Bobby tahu, Andrea sedang menatapnya. Dia menyeringai menunjukkan gigi gingsul yang menambah manis wajah tampannya.
Semua orang melihat arah tatapan Andrea, dan Maureen berdehem untuk menyadarkan semuanya. Dia tidak suka calon menantunya malah menatap pada anak sialan itu.
"Kamu terlihat pucat. Apa kamu sakit, nak?" tanya Maureen penuh perhatian, dia memegang tangan Andrea karena posisinya lebih dekat padanya.
Andrea memegang wajahnya. Dia jadi gugup, karena semenjak hamil, wajahnya memang sering terlihat pucat. Dan mengerti kegugupannya, mamanya langsung menanyakan keadaannya, dan menyuruhnya duduk di sebelahnya.
Mereka berbincang banyak hal. Hingga pada akhirnya sampai pada pembicaraan, tentang pernikahan keduanya.
"Maaf, kalau kami terkesan terburu-buru. Tapi karena Aldo akan ke Jepang, kami ingin dia segera menikah, dan memiliki seseorang yang akan mendampinginya, bukan hanya untuk sekedar di sana, tapi untuk seumur hidup. Ayo, nak. Katakan!" Albi menepuk punggung putranya, agar segera menyambung perkataannya.
Aldo mengangguk. Dia dengan tegas mengatakan apa yang telah dia niatkan. Melihat Andrea untuk pertama kalinya secara langsung, dia langsung merasa yakin.
"Kamu mungkin sudah mendengarnya. Tapi sekali lagi, aku akan mengatakan niatku. Aku tidak tahu kamu orang yang seperti apa! Tapi aku sudah mendengar tentangmu dari beberapa orang. Aku yakin, dan telah mantap. Aku ingin menikahimu. Akankah kau berkenan, untuk menerima lamaranku dan menjadi istriku?" Aldo mengucapkan dengan jelas, padat dan sedikit terlalu cepat.
"Buset, itu omongan apa gerbong kereta!" ledek Bobby dengan disertai tawa.
Aldo menepuk paha adiknya. Bobby sengaja memecahkan suasana tegang, dan menjadikannya jadi lebih rileks. Tapi itu malah merusak momen keseriusannya.
"Harusnya anak itu tidak ikut!" bisik Maureen pada suaminya.
Dia tidak pernah menyukai Bobby. Tapi Aldo malah sengaja mengundangnya untuk ikut serta dalam acara ini. Jika bukan karena permintaan putranya, mana mungkin dia mengijinkan remaja nakal itu ikut.
Berbeda dengan keluarga Avega, keluarganya Dea sedang dag-dig-dug mendengar perkataan mantap dari laki-laki bernama Aldo Avega.
Revdi mengabaikan keberadaan Bobby yang masih menjadi tanda tanya untuknya, dia melirik adiknya. Andrea terlihat bingung. Tangannya meremas gaun yang dikenakannya.
"Dea gak bisa!" jawab Andrea langsung, dia seharusnya mengungkapkan keadaannya sesuai rencana Revdi. Dan melihat bagaimana reaksi keluarga Avega. Apapun yang terjadi, Revdi berjanji akan mendukungnya.
Risa menatap sang putri. Dia sudah merencanakan untuk mengugurkan janin itu, agar Dea bisa melanjutkan hidupnya tanpa beban. Tapi ternyata putrinya masih jelas kepala.
Keluarga Avega terkejut, tapi tidak dengan Bobby. Dia menegak wine di gelasnya. Tersenyum melihat keterkejutan keluarganya. Mereka datang sangat yakin tidak akan mendapatkan penolakan. Tapi kenyataannya, penolakan itu langsung di ungkapkan tanpa banyak basa-basi.
"Apakah aku boleh tahu alasannya?" tanya Aldo tetap dengan wajah tenangnya, menyembunyikan rasa kecewanya.
Bima akan buka suara, saat Risa, istrinya sudah lebih dulu menggenggam tangannya.
"Dea hanya sedang bingung. Saya yakin dia hanya sedang tidak enak badan, jadi bicaranya ngelantur!" Risa melemparkan tatapan pada sang putri, menyuruhnya agar tetap diam saja.
"Yah, mungkin seperti itu. Apa kau takut? Tenang saja, Tante akan memukul Aldo, jika dia berbuat nakal. Kami akan menjagamu seperti putri sendiri!" Maureen tertawa menanggapi, dia tadi cukup terkejut, tapi begitu Risa mengungkapkan alasan tersebut, dia jadi merasa mungkin Andrea takut.
Revdi menatap tak percaya pada mamanya. Memaksakan adiknya untuk menikahi orang dengan kebohongan tidak akan berakhir baik untuk Andrea. Dia kurang setuju dengan ini, apalagi melihat wajah adiknya yang semakin pucat.
"Baiklah, bagaimana kalau kita tentukan tanggal pernikahannya? Kau pasti setuju kan Bima, kalau kita langsung mempercepat hal baik ini!" Albi tersenyum bahagia, terlihat dia juga sangat antusias.
Albi dan Bima sudah berteman sejak masa kuliah. Dan rencana seperti ini adalah hal yang begitu di nantikannya. Mereka bukan hanya akan menjadi teman, tapi akan menjadi kerabat setelah pernikahan Aldo dan Andrea.
Semuanya sudah diputuskan. Hari pernikahan akan dilakukan seminggu lagi. Karena itu tepat dengan jadwal keberangkatan Aldo sehari setelah pernikahan.
Hari yang dinantikan itu akhirnya tiba. Keluarga Avega bersiap untuk datang ke tempat tinggal mempelai wanita. Acara juga diadakan di rumah besar itu. Karena halaman rumah Andrea saja sudah sangat luas. Jadi tidak perlu untuk menyewa gedung dan sebagainya. Waktu yang terlalu singkat juga menjadi alasan kenapa pernikahan dilangsungkandi rumah saja.
"Dek, Lo kok cantik-cantik malah nangis sih!" Revdi masih berusaha untuk tidak ikut terpancing emosi, dia tahu adiknya sedang kalut.
Sebenarnya itu juga uang dirasakan orangtuanya. Terutama Risa. Dia sudah berniat menggugurkan janin itu sebelum hari pernikahan tiba, tapi Andrea terus saja menolak melakukan hal tersebut.
"Kakak! Dea gak bisa. Tolong bawa Dea lari dari sini!" isakannya penuh harap menatap pada mata sang kakak.
Revdi diam, dia memekik adiknya masih tanpa bisa bersuara. Hingga akhirnya dia telah memutuskan sesuatu.
"Dek, kamu percaya kakak 'kan?" tanya Revdi yang langsung diangguki oleh Dea.
"Tunggu di sini! Kamu harus jelasin ini ke Aldo. Karena apa yang akan kita lakukan ini pastilah menyakiti hati banyak orang. Kamu harus bisa mengatakannya! Kakak ada di sisimu!" Revdi langsung berjalan keluar setelah menjelaskan hal tersebut.
Rumah itu sangat ramai. Begitu ramainya, hingga Revdi kesulitan mencari sosok Aldo yang seharusnya mudah di temukan, dengan pakaiannya yang paling berbeda dengan semua orang hari ini.
Dia baru bisa menemukannya, setelah melihat keberadaan Bobby. Baru saja dia ketahui seminggu yang lalu, kalau Bobby adalah adik Aldo Avega yang berbeda ibu.
"Ikutlah denganku!" ajak Revdi pada calon adik iparnya yang memiliki usia tiga tahun lebih tua darinya.
Bobby masih asik menegak minumannya. Dia masih ingin melihat drama apa lagi yang akan dimainkan. Dia akan mengikuti permainan mereka, hingga saatnya permainan akan diakhiri olehnya.
Di dalam kamar itu, ada Aldo, Revdi dan Andrea. Ketiganya masih terus diam, hingga Aldo berjalan mendekat pada gadis cantik yang hari ini jauh lebih cantik.
"Apa kau ingin mengatakan sesuatu? Tanganmu dingin sekali. Apa kau gugup?" tanya Aldo, ketika menggenggam jari-jemari Andrea.
Itu adalah sentuhan fisik pertama mereka. Andrea awalnya terkejut, tapi melihat kekhawatiran di wajah Aldo, dia jadi rileks lagi.
Melirik pada sang kakak yang berdiri membelakanginya, menghadap jendela. Dia memejamkan matanya untuk meyakinkan keputusannya ini.
"Aku hamil!" Dua kata yang membuat Aldo mematung tanpa memberikan respon, tapi terlihat ada keterkejutan di matanya.
"Kamu boleh berpikir apapun tentangku. Tapi inikah kenyataannya?" Andrea menangis, dia benar-benar sedih, karena dia sendiri juga belum bisa mengerti apa yang sedang terjadi padanya.
"Siapa?—" tanya Aldo dengan tatapan tajam. "—Siapa yang telah mendahuluiku?" ada rasa kecewa yang terdengar jelas pada ucapannya.
Aldo marah, karena dia sudah telanjur menyukai Andrea. Bahkan dia sudah sempat merangkai mimpi, untuk hidup berdua dengannya. Dia tipe laki-laki yang tidak mudah menerima kehadiran orang baru, tapi Andrea sangat mudah masuk dalam hatinya yang dan dia benar-benar menerimanya. Lalu, apakah semua ini?
"Aku tidak tahu!" jawab Andrea sesenggukan.
Revdi ikut meneteskan air mata. Ini pertama kalinya dia merasa tidak berdaya. Dia benar-benar tidak bisa menemukan orang yang telah membuat adiknya hancur dan terluka.
"Kau bisa membatalkan pernikahan ini. Yang dia katakan adalah yang sesungguhnya. Kami tidak berdaya, dan tidak ingin melihat adikku nantinya disalahkan oleh keluargamu, karena ketidakberdayaannya!" Revdi menghampiri adiknya, menariknya menjauh dari posisi Aldo.
"Jangan menangis!" Revdi mengusap air mata adiknya, lalu membawanya dalam pelukan.