Andrea mencoba mengingat kembali kejadian di malam itu. Dia saat itu ikut nongkrong dengan anak-anak lainnya di wilayah Jakarta pusat. Dia tidak bersama Revdi, dan ke sana menggunakan motornya sendiri.
Seingatnya, dia hanya langsung pulang bersama yang lainnya. Tapi karena bannya kempes, dia melajukan motornya sangat pelan. Karena tidak ada bengkel buka malam-malam seperti itu.
Hingga di pertengahan jalan menuju arah pulang, dia berpisah dengan teman-temannya, karena arah yang berbeda. Dia hanya tahu kalau malam itu dia tersenggol mobil. Pingsan dan ketika bangun itu sudah pagi, dia berada di hotel dalam keadaan tidak baik.
Dia tidak ingat apapun. Dan saat itu, dia masih berpakaian lengkap seperti saat sebelum dia terjatuh. Andrea mencoba menanyakan pada pihak hotel, tapi pihak hotel hanya mengatakan kalau dia dibawa seseorang di hotel itu. Tidak ada informasi lebih lanjut tentang siapa orang itu.
Andrea tidak mempermasalahkannya. Karena dia hanya ingin segera pulang. Tubuhnya pegal-pegal dan sakit di area itu. Awalnya memang dia takut kalau terjadi sesuatu, saat dia pingsan. Tapi setelah beberapa hari, dia melupakan kejadian tersebut.
Satu bulan berlalu, Andrea merasakan hal aneh. Dia yang memang sudah curiga langsung memeriksakan diri. Dan benar adanya, dia hamil. Tidak tahu siapa pelaku yang melakukan hal itu padanya.
"Sayang!" Andrea tersadar mendengar suara mamanya.
"Iya, Ma!" Andrea bangun membukakan pintu untuk mamanya.
"Kau sedang apa?" tanya Risa yang langsung masuk ke kamar putrinya.
"Tidak ada. Hanya memikirkan sesuatu!" Andrea ikut duduk di sebelah mamanya.
Risa menatap dalam mata sang putri. Wajah yang tadinya tenang, kini tampak penuh harap. Andrea yang sudah memiliki feeling langsung menanyakan pada mamanya, "Mama mau ngomong sesuatu?"
Risa mengangguk. Dia mengusap rambut Andrea. Tersenyum tipis menatapi wajah cantik putrinya.
"Mama tahu ini pasti sulit untuk kamu. Mama, Papa dan kakak juga ikut merasakannya!" Risa melihat Andrea langsung menunduk, dan dia tahu putrinya mungkin enggan menatapnya.
Andrea anak yang baik, dia memiliki rasa ingin tahu yang besar. Nakal dan cenderung suka melakukan hal nekat. Risa sungguh kerepotan dengan kenakalan Andrea. Tapi kali ini, kesalahan yang mungkin tidak berniat Andrea lakukan cukup menyakitinya. Tapi Risa tidak akan menyalahkannya
"Kita gugurin anak ini ya, mama ak—," ucapan Risa terpotong dengan teriakan Andrea.
"Enggak, Ma. Dea mungkin nakal, tapi Dea bukan orang jahat. Dea gak mau jadi jahat, dengan tidak memberinya kesempatan untuk melihat dunia. Dia makhluk kecil yang tidak bisa memilih dari rahim siapa dia dilahirkan, tapi Dea bisa memilih melahirkannya dari rahim Dea!" Dea mengusap perutnya yang masih rata, dia tahu kalau mungkin dia tidak mampu, tapi dia ingin berusaha.
Risa menangis. Dia tahu maksud dari ucapan sang putri. Tapi saat ini dia lebih memikirkan nasib Dea dibandingkan janin itu. Dia tidak mau melihat putrinya sengsara.
Mengusap air matanya, dia menatap dalam mata putrinya. Melihat bagaimana putrinya yang nakal sudah akan menjadi ibu. Bagaimana bisa dia menerimanya.
"Mama akan tetap gugurin anak itu!" putus Risa pilu, dia beranjak pergi dari kamar itu.
Berhenti di sebelah pintu kamar Andrea, menyandarkan punggungnya di sana. Dia mendengar Andrea menangis, menutup mulutnya agar tidak bersuara, dia juga sama terpukulnya dengan keputusan yang dia buat.
Revdi ada di ujung tangga, melihat mamanya yang menangis di sana. Dan mendengar suara tangis Andrea, karena pintunya tidak tertutup. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat. Matanya kemudian terpejam mencoba menetralkan emosinya.
Dia berjalan menghampiri mamanya. Berhenti tepat di depannya, lalu memeluknya. Dia sudah mendengar tentang keinginan mamanya, untuk menggugurkan janin di rahim Andrea. Meskipun dia tidak setuju, tapi dia tidak memiliki solusi lain untuk masalah tersebut. Andrea lebih penting baginya dari apapun.
"Ada keluarga Avega di bawah. Maka temui mereka, Revdi bakal coba bicara sama Andrea!" Revdi mengusap pipi basah sang mama.
Risa tidak bisa berkata-kata. Dia langsung beranjak dari sana. Ini kesempatan yang baik untuk Andrea. Keluarga Avega adalah calon yang baik untuk Andrea.
Setelah melihat mamanya pergi, dia berjalan masuk ke kamar adiknya. Tersenyum hangat seperti biasanya.
"Dea gak mau! Jadi kakak gak perlu ngomong apapun lagi. Jangan buat Dea jadi orang jahat. Please!" Gadis cantik itu kini tampak kurus, sedang memegang perutnya. Revdi berjalan mendekat, dan langsung memeluknya.
"Kakak tahu. Adek kakak adalah gadis paling baik!" Revdi mengusap punggung kecil adiknya.
Cukup lama berpelukan, Revdi mengajak Andrea duduk di pinggiran tempat tidur. Dia menggenggam kuat tangannya.
"Di luar ada Aldo. Kamu mungkin pernah bertemu dengannya, dan dia memiliki niat baik untuk melamarmu!" Revdi melihat keterkejutan di wajah adiknya. "Kakak tahu kamu mungkin belum ingin menikah, tapi bagaimana kalau kamu temui dia dulu. Mau ya?"
Tampak raut bingung di wajah Andrea. Dia tidak mengerti, kenapa kakaknya ingin dia menemui orang bernama Aldo. Apakah dia sudah lelah menjaganya? Sehingga ingin memberikan tanggung jawab pada laki-laki itu.
Matanya menatap mata kakaknya dalam. Mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan oleh sang kakak. Hingga akhirnya dia mengangguk.
"Apakah dia tahu kalau Dea sedang hamil?" Dea sudah menduganya, saat melihat kakaknya menggeleng.
"Dia akan menyesal telah datang melamar, kalau tahu Dea sedang hamil!" Andrea tidak mengenal baik sosok Aldo, hanya pernah mendengarnya saja. Dan dia tahu, dirinya tidak layak dengan keadaannya saat ini.
"Siapa yang tahu. Setidaknya, kamu harus menghargai niat baiknya, dengan menemui laki-laki itu. Kakak tahu kita sedang dalam posisi yang berat, tapi kamu hanya harus menjalaninya, kakak akan mendukungmu!" Revdi menyisir rambut Andrea dengan jari tangannya.
Di ruang keluarga, Bima dan Risa sedang mengobrol dengan keluarga Avega. Meskipun keduanya ragu, kalau mereka akan menerima kondisi Dea, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan.
"Ini kita nunggu apa'an sih!" keluh Bobby Avega.
Kedua orang tuanya langsung menatapnya tajam, sikap buruk Bobby memang tidak bisa disembunyikan. Berbeda dengan kedua orangtuanya, Aldo malah hampir menyemburkan tawa. Dia tahu, adiknya itu tidak bisa terlalu lama berada dalam acara seperti ini. Dia akan lebih memilih gabung dengan anak-anak motor Stuntman di tempat nongkrongnya.
"Sabar, kau tidak ingin melihat calon kakak iparmu?" Aldo sedikit melirik ke arah tangga. Dia yang sebenarnya tidak sabar untuk melihat calonnya.
"Aku sudah sering melihatnya!" gumam Bobby, tapi tidak ada yang mendengar jelas ucapannya.
Beberapa menit kemudian, sosok gadis cantik dengan wajah menunduk menuruni anak tangga. Ada Revdi yang berjalan di belakangnya. Dia memperhatikan keluarga Avega, dan menemukan seseorang yang tidak asing lagi di penglihatannya.
Bobby, kenapa dia ikut bersama keluarga Avega?
Revdi hanya mengenal Aldo sebagai anak kedua keluarga Avega. Adik dari model cantik yang sekarang ini dikabarkan sedang bulan madu bersama suaminya keliling Eropa.
"Ini putrimu, Ris? Cantik banget!" puji Maureen selaku ibu dari Aldi Avega.
Risa hanya merespon dengan tersenyum. Dia seperti sedang menunggu bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Andrea takut mengangkat pandangannya, tapi dia penasaran. Hingga akhirnya mengangkat wajahnya. Di sana, dia melihat sepasang suami istri yang melihatnya penuh kehangatan. Ada dua laki-laki yang duduk di sisi lainnya. Satunya terlihat tampan dan berkelas, sebelahnya lagi terlihat nakal dengan warna rambut abu-abu di bagian atas dan dia mengenalnya.
Bobby, kenapa dia ada di sini?