Andrea hanya diam, melihat suaminya sedang dimarahi oleh papa Albi. Dia tidak ada hak untuk bersuara, dia juga tidak begitu mengerti masalahnya.
"Kamu bisa hidup nyaman sampai sekarang, kamu pikir karena siapa?" Teriak Albi sangat keras.
Andrea sampai terkejut, dia sedang berdiri di balik tembok. Bukan berniat menguping pada awalnya, hanya saja dia penasaran melihat papa Albi menarik baju Bobby, saat dia dan Bobby sedang sarapan tadi.
Menurut Andrea perlakukan papa Albi terlalu kasar. Meskipun dia tidak tahu apa permasalahannya, tapi ini pertama kali untuknya melihat seorang ayah begitu marah terhadap anaknya, hingga memperlakukannya begitu tak berperasaan.
"Nona, anda sebaiknya tidak di sini. Mari, saya antar ke kamar!" Pelayan datang menghampiri Andrea, dan mengajaknya untuk pergi dari sana.
Awalnya Andrea enggan, tapi kemudian dia setuju, karena sadar apa yang dilakukannya itu tidak sopan. Dia akan bertanya pada suaminya nanti.
Setelah Andrea pergi, Maureen keluar dari balik tembok dekat tangga. Dia memperhatikan Andrea yang sudah berjalan menuju kamarnya.
"Kau akan tahu, kalau suamimu benar-benar tidak berguna!" Maureen berjalan menuju kamarnya, dimana suaminya sedang memarahi Bobby.
Di dalam, Bobby sedang terbaring di lantai, dengan luka memar di ujung bibirnya dan beberapa lagi di bagian wajahnya yang lain.
"Kau harus tenang. Dengarkan dulu penjelasannya!" Maureen menarik suaminya menjauhi Bobby.
"Apalagi? Dia itu anak tidak tahu diuntung. Setidaknya, jika dia tidak perduli tentang dirinya sendiri. Dia harus pikirkan perasaan istrinya. Dan bagaimana kita lama menghadapi keluarga Hirata!"
"Sayang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dia anak seorang jalang, jelas dia akan suka bergaul dengan para jalang juga!" Maureen tersenyum sinis, dia melihat Bobby sedang menatapnya.
"Jaga ucapanmu Maureen!" Albi menegur istrinya.
"Kenapa, yang kukatakan tidak salah. Ibunya jalang, dan sekarang anaknya lebih suka dengan jalang, dari pada berlian di rumah!" Maureen membandingkan Andrea Hirata yang sekarang menjadi Andrea Avega sebagai berlian.
Bobby tetap diam. Dia tidak mengelak, membela diri, atau mengakuinya. Tapi tatapannya sangat tajam hingga rasanya jika tatapan itu sebuah bilah, maka bilah itu pasti sudah melukai Maureen.
Tatapan Bobby beralih pada papanya yang terlihat sangat kecewa. Dia menyunggingkan ujung bibirnya, mengusap darah di sana.
"Kau tahu, istrimu sedang hamil, tapi kau malah asik berpesta dengan para wanita itu. Dapat dari mana keberanianmu hingga menghabiskan banyak uang untuk hal yang sia-sia seperti itu!" Albi mengatakannya dengan sangat geram.
"Aku tidak menggunakan uangmu, jadi kenapa papa jadi mempertanyakan kegunaan uangnya!" Bobby menyeringai menyindir ketidakadilan yang dilakukan papanya sejak kecil. Yaitu dia hanya akan diberi uang jajan pas. Berbeda dengan kakaknya.
"Bocah b******k!" Albi menendang Bobby penuh amarah.
Bobby melenguh sakit tapi menahan agar tidak berteriak. Meskipun sangat sakit.
Maureen memegangi suaminya, karena akan buruk, jika sampai Bobby terluka parah karenanya. Dia dapat merasakan, kalau suaminya sedang sangat marah.
Biasanya akan ada Aldo yang membela adiknya. Dia tidak benar-benar membela, karena Bobby salah. Tapi biasanya dia akan jadi tameng dari kemarahan papanya. Kali ini tidak ada yang akan melindungi Bobby, lihat saja keadaannya yang sudah babak belur.
"Jika sampai kau terlibat lagi dengan masalah seperti ini. Jangan harap papa akan membebaskanmu seperti semalam. Biarkan saja kau mendekam di penjara! Ingat itu. Pergi obati dirimu!" Albi berbalik menuju kamar mandi, dia perlu membasuh wajahnya. Agar amarahnya mereda.
"Kau tidak akan melakukan itu!" Guman Bobby yang bisa didengar oleh Maureen.
"Kau mau mencobanya?" tantang Maureen mengangkat tinggi dagunya.
Bobby bangkit dengan susah payah. Dia menyeringai pada Maureen, sebelum akhirnya berlalu keluar.
Dia sangat yakin, tidak mungkin bagi papanya membiarkannya berada di penjara, karena papanya itu tidak akan membiarkan namanya tercoreng.
Berjalan tertatih menuruni tangga, dia meminta pelayan menyiapkan kompresan, juga salep untuk mengurangi memar. Dia tidak ingin Andrea melihatnya dalam keadaan seperti ini.
Setelah beberapa menit dia mengompres lukanya, dia berjalan naik ke atas. Menuju ke kamarnya.
Melihat istrinya sedang bermain ponsel diatas tempat tidur.
"Hei, kau kenapa?" Andrea panik, dia buru-buru turun dari tempat tidur, hingga hampir terjungkal karena kakinya tersangkut selimut. Untung saja Bobby segera memegangnya.
"Bisakah kau berhati-hati?" tegur Bobby yang mengeluhkan kecerobohan Andrea.
"Jangan marahi aku. Duduklah, kau sampai begini. Kau melakukan kesalahan apa?" Andrea menarik lengan suaminya, memeriksa memar di wajahnya.
Bobby tidak menjawab. Dia hanya mengaduh berlebihan, tiap kali Andrea menyentuh lukanya. Dia bersikap manja, padahal tadi dia bersikap berani menentang papanya.
Dia berusaha agar Andrea tidak bertanya alasan papa memukulnya. Dia agak menyayangkan, papanya itu memarahinya saat ada masih ada Andrea di rumah. Karena rupanya Andrea tidak ada kelas hari ini.
Selagi Andrea sibuk mengasihaninya, Bobby juga sibuk memperhatikannya. Jika Andrea tahu alasan dia dipukuli, mungkin wanita itu akan marah saat ini.
Dia ingin menyakiti papanya, tapi dia tidak tega menyakiti istrinya. Papanya salah jika berpikir dia tidak memikirkan istrinya, karena sejak sebelum kejadian dia hanya terus terpikir tentang wanita di depannya.
Semalam Bobby ikut berkumpul dengan teman-temannya. Dia baru saja menang balapan. Dan malam itu teman-temannya meminta pesta. Bobby seperti biasa, mengiyakan permintaan teman-temannya.
Akan tetapi, sepertinya dia sedang sial. Karena pada malam itu ada polisi yang melakukan penggeledahan pada klub malam tempat dia menggelar pesta.
Malangnya, ada salah satu temannya yang membawa paket narkoba. Sehingga semua temannya dicurigai akan melakukan pesta narkoba. Dan pada malam itu, Bobby mengijinkan temannya menyewa para wanita untuk menemani mereka. Jadilah mereka dibawa ke kantor polisi.
Yang dikatakan Maureen tidak salah, dia malam itu memang sedang bersama jalang. Tapi bukan untuk melayani nafsunya, hanya sekedar bersenang-senang saja.
Karena nama di KTP-nya Bobby Avega, polisi langsung tahu dia bukan berasal dari keluarga biasa. Agar tidak menarik perhatian banyak orang, polisi membiarkan papanya menebusnya dengan jaminan.
Malam itu mungkin papanya terlalu marah. Sehingga baru pagi ini dia melampiaskan amarahnya. Bobby tidak keberatan, karena melihat laki-laki itu marah adalah kesenangan baginya.
"Sayang, aku yang usap kepalaku!" pinta Bobby yang baru saja membaringkan tubuhnya, dengan kepala berbantalkan paha Andrea.
"Kau manja sekali! Tapi ceritakan, kenapa papa sangat marah padamu!" Andrea mulai mengusap kepala suaminya, tapi dari mengajukan pertanyaan sebagai gantinya.
"Jangan sekarang, aku mengantuk!" Bobby beralasan, dia mengusapnya pipinya ke perut istrinya.
"Inikan masih pagi. Kau mungkin cacingan pagi-pagi mengantuk!" Andrea sengaja meledek, karena tahu Bobby tidak mau memberitahunya.
Dia kasihan melihat suaminya diperlakukan begitu. Tapi dia tidak tahu permasalahannya, tidak bisa menyalahkan apa yang dilakukan papanya.
Sebelum menikah dia juga tahu, kalau Bobby memang terkenal nakal di kalangan anak motor. Meskipun dia tidak paham kenakalan apa yang dimaksudkan.