Andrea melihat beberapa pelayan membawakan tas dan koper. Dia hanya memperhatikan saja dari atas. mama Maureen dan papa Albi juga terlihat bersiap pergi.
Dia melihat Aldo juga akan pergi, padahal dia baru saja akrab dengannya. Sekarang kalau Bobby tidak ada di rumah, dia akan sendirian.
"Sayang, pastikan barang-barang yang penting tidak tertinggal. Mungkin bulan depan mama baru bisa menjengukmu. Adakah yang memungkinkan terlupakan?" Maureen memang sudah menyiapkan semuanya sejak sore, dia mengurus semua keperluan Aldo selama di sana.
"Mama, aku masih bisa pulang. Jangan berlebihan. Dan pastikan anda tetap sehat!" Aldo memeluk mamanya.
Albi menepuk pundak anaknya. Dia mempercayakan bisnisnya yang di Jepang, karena Aldo mampu.
"Sayang, ayo kita ke Bandara. Kau akan terlambat nanti!" Maureen menyuruh pelayan membawa semua ke mobil.
"Bolehkah Aldo mengajak orang lain lagi?" tanya Aldo penuh permohonan.
Maureen mengerutkan kening, hingga dia mengikuti arah pandang putranya. Dia sangat bodoh jika tidak tahu arti pandangan Aldo pada Andrea.
"Ajak saja, kau mungkin tidak bisa melihatnya cukup lama. Setidaknya, ucapkan perpisahan!" ujar Maureen berjalan lebih dulu ke mobil, bersama dengan sang suami.
Aldo memperhatikan punggung mamanya. Dan dia cukup cerdas untuk tahu maksud dalam kata-katanya. Mamanya pasti tahu perasaannya terhadap Andrea.
Menghela nafas, Aldo kembali menatap ke atas. Andrea sudah tidak ada di sana lagi. Dia berjalan cepat manapaki anak tangga. Mencari keberadaan Andrea.
Sampai di atas, dia melihat Andrea yang berjalan menuju kamarnya. Dia buru-buru mengejar langkahnya. Menarik tangannya hingga Andrea hampir saja terjatuh.
Aldo memeluknya, dia memegang pinggang Andrea. Memperhatikan wajah terkejutnya. Bahkan saat terkejut dia sangat cantik.
"Kebiasaan! Suka banget deh, ngagetin orang!" Andrea memukul lengan Aldo.
Aldo menunjukkan senyum tak bersalahnya. Dia mengedipkan matanya, "Kau akan rindu saat aku tidak ada di rumah nanti. Aku jadi mengkhawatirkanmu!"
"Aihh, kepedean! Cepat sana pergi. Kau malah naik lagi ke atas!" Andrea mengomel, dia berusaha bebas dari pelukan Aldo, tapi tidak berhasil.
"Kau mungkin tidak. Bagaimana jika aku yang merindukanmu?" Aldo mengatakan dengan sepenuh hati, dia benar-benar takut tidak bisa mengatasi perasaannya.
Andrea tidak nyaman mendengar ucapannya. Rasanya terlalu ambigu, dia adalah adik iparnya, dan perlakuannya itu agak berlebihan.
Dia mencoba melepaskan diri lagi. Dan akhirnya Aldo memang melepaskannya.
"Pergilah. Kau akan tertinggal pesawat nanti!" Andrea benar-benar menyuruhnya pergi, saat Aldo malah menariknya.
"Antarkan aku ke bandara. Setidaknya, kau harus jadi adik ipar yang baik!" Aldo menarik Andrea mengikuti langkahnya turun.
Mereka berangkat ke Bandara dan sampai pukul tujuh malam. Pesawat Aldo akan terbang sebentar lagi. Maureen dan Albi memeluk putranya bergantian.
Aldo memperhatikan sekeliling. Dia berharap adiknya datang, setidaknya dia ingin memeluknya. Bahkan seharian ini tidak nampak batang hidungnya. Tidak tahu dimana dia, Aldo yakin Bobby pasti tahu dia akan pergi malam ini.
"Kemarilah!" Aldo membuka lengannya, menyuruh Andrea mendekat.
Andrea berjalan mendekat, Aldo langsung memeluknya erat. Dia menghirup dalam-dalam aroma yang mungkin akan dia rindukan.
"Jaga dirimu. Ingat untuk tidak terlalu lelah, ada bayi yang harus kau jaga juga. Hubungi aku sesekali, aku akan menantikannya!" ajar Aldo yang membuat mama papanya berdehem.
Mengecup keningnya lama, meskipun dia tahu mama dan papanya pasti tidak suka. Karena apa yang dilakukannya itu agak tidak pantas.
"Pergilah!" Andrea mendorong Aldo menjauh. Dia tersenyum canggung, memilih untuk melangkah mundur.
Aldo tersenyum mengacak rambut adik iparnya gemas. Dia lalu beranjak pergi. Mungkin hanya sekitar setahun dia bisa kembali ke Indonesia lagi. Dan saat itu, mungkin segalanya telah berubah.
Di balik tiang, seseorang memperhatikan sejak tadi. Dia tidak mungkin tidak datang, untuk melihat kakaknya akan pergi jauh. Matanya menatap penuh arti. Sebelum dia akhirnya berbalik pergi.
_
Andrea agak gelisah dalam tidurnya. Dia melihat jam dinding, dan Bobby belum juga pulang. Satu yang dia tahu setelah menikah dengan laki-laki tersebut. Yaitu jarang ada di rumah. Berangkat pagi, pulang larut malam. Seperti itu terus setiap harinya.
Memilih bangkit, Andrea ingin minum s**u untuk membuatnya mengantuk. Dia biasanya akan mengantuk setelah mengonsumsi minuman tersebut. s**u uang diminum Andrea adalah s**u rasa buah.
Dia dengan malas melangkah turun untuk menemukan pelayan. Tapi karena sudah larut, tidak lagi ditemukan orang yang bekerja di rumah itu.
Hanya satu pilihan, dia harus membuat susunya sendiri. Dia belum pernah membuat s**u sendiri, karena biasanya selalu ada orang yang akan membuatkan untuknya. Jika pun di rumah Hirata, dia biasa minta dibuatkan oleh kakaknya. Sungguh, dia sendirian di rumah ini. Tidak ada yang bisa dia mintai tolong.
Mengambil kotak s**u di rak atas. Andrea naik ke atas kursi untuk dapat meraihnya. Dia masih harus berjinjit lagi. Dia mengutuk siapapun yang mendesain rak-rak itu.
Memangnya yang tinggal di rumah ini raksasa? Raknya sangat tinggi!
Andrea sibuk mengomel, saat seseorang memegang kakinya. Dia menunduk untuk melihat Bobby yang terlihat marah.
"Kenapa kau membahayakan dirimu? Tidak bisakah kau minta bantuan orang lain?" marah Bobby pada istrinya, dia mengangkat Andrea turun, dan mendudukkannya di meja pantry.
"Mereka sudah tidur!" Andrea tidak mau disalahkan.
Bobby berdecak saat dia naik ke kursi, dan meraih kotak susunya. Dia menyerahkan pada Andrea, dengan masih menatapnya tajam.
"Kenapa kau marah, aku hanya ingin minum s**u!" Andrea mengeluhkan sikap Bobby.
Melihatnya dengan wajah seperti itu, Bobby akhirnya menyerah. Dia mengambil alih kotak s**u di tangan istrinya. Membukanya, dan mulai meraciknya ke dalam gelas. Dia juga menuangkan air panas ke dalamnya.
"Kau tidak bisa ceroboh. Jika tidak ada orang lain, panggil aku, maka aku akan datang. Kenapa kau minum s**u selarut ini?" Bobby menyerahkan segelas s**u hangat ke tangan Andrea.
"Aku tidak bisa tidur. Kau juga tidak segera pulang. Aku kesepian!" Andrea mengeluh dengan sepenuh hati, membuat Bobby tersenyum.
"Okay, jadi istriku merindukanku. Kenapa tidak menelpon? Kalau diingat-ingat, kau belum sama sekali menghubungiku!" Bobby protes, dia selalu melihat istrinya membalas chat teman-temannya, tapi tidak pernah mengirimkan pesan padanya.
"Kau seharusnya pulang, tanpa aku harus memintanya. Kau bukan bujangan lagi!" Andrea turun dari meja pantry, dia meletakkan gelas s**u kosong di wastafel. Lalu pergi meninggalkan Bobby yang masih terus memperhatikannya.
"Hei, kau marah?" tanya Bobby mengerjar langkah istrinya.
Keduanya kembali ke kamar. Bobby terus menggoda istrinya sepanjang jalan, sedangkan Andrea mengacuhkannya. Dia kesal karena Bobby mengomelinya, tapi dia sendiri tidak sadar kesalahannya.
"Hei, nona Hirata! Aku belum masuk!" teriak Bobby karena pintu kamar ditutup, padahal dia belum masuk.
Andrea membukakan pintunya, tapi dengan wajah cemberut.
Bobby tersenyum, dia melepaskan bajunya. Dan bersiap bergabung dengan istrinya di tempat tidur.
"Bobby, kau belum mandi! Jangan dekat-dekat!" Andrea berteriak, memukuli suaminya yang belum mandi, tapi sudah akan tidur.
"Ini sudah malam. Besok saja aku mandi!" Bobby merengek, memeluk Andrea yang menjerit minta dilepaskan.
"Sayang, bisakah kita malam ini melakukannya?" tanya Bobby, yang mendapatkan pukulan dari istrinya.
"Hei, aku suamimu. Sayang, ayolah!" Bobby membujuk.
"Kau bermulut manis, saat ada maunya saja. Dasar buaya!" Andrea mencibir, dia tahu Bobby memang suka merayu wanita, dan itu menyebalkan.
"Sayang, kau kejam sekali!"
Bobby melangkahkan kaki ke kamar mandi. Salah jika berpikir dia sedang marah. Karena Bobby menikmati saat-saat menggoda istrinya.