"Jangan pulang dulu ya? Tante udah minta bibi buat bikinin kamu teh anget." Aku memperhatikan mama dan Mira dari luar pintu kamar, yang ternyata sudah saling berbincang. Sementara aku, baru selesai ganti pakaian yang lebih hangat untuk tubuhku.
Bisa-bisanya mama ngeringin rambut basah Mira tanpa canggung seperti itu. Padahal Mira yang terlihat sangat tidak nyaman dengan perlakuan mama dan berulang kali bilang, "Gak usah Tante. Biar aku keringin sendiri."
Seneng sih lihat mereka langsung akrab seperti ini. Seperti ada harapan untuk masa depanku dan Mira kelak. Masalahnya, Mira mau apa enggak buat mikirin masa depan sama aku?
"Aku enggak dibikinin teh juga, Ma?" celetukku yang langsung masuk kamar mama tanpa permisi. Kusempatkan mencium pipi mama seperti biasa, sebelum menyenderkan tubuh pada dinding sebelah mama.
"Barra! Kok gak ketuk pintu dulu, sih?" Aku langsung mendapat hadiah pukulan dari mama meski aku sudah menghindar. Ternyata aku salah posisi jika berdiri di dekat mama. "Untung Mira udah pakai baju," imbuhnya.
Kadang celoteh mama itu sering bikin pusing. Masak iya, pas udah ngeringin rambut masih enggak pakai baju? Gak mungkin, kan?
Tapi... gimana ya kalau Mira lagi enggak pakai baju? Eh, malah traveling kan otakku jadinya? Mama, sih?
Tapi, tunggu. Mama tadi sebut Mira, kan? Berarti... udah saling kenalan dong, ya?
"Ini Mira, Ma. Temen Barra waktu SMA dulu." Aku beralih ke samping Mira sambil menepuk-nepuk pundaknya, berusaha memperkenalkan Mira secara resmi ke mama. "Sekarang dia sekertaris Barra loh, Ma."
Mira tampak tersenyum ke arah mama dan berusaha lepaskan jemariku yang masih bersarang di pundaknya. Lucu, sih. Aku jadi bersemangat untuk merekatkan diri pada Mira dan ingin tahu raut apa yang tercipta.
"Iya, Mama udah denger tadi dari Mira." Ternyata malah mama yang posesif. Dia menarik tanganku dengan mudah dari pundak Mira. Katanya, "Tangannya di jaga!" Tak lupa, mama memelototkan matanya ke arahku.
"Oke." Reflek, aku mengangkat kedua tangan seperti orang menyerah. Serem juga ternyata gertakan mama. Aku memilih beralih ke pinggiran ranjang, daripada nanti dapat pukulan lagi dari mama.
"Mama masih inget kok sama Mira," ucap mama yang kembali mengoperasikan hair dyer. "Kamu juga dulu sering cerita ke Mama soal Mira," imbuhnya.
Wait, cerita yang mana nih? Kok aku jadi was-was denger mama mau bicara.
Sama halnya denganku, Mira juga tampak terkejut dengan pernyataan mama. Terlihat jelas dari pantulan cermin di depannya. Ia sempat melirikku dan bertanya ragu. "Cerita apa Tante?"
Mama langsung tersenyum mendengar ucapan Mira. Ia langsung mematikan hair dryer yang masih di genggamannya, dan ganti menyisir rambut Mira. "Barra bilang kalau kamu dulu selalu dapet ranking satu."
Aku reflek bernafas lega mendengar pernyataan mama. Khawatir aja kalau mama sampai bilang ke Mira kalau aku dulu naksir sama dia. Bisa malu tujuh turunan kalau Mira nolak aku, kan? Tapi salut, sih sama ingatan mama. Ternyata mama masih ingat dengan ceritaku bertahun-tahun lalu.
"Barra juga cerita-"
"Barra juga mau dong Ma, dikeringin kayak gitu rambutnya," potongku sambil menyelipkan kedua tangan dipinggang mama. Bisa bahaya kalau mama lanjutin cerita yang enggak-enggak. Dan aku tahu arah ceritanya. Lebih baik kualihkan pembicaraan saja. "Masak Mira doang yang diperhatiin?" rengekku.
Bisa kulihat Mira berusaha menahan tawa dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Enggak apa-apalah terlihat konyol. Yang penting Mira jangan sampai tahu perasaanku dulu. Runyam jadinya.
"Kamu enggak malu dilihatin Mira?" Mama berusaha melepaskan dekapanku dan mendorong tubuhku menjauhinya. "Barra emang manja gini Mir kalau di rumah. Kalau di kantor gimana?"
"Kurang tahu, Tante. Aku masih baru sih. Mungkin yang lebih tahu Mbak Bella." Mira kembali tersenyum ketika menjawab pertanyaan mama. Kalau sama aku, kenapa sulit sekali tersenyum ya?
"Barra itu di rumah ya kayak gini, Mir. Aku sempet kaget kalau dia pimpin perusahaan dengan baik. Padahal dulu kalau ketemu orang, langsung ngumpet di belakang Tante."
"Eh, enggak, ya!" protesku ternyata langsung membuat Mira tergelak hingga ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia seperti sangat menikmati candaan mama. Tawanya jauh terlihat lepas dibandingkan ketika hanya berdua denganku. Apa begitu pahitnya kenanganku dengannya hingga Mira seperti itu?
"Ulu, ulu... marah nih anak Mama yang ganteng?" Tak hanya menghampiriku, mama bahkan tak segan mencubit kedua pipiku dengan gemas. Sengaja banget kayaknya bikin malu anak sendiri.
Sedangkan Mira, seperti sangat menikmati pemandangan yang dilihatnya. Dasar! Para wanita. Tenang. Nanti pasti kubalas.
"Ma...," desisku pelan sambil berusaha menepis kedua tangan mama, tapi mama malah semakin menekan pipiku sambil tertawa bahagia. Seasyik itu ya, bikin anaknya kehilangan wibawa. Tapi syukurlah, pembicaraan sudah teralihkan.
"Ya sudah. Mama tunggu di bawah ya?"
Di bawah? Oke. Artinya, tinggal aku dan Mira dalam kamar ini, kan?
Tahu, apa yang ada dalam pikiranku? m***m? Enggak. Aku hanya kepikiran kalau ini adalah moment yang pas untuk bertanya kembali kepada Mira, tentang hubungan apa yang sedang ia jalin dengan si kunyuk sialan Evan.
"Kamu belum kasih jawaban ke aku, Mir?" Langkahnya langsung terhenti ketika mendengar pertanyaanku. Aku yakin dia sudah paham dengan arah pembicaraan kita.
Namun jawabannya sama sekali tidak memberiku kelegaan. "Ini bukan waktu yang tepat buat bahas ini, Barra."
Lagi...?
Tidak. Aku enggak mau dia menggantungku begini. Aku harus berkuasa kali ini.
"Mira!" Kutarik tangannya hingga ia berputar ke arahku. Bukan hanya sekedar berputar, namun badannya turut mendekat ke arahku, hingga tak menyisakan jarak lagi di antara kami.
Dalam jarak sedekat ini, aku bisa melihat netranya yang indah. Bulu matanya begitu lentik, ketika bergerak naik dan turun. Sesaat, aku merasa terhipnotis. Berbagai pertanyaan dalam benak, seolah teralihkan dengan pesona yang ditebar Mira. Hanya ada aku dalam pantulan netranya, dan aku menyukai itu.
"Lepasin, Barra," ucapnya pelan, meski tanpa perlawanan. Namun aku sama sekali tak menggubris ucapannya dan semakin mengencangkan pegangan. "Barra! Kita di kamar mama kamu!"
Dia mulai panik? Boleh aku tertawa? Enggak. Ini bukan moment yang tepat untuk menertawakan raut tingkah Mira.
"Barra! Kamu dengerin aku enggak, sih? Kalau ada yang lihat gimana?"
Aku sama sekali tak terpengaruh dengan apa yang ditakutkan Mira. Aku malah terdistraksi dengan pergerakan bibir Mira yang seolah memanggilku untuk meraupnya.
"Mir...." Kuberanikan menyentuh bibir itu dengan perlahan. Sementara tanganku yang lain, masih kuat menahan pergerakan Mira. Aku membayangkan bagaimana jika aku merasakan kelembutan di sana.
Namun semua imajinasiku bubar, seiring rasa nyeri yang menjalar di ujung jempolku. Wanita ini, menggigit ibu jariku dengan sangat kuat.
"Aw!!!" pekikku yang reflek melepaskan depakan dan mengusap ibu jariku.
"Rasain!" ejek Mira dengan tawa kepuasaannya. Dia tampak membenahi pakaiannya yang sedikit geser, akibat perlawannya untuk lepas dari dekapanku.
Satu hal yang aku sesali, ketika mataku melihat ke arah pintu kamar. Seseorang ternyata telah berdiri di sana, dan entah mulai kapan.
"Kalian abis ngapain?"