Dengan tangan bergetar aku membukanya. Perasaanku campur aduk saat menatap foto makhluk mungil yang sedang dioksigen. Dedek.
***
Aku turun dari angkot, melangkah cepat menuju kontrakan tanpa menghiraukan rasa sakit di perut. Langit abu-abu pucat. Gerimis mulai turun perlahan. Aku harus sudah sampai kontrakan sebelum rinai hujan semakin menderas.
Aku menggigit bibir saat melewati kafe tempatku biasa menghabiskan waktu bersama Rindai dan Dila. Sumber penderitaanku. Seandainya waktu bisa diputar ulang ....
"Nay!"
Aku menunduk saat tiba di depan warung Tante Nindi. Tampak beberapa mahasiswi teman sekelas tengah bersendau gurau sambil memakan sesuatu.
"Naay! Naymaaa! Mampir sini dulu!"
Aku hanya menoleh sekilas, tersenyum kecil tanpa berhenti berjalan. Kontrakanku dulu sudah terlihat, pintunya tertutup rapat. Setelah aku meninggalkan tempat itu, kontrakan ditempati oleh Dila, Rindai dan Evi.
Tok.
Satu ketukan, pintu langsung dibuka. Gadis berambut bergelombang sebahu melongokkan kepala, tersenyum ceria lalu memelukku erat. Tampak begitu senang.
"Nay? Ya ampun Nay, satu bulanan gak ketemu. Aku kangen. Sudah lahiran ternyata." Ia menatap ke arah perutku. "Kamu gak bisa dihungungi aku gak bisa jenguk." Rindai menyambar koper berisi uang dari tanganku lalu menarikku masuk.
"Evii, Dilaaa, ada Naymaa!" teriaknya dengan wajah bahagia. Aku segera duduk di kursi kayu. Evi dan Dila segera menghampiri.
"Mbak Nay udah lahiran?" Evi menatap ke arah perutku. Aku mengangguk kecil. Meski sekelas, ia memang selalu memanggilku 'Mbak. Padahal umurnya hanya selisih satu bulan lebih muda dariku.
"Anakmu mana, Nay?" tanya Rindai, sambil menatapku heran. Aku menggigit bibir saat tiba-tiba teringat bayi mungkin yang kujatuhkan ke dalam kolam.
Apa dedek baik-baik saja?
Perasaanku berkecamuk. Kesal, marah, sedih, juga takut kehilangan.
"Nay?" Dila mengguncang tanganku.
"Eh." Aku tergagap. "Baik-baik aja kok. Dedek baik-baik aja, kok."
"Nay?" Rindai menatapku lekat. "Apa kamu nggak papa?"
Aku cepat menggeleng.
"Memang kenapa dengan bayimu?" Dila menatapku penasaran.
Aku menggeleng-geleng, berusaha melupakan kejadian tadi saat dengan wajah panik Mas Pram meraih dedek dalam gendongan Ibu. Apa dedek baik-baik saja? Apa baik-baik saja? Aku menggelengkan kepala. Perasaan sedih menerjang benak. Aku menggigit bibir, berusaha menahan tangis.
"Akungontrak di sini boleh, gak? Suamiku repot, jadi nggak bisa mengantar-jemput seperti biasanya." Aku mengarang alasan.
"Boleh dong, Nay. Tapi bayimu bagaimana?" Rindai menatapku penasaran. Bukan hanya ia, Evi dan Dila juga terlihat penasaran. Di antara tiga temanku, hanya Evi yang mengenakan jilbab.
"Diurus sama ibu. Kata ibu, aku harus menamatkan kuliah." Aku kembali mengarang jawaban. Mereka langsung mengangguk.
***
Karena semalam tak bisa tidur terus memikirkan dedek, paginya saat mata kuliah kedua, aku jadi sangat mengantuk, meskipun begitu, aku berusaha fokus dengan menegakkan tubuh lalu menatap Arifin lekat. Sejak kami putus, sikapnya yang tadinya lembut memperlakukanku bak putri, sekarang jadi sinis tak bersahabat.
"Saudari Nayma, tolong bantu jawab." Arifin memandangku lekat.
Aku hanya menghela napas.
“Kenapa kok dengan berwudu, kita bisa melaksanakan shalat lima waktu dan shalat sunah?” ucap Arifin lagi, ia duduk di depan kelas bersama kelompoknya menghadap kami dengan meja ditata menjadi huruf L. Arifin menatap tajam ke arahku. Dari sekian banyak mahasiswa, selalu aku yang menjadi bulan-bulanannya saat ia mempresentasikan makalahnya.
Sejak putus dengannya lalu tak lama kemudian aku menikah dengan Mas Pram, sikap Arifin padaku jadi seperti musuh.
“Karena wudu adalah syarat sahnya shalat. Tahu tata cara berwudu, kan’? Jadi masuk akal kan kenapa dengan berwudu, kita jadi bisa menjalankan shalat lima waktu? Karena, setiap basuhannya dapat menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat di bagian tubuh yang kita basuh. Orang sakit, kenapa disuntiknya kok, lewat pan-tat?!” tanya Arifin, menatap tajam ke arahku.
Aku hanya menggigit bibir. Makhluk yang kini begitu menyebalkan itu, yang sampai detik ini masih belum bisa kulupakan, sukses membuat suasana di dalam kelas begitu mencekam. Semua mahasiswa tampak tegang. Kentara di wajah mereka tak ingin berdebat dengan Arifin. Apalagi ini pelajaran Pak Rama, dosen killer yang semua materi selalu dijelaskan dengan detail.
Kualihkan pandang saat beradu tatap dengan Arifin yang begitu merendahkan. Apa mentang-mentang aku selingkuh lantas ia boleh bersikap kekanakan?
Aku menarik napas panjang lalu memutuskan menjawab, “Karena obat itu akan menjalar ke—”
“Nah, siiip!” potong Arifin sambil mengacungkan ibu jarinya ke arahku.
Aku mengembuskan napas pelan. Sikapnya yang begini, selalu saja membuatku ingin menangis.
“Begitu juga dengan wudu. Intinya, wudu adalah syarat sah shalat. Kalau tidak wudu, ya TIDAK, sah! Kalau tidak suntik bisa minum obat, begitu juga, wudu bisa diganti dengan tayamum!” BRAAAAAK!! Tangan Arifin menggebrak meja.
Tanganku refleks menyentuh d**a. Ternyata, banyak juga mahasiswa yang bereaksi sepertiku. Di kursinya, Pak Rama bertepuk tangan. Dosen itu jarang memuji. Tapi pada Arifin beda. Sejak semester satu, Pak Rama sudah sering memuji Arifin yang menjadi kebanggaan para dosen karena IP-nya yang selalu memuaskan.
Aku mengembuskan napas panjang saat akhirnya Pak Rama berdiri, meraih buku cetak di meja, kemudian mengakhiri mata kuliah dan melangkah keluar. Aku segera memasukkan buku ke dalam tas, namun urung berdiri saat melihat Arifin berjalan kemari sambil mengulurkan tangan.
“Maafkan aku, Nay."
Aku kembali duduk, mendongak dan menatapnya. Maaf? Apa itu tandanya tadi ia sengaja?
“Maafkan aku,” lirihnya. Sepasang mata cokelatnya menatapku lekat.
“Apa yang harus kumaafkan?”
Setelah putus, sikapnya memang jadi begini aneh. Membuatku kesal saat berdiskusi, lalu meminta maaf. Kulirik Rindai yang tengah memberesi buku-bukunya tak jauh dariku.
“Aku duluan,” pamit Rindai. "Ada pelanggan." Tentu aku tahu pelanggan yang dimaksudnya adalah seorang pria.
Tanpa menghiraukan Arifin, aku bergegas berdiri, dengan langkah cepat menyusul langkah Rindai tanpa mempedulikan tangan Arifin yang masih mengambang di udara. Di belakangku, mulut orang-orang mendadak riuh. Aku mengacuhkannya meskipun celotehan Mita yang terang-terangan menyindirku membuat telingaku panas.
“Duuh yang masih cintaaa. Ingat, Fin, dia sudah punya suami sekarang,” kata Mita dengan logat dibuat-buat lwnjeh.
Aku menekan keinginan untuk menoleh. Buat apa? Palingan hanya akan disambut senyum menyebalkan Mita, sahabat Arifin yang sangat menyebalkan itu. Jadi, lebih baik aku melenggang cepat saja, mengindahkan perkataan Mita yang semakin tak enak didengar, “Ingat Fin, dia pernah selingkuh. Dan sekarang dia istri orang. Kamu udah gak cinta dia, kaan?"
“Nay, mau pulang bareng gak?” Dila menghampiriku, memandangku dengan tatapan prihatin. Ia tahu banyak tentang hubunganku dengan Arifin, juga penyebab pernikahanku dengan Mas Pram.
Belum sempat menjawab, Evi menyusul keluar dari kelas. "Ayo pulang." Ajaknya. Bersama Dila dan Evi, aku menuju gerbang. Langkahku terhenti saat melihat postur tubuh tak asing berdiri di seberang jalan. Lelaki yang duduk di motor itu tengah menunduk menatap HP-nya.
“Nay, itu suamimu, kan?" Evi menunjuk ke arah jalan.
Dengan jantung berdetak kencang, aku lekas membalikkan badan. Melangkah cepat menuju perpustakaan. Dadaku bergemuruh hwbt. Mau apa Mas Pram kemari?
Aku duduk di kursi lalu mengaktifkan HP. Ada puluhan panggilan masuk dan beberapa pesan WA. Dengan tangan bergetar, aku membukanya. Perasaanku langsung campur aduk saat menatap foto makhluk mungil yang sedang dioksigen. Dedek.
? Follow dan subscribe ceritanya biar selalu dapet notif UP, Teman.
? Kalau sedih baca cerita yang ini, kalau membaca cerbungku yang berjudul Kumpul Kebo dan Nikah Dengan Kakak Ipar pasti akan tersenyum sendiri, Teman. Cus buktiin. Tinggal ketik Soh dipencarian akan keluar semua ceritaku.