Badanku terasa lemas, tidak berdaya. Sekali aku berusaha membuka mata, yang aku jumpai hanya raut panik dari Barra yang terus berlari menggendongku. Sesekali ia tampak melihat ke arahku dan terus mengucapkan kata-kata lembut yang seharusnya mampu melambungkan asa. "Bertahan, sayang. Ada aku di sini." Setiap ucapan manis yang keluar dari mulut Barra, kenapa seolah menambah luka pada batinku? Kenapa aku tidak bisa tegas dengan perasaanku sendiri? Tapi saat ini, aku sangat membutuhkan Barra. Hanya dia satu-satunya orang yang aku punya saat ini. "Tolong istri saya, Dok," Barra masih terlihat panik saat meletakkan tubuhku pada ranjang tunggal yang tidak asing untukku. Diikuti gerakan cepat para tenaga medis yang langsung memeriksa tekanan darahku, serta sederet pemeriksaan yang tidak aku