum tersungging di bibir Bobby. Dia kembali menanamkan ciuman di pipi istrinya, sebelum ikut terlelap bersamanya. Pagi itu, kepala pelayan menemukan tuan mudanya tertidur di sofa dekat mini bar. Dia tidak membangunkan, tapi memilih melaporkan pada nyonya Maureen. Maureen yang memang akan turun ke bawah, dia langsung menghampiri putranya. Di sana, dia melihat betapa kacaunya sang putra. Bohong jika dia tidak tahu alasannya. Karena sangat jarang Aldo kacau seperti itu. Dia benar-benar mengutuk keberadaan Bobby dalam keluarganya. Sama seperti dia mengutuk ibunya dulu, dia juga tidak akan membiarkan anak itu bahagia, dengan merebut kebahagiaan yang seharusnya hanya dimiliki oleh putranya. "Minta pelayan untuk menyiapkan obat penghilang pengar. Dan minta seseorang untuk membuatkan kopi suamiku, jangan biarkan dia turun dan melihat keadaan Aldo!" ujar Maureen memberikan perintah. Maureen duduk berjongkok di depan sofa. Memperhatikan wajah lelah putranya. Tidak tahu kapan dia berhenti minum, Atau sebanyak apa dia minum, melihat dari banyaknya di atas meja bar, Maureen cukup tahu betapa buruk keadaannya sekarang. "Tante gak perlu khawatir. Anak laki-laki terbiasa mabuk seperti itu!" ujar Bobby sengaja melewati ruangan itu, padahal jika ingin ke ruang makan, dia punya jalan cepet di dekat tangga. "b******n!" gumam Maureen berusaha tidak terpancing, dia menahan dengan tidak mau melihat wajah anak itu. "Kau berbicara kasar!" ujar Bobby seperti gumaman juga, dia berlalu menuju dapur tanpa melihat reaksi Maureen. Pelayan datang membawa minuman penghilang pengar untuk tuan mudanya. Dia memberikan pada nyonya Maureen dan berlalu pergi setelahnya. "Sayang! Bangun nak!" Maureen memaksa Aldo agar duduk, meskipun matanya belum terbuka. Meminumkan minuman itu, sampai tumpah-tumpah ke pakaian Aldo. Hendak tidur lagi, Maureen menahan Aldo untuk tetap duduk. "Bangunlah, pindah ke kamar, jika kau masih mengantuk!" Maureen meminta seseorang untuk membantu, membawa Aldo ke kamar tamu. Karena kamar tamu berada di bawah, Maureen tidak mau jika tanpa sengaja bertemu dengan suaminya. Di dapur, Bobby sedang duduk mengobrol dengan para pelayan yang sedang memasak. Dia terbiasa mengobrol dengan mereka hanya sekedar untuk bercanda. "Bisakah kalian membuatkan istriku bubur. Dia sedang muntah-muntah, aku ingin dia tetap makan!" Bobby meminta pada pelayan paling tua di rumah itu. "Sesuai keinginan anda. Saya akan menyuruh seseorang membawanya ke atas. Apakah ada yang lain, Tuan muda?" Sebenarnya itu bentuk pengusiran, karena Bobby tidak akan berhenti mengganggu para pelayan. "Siap, ditunggu!" Bobby langsung pergi, karena mengingat istrinya masih di kamar mandi. Berjalan menuju tangga, dia tidak lagi melihat keberadaan sang kakak. Melanjutkan langkahnya, dia tahu nenek sihir itu pasti telah membereskannya. Masuk ke kamar, dia belum melihat keberadaan sang istri. Benar dugaannya, Andrea masih di kamar mandi. "Sayang, kau butuh bantuan?" tanya Bobby setelah mengetuk pintunya. "Jangan menggodaku, bisakah kau minta pelayan membuatkan minuman hangat untukku?" Andrea menyahut dengan nada kesal. "Kenapa kau kesal padaku?" Bobby berdecak, dia tetap melakukan apa yang diminta istrinya. Akan keluar dari kamar, dia melihat pelayan yang baru saja membersihkan ruangan di lantai tersebut. Bobby memanggilnya, dan menyuruhnya membawa minuman yang diminta oleh Andrea. "Dea, kau kapan keluar dari sana. Perutku sakit!" Bobby mengetuk pintu kamar mandi lagi. "Tahan saja. Aku masih mual!" Andrea menjawab dengan suara kesal lagi. "Hei, kau ini! Mana bisa! Ijinkan aku masuk. Kita bisa berbagi tempat!" Maksud Bobby, dia bisa menggunakan toiletnya, sedangkan Andrea wastafelnya. "Gak mau!" tolak Andrea marah. ___ Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN