"Kalian habis ngapain?" Kemunculan Aleta di ambang pintu, tentu membuatku terkejut. Apalagi raut wajah yang ditunjukkan, seolah sedang memergoki perselingkuhan. Gak kebayang aja, apa yang terlintas di otaknya, karena Mira belum selesai membenahi posisi bajunya yang sebenarnya sudah rapi. Aku sampai mengusap kasar wajahku, karena tahu apa yang dipikirkan Aleta.
"Barra!" Aleta berjalan cepat ke arahku, dan melewati Mira begitu saja. Dia langsung menarik tinggi-tinggi daun telingaku, hingga aku tak punya pilihan selain mengikuti tarikannya. "Kamu habis ngapain? Jawab kek?"
Mampus aku!
Belum terpikir jawaban yang tepat, aku mencoba mengulur waktu. "Lepasin dulu, Leta."
Sekilas kulirik keberadaan Mira yang tampak jauh lebih santai. Berbanding terbalik dengan keadaanku yang serasa dituntut memberi jawaban yang benar agar tetap bisa bertahan hidup.
"Denger enggak, sih? Jawab dulu!" Permintaanku ternyata tak digubrisnya. Ia malah semakin menarik tinggi telingaku hingga aku berteriak.
"Aku... aku dan Mira...." Tergagap, aku masih mencoba memilah kata yang tepat, agar Leta paham dan enggak koar-koar ke sana ke sini.
"Jangan salah paham Mbak Leta, kami-"
"Biar Barra yang jawab!" Leta langsung memotong ucapan Mira. Tatapannya seolah mengunci kepadaku dan menagih jawaban dariku.
Ini si Leta kemasukan setan apa, sih? Sejak kapan dia peduli dengan kehidupanku, coba?
"Astaga Barra!" Leta lebih dulu melepas jewerannya padaku, dan menekan pelipisnya kuat-kuat.
"Mbak Leta, Kami...." Mira tampak ingin sekali menjelaskan, namun telapak tangan Leta lebih dulu terangkat mengarah ke Mira untuk melarangnya berbicara.
"Aku sama Mira enggak berbuat yang aneh-aneh Let." Akhirnya kalimat belaan lolos juga dari mulutku. Tadinya, aku berpikir akan menggunakan kesempatan ini, untuk memutus perjodohanku dengan Aleta. Namun, aku lebih mengkasihani Mira, karena pasti dia akan dicap murahan nantinya.
Sekali gelengan, dia mengucapkan, "Apa buktinya?"
Bukti? Apa yang perlu dibuktikan? Aku dan Mira tidak melakukan hal abmoral. Setidaknya belum. Mungkin jika Leta datang sedikit lebih lambat, Mira pasti terpancing oleh umpanku.
Tangan kananku menggaruk belakang kepala tanpa sadar. Bagaimana bisa Aleta berpikir sedangkal itu. "Ini enggak seperti yang kamu pikirkan, Let."
Dengkusannya terasa nyata sebelum mengatakan, "Kamu itu harusnya mikirin harga diri perempuan, Barra! Dimana-mana, pihak perempuan yang selalu dirugikan."
Entah kedatangan setan dari mana yang tiba-tiba membuat Aleta berceloteh panjang lebar tentang hidupku. Biasanya dia tidak akan ambil pusing, bahkan berlagak tak acuh ketika aku berbagi kisah dengannya. Apa jangan-jangan dia...
"Kamu juga!" Telunjuk Leta beralih ke arah Mira. "Kamu pikir kamu akan dicap seperti apa, jika kedapatan berduaan di dalam kamar dengan seorang laki-laki?"
Mira langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tak pikir panjang, langsung kuhampiri keberadaannya dan meraih tangannya untuk kugenggam kuat-kuat. "Let! Jangan salahin Mira!"
Belum juga selesai aku dan Mira membicarakan hal yang membuat air matanya menetes, kali ini tuduhan Leta berhasil melelehkan kembali cairan itu dari matanya.
Leta sempat memperhatikan genggamanku pada tangan Mira. "Ya ampun, Bar! Aku beneran enggak ngerti sama jalan pikiran kalian!"
"Jangan bawa-bawa Mira. Aku yang udah nyeret dia ke sini, Leta."
Bukannya balik mendebatku, Leta malah melangkahkan kakinya menjauhi keberadaan kami. Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu, dan berbalik menatapku. "Aku tunggu di bawah. Aku juga akan merahasiakan ini dari Tante Kiana."
***
"Tuh... Barra. Aleta kurang baik apa, coba? dia gak mikirin kejadian tempo hari dan malah main ke sini duluan?" Mama terus membicarakan hal sama dari tadi. Bahkan nasi beserta lauk di atas piringku hampir habis, mama masih saja mengungkit hal itu.
"Udah aku maafin kok Tante, Barranya." Leta juga tampak sangat menikmati hidangannya, beserta segala pujian mama untuknya.
Berbeda dengan Mira yang tampak tidak nyaman dengan obrolan mama dan Leta dari tadi. Makanan di atas piringya juga masih banyak, cenderung tak tersentuh olehnya. Dia hanya memainkan sendok pada mangkuk sup, tanpa melahapnya.
"Mira." Kusenggol kakinya yang berada di sisi, hingga ia menoleh padaku. Siapa sih yang gak paham dengan ketidaknyamanannya? raut itu jelas menggambarkan kecanggungan untuk berada di tengah-tengah kalangan kami. "Pulang?" tanyaku tanpa suara padanya.
Dia langsung mengangguk dan segera meneguk habis air mineral dalam gelas di dekatnya.
"Tante, Mbak Aleta, Pak Barra? Aku ijin pamit dulu," ucapnya tanpa menyela obrolan mama dan Leta. "Udah malem," imbuhnya.
"Biar aku anter, Mir." Aku hampir beranjak dari tempat duduk namun urung, karena langsung mendapat pelototan dari mama.
"Barra! Ada Aleta di sini!"
Decakan yang keluar dari mulutku terdengar sangat kuat saat harus kembali duduk dan bersiap mendengarkan berbagai petuah panjang.
"Ini sudah malem, Ma? Barra gak tega kalau Mira pulang sendirian." Alasan yang kuutarakan rupanya belum juga berhasil membujuk mama.
Mama tak menanggapi ucapanku dan malah bertanya pada Mira. "Mira enggak apa-apa kan pulang di anterin Pak Tono?"
Mira sempat melirikku sebelum berucap, "Iya Tante, gak apa-apa."
Boleh aku bahagia? Jelas Mira mendambakan aku yang mengantar, kan?
Tapi tetep aja aku enggak bisa berkutik karena ada mama di hadapanku. Bukan aku yang mengantar Mira ke depan pintu, malah mama yang langsung mengaitkan tangan ke lengan Mira dan menggiringnya ke luar. Sengaja banget emang mama. Dikiranya aku dan Leta akan saling bicara, gitu? Males.
Kuregangkan tubuh dengan meluruskan kaki dan melemparkan tangan sejauh mungkin di atas kepala. Seharian ini terasa sangat melelahkan. Dan kutemukan posisi ternyaman saat punggungku menjumpai empuknya sandaran kursi.
"Ehem...." Namun suara feminin itu, langsung memutus kenyamanan posisiku saat ini. "Gak ngerasa bersalah, gitu?"
"Apaan sih, Let." Aku reflek mengangkat punggung dan menopang dagu di atas meja. Memperhatikan sekeliling ruangan meski setiap hari aku melihatnya. Yang penting, mataku tak bertemu tatap dengan Leta.
"Oh..., mau aku aduin Tante Kiana?"
Dasar tukang ngancam. Dikiranya aku takut. Dia lupa kali, kalau aku juga menyimpan rahasianya. "Aduin aja. Aku juga bakal aduin ke Om Randy soal party temen kamu itu."
Bukannya panik, Leta malah tergelak. Kelakarnya bahkan memenuhi ruangan mengingat heningnya suasana karena penunjuk waktu sudah pukul sepuluh lewat.
Dikira lucu, apa?
Wah, ada yang enggak beres ini. Kuhampiri keberadaannya di seberang mejaku, dan menepok jidatnya biar sadar. "Kemasukan setan darimana sih, Let?"
"Aduh!" Dia protes dan mendorong tanganku kuat-kuat. Rengutannya semakin kentara ketika dia kembali membahas satu hal. "Kamu yang kemasukan setan! Bisa-bisanya pelukan sama perempuan tadi di dalam kamar!"
Tunggu-tunggu. Aku jadi enggak paham sama jalan pikiran Aleta. Jadi sikap anehnya dari tadi berhubungan dengan kejadian di kamar tadi?
Kusipitkan mata dan menerka-nerka kemungkingkan yang terlintas di otakku. "Kamu cemburu, Let?"