POV Pram
"Kamu pulang dulu saja, Pram. Fatih biar ibu yang tunggu. Kasihan Fani. Istrimu juga di rumah sendirian."
Kutatap Fani yang merebah di bangku panjang, terlelap pulas. Sejak tadi, anak itu terus bertanya-tanya kenapa bundanya jadi aneh. Bukan hanya Fani yang heran, aku juga heran. Nayma biasanya tak pernah aneh-aneh. Mendengar cerita bahwa ia hampir membunuh ibu, membuatku merasa aneh dan parno sendiri. Ditambah kejadian ini, sepertinya ada yang tak beres dengan otak bocah itu.
Bagaimana mungkin seorang ibu tega mau membunuh anaknya?
Saat ia hamil, aku sering melihatnya mengusap-usap perut, mengajak bayi dalam kandungannya mengobrol.
Ada apa dengan Nayma sebenarnya? Menatap Fani, aku jadi takut sendiri. Sekarang Fatih yang coba dicelakainya. Nanti bisa-bisa, Fani yang ganti dicelakai. Aku menggeleng, mencoba mengusir pikiran jelek. Padahal sejak dia hamil dan tinggal bersama kami, istriku itu tak pernah neko-neko. Selalu menurut kalau diberi tahu Ibu. Jadi kenapa ia bisa berubah aneh?
"Kasihan Fani. Bawa pulang, Pram. Kasihan Nay juga di rumah sendiri. Bocah itu sangat ceroboh. Nanti kalau dia jatuh dan jaitan bekas operasinya terbuka lagi bagaimana?" Ibu terus memandangku.
Kuanggukkan kepala. Benar juga yang dikatakan ibu. Segera membangunkan Fani lalu menuntunnya yang berjalan dengan mata sangat mengantuk menuju tempat parkir. Jalanan yang dihiasi lampu temaram begitu lengang. Jarum jam di tangan telah menunjukkan pukul 9 malam.
"Jangan tidur. Nanti jatuh." Aku menoleh ke belakang, Fani memegang tanganku erat.
"Dingin, Yaah."
Kupelankan kecepatan. Karena berangkat dengan terburu-buru, aku sampai tak memikirkan memakaikannya jaket. Aku pun hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan jins di bawah lutut. Angin dingin yang sejak tadi menerpa tubuh terus kuacuhkan.
Aku menghela napas panjang saat teringat kejadian tadi, Nayma yang terlihat seperti orang linglung saat aku meraih dedek dan memberi anak kami napas buatan.
Ada apa dengan Nayma sebenarnya? Memikirkannya, aku jadi pusing sendiri. Bagaimana kalau tiba-tiba nanti dia gila? Pasti, akan mengeluarkan banyak biaya. Kugelengkan kepalaku pelan, tak ingin berpikir aneh-aneh. Tak ingin membayangkan memiliki istri yang jadi gila.
Kuhentikan motor saat melihat gerobak martabak di pinggir jalan, membeli satu martabak telur. Sejak sore aku belum makan, Nayma pasti juga belum makan. Sedang apa ia sekarang? Menangis? Atau masih di kolam seperti orang bingung?
Memikirkannya, aku jadi parno sendiri. Kupacu kendaraan cukup kencang, Fani mengeratkan pegangan, angin yang berhembus membuatku sedikit menggigil, tapi aku tak peduli. Bisa bahaya kalau sampai Nay kenapa-napa. Pasti, uang lagi yang akan dikeluarkan. Kapan membuat rumahnya kalau uangnya terus diambili?
Aku mendengkus sebal. Andai, saja, Nay tidak secar. Pasti sebentar lagi sudah bisa membuat rumah.
Pintu dalam keadaan terbuka lebar saat aku sampai. Rumah juga gelap. "Naaaay!" Sambil menuntun Fani masuk ke dalam, aku berseru memanggilnya. Tak ada sahutan.
Kunyalakan lampu. Tanpa membuang waktu langsung melangkah cepat ke arah kolam. Nayma tidak ada. Di mana dia? Aku menoleh ke kanan kiri sambil berjalan menuju kamar, tersentak saat melihat serpihan kaca di sekitar lemari. Jantungku berdetak kencang saat menatap ke dalam laci. Tas berisi uang senilai 75 juta lebih tidak ada. Jangan-jangan, Nay pergi bawa uang itu.
"Yaaah, ada apa?" ucap Fani sambil berjalan masuk. Ia mengernyit melihat serpihan kaca dengan gagang sapu ijuk di dalam laci.
"Nayma!" Kukepalkan tangan berusaha menahan amarah yang memuncak. Sepertinya, memang ada yang tak beres dengannya! Bagaimana bisa ia mengambil uang simpanan untuk membuat rumah?
Aku mendungkus sebal. Kubayangkan istriku itu tengah menghambur-hamburkan uang di tengah jalan. Aku menggelengkan kepala. Dadaku panas bergemuruh. Tanganku terkepal lalu menonjok dinding sekuat tenaga.
Sakit. Tanganku berkedut-kedut.
"Ayah, ayah jangan marah-marah." Fani menatap dengan mata berkaca-kaca. Kuusap rambutnya penuh sayang lalu menuntunnya menuju kamar lalu menyelimuti.
Tenangkan diri, Pram. Jangan berpikir yang tidak-tidak.
Tetap saja meskipun sudah mencoba tenang, aku tetap tak bisa tenang. Bagaimana kalau uang itu ia habiskan? Uang yang kukumpulkan dengan tidak mudah. Aku sering bertengkar dengan Nindi perihal uang itu. Yang katanya aku terlalu hematlah, pelitlah, kikirlah dan banyak lagi.
Perempuan mana tahu tanggungjawab suami? Bisanya cuma minta. Suami sedang berhemat agar bisa segera membuat rumah, malah dikata yang tidak-tidak bukannya didukung. Dan ujung-ujungnya, selingkuh dengan lelaki yang lebih kaya, terlihat sekali matrenya.
Kuempaskan tubuh di samping Fani terlelap kemudian menyentak napas berkali-kali, berharap dengan begitu rasa panas di d**a segera minggat. Membayangkan uang yang kukumpulkan dengan tak mudah dibawa pergi, membuatku lagi-lagi kesal sendiri.
Aku bekerja tak kenal lelah demi bisa segera membuat rumah. Dari jam 4 sore sampai jam 10 malam. Terkadang, aku juga masih jualan bakso di pasar Punggur dari jam 7 sampai jam 10. Demi apa? Tentu saja agar segera membuat rumah.
Kubuka WA lalu mengirim pesan pada Nayma. Siapa tahu, dia sudah beli pulsa.
Nay ke mana kamu pergi!
Centang satu.
Sial. Dadaku berdebar keras seperti dipukuli.
Akhirnya kekirim pesan pada Sila agar mengisikan paket internet ke nomer Nayma.
Centang satu langsung berubah jadi dua.
Sentuh. Panggilan vidio.
Tidak juga diangkat. Sial. Kubuka-buka galeri, tersenyum kecil saat menemukan vidio hubungan terlarang kami untuk menekannya.
Kirim.
Kalau kamu tak pulang juga, vidio ini akan kusebar.
Tetap saja centang dua. Awas kamu, Nayma!
Campus. Aku yakin, Nay ada di sekitar kampus.
Tenang, Pram. Tenang. Aku mencoba memejamkan mata lalu menarik napas panjang-panjang, membuangnya perlahan.
Mataku tiba-tiba basah saat teringat kejadian itu. Nay, semoga kamu tak membuatku kembali merasa hina.
?Follow dan subscribe ceritanya biar selalu dapet notif UP.