Harapan Palsu

1023 Kata
Padatnya kendaraan yang bisa kulihat dari tempatku berdiri, seharusnya bisa sedikit mengobati beban yang selama ini kupikul. Melihat berbagai kendaraan di jam macet dari ketinggian seperti ini, memberikan kesenangan tersendiri bagiku. Seperti sedang mengamati miniatur mobil, layaknya ingatanku pada masa kecilku. Namun nyatanya, sensasi yang aku harapkan dari tadi, belum juga aku dapatkan. Pernyataan Aleta kemarin malam, malah semakin terngiang dalam kepala. "Iya. Aku cemburu. Aku berhak cemburu karena aku yang akan jadi istri kamu, Barra!" Semakin ingin melupakan, raut kecewa yang ditunjukkannya, semakin menusuk sanubari. Ada apa dengan Aleta sebenarnya? Apa boleh aku menyimpulkan jika dia menyukaiku? "Permisi, Pak?" Panggilan beserta ketukan pada pintu, membuyarkan segala pemikiran yang berkecamuk dalam kepala. Ketika kutoleh, si pengetuk ternyata sudah berdiri di ambang pintu dengan berbagai map dalam dekapannya. "Ini membutuhkan tanda tangan Bapak." "Apa harus sekarang?" Aku melangkah menuju meja kebesaranku, dan langsung di sambut dengan berbagai data laporan yang baru saja Mira letakkan di sana. "Bisa nanti saja, Mir?" Baru kali ini aku tak memperhatikan Mira, atau bahkan tak melihatnya sama sekali. Aku terlalu takut menatapnya, karena rasa bersalah yang semakin menggelayut semenjak pernyataan Aleta kemarin malam. Ini terlalu mengejutkan bagiku. Sedangkan aku pernah menjanjikan masa depan kepada Mira. Mira tampak memperhatikan penunjuk waktu pada tangan kirinya sebelum berkata, "Sebelum jam sepuluh ya, Pak. Ini perlu saya kirim." "Iya, Mir," ucapku singkat. Masih belum berminat untuk membubuhkan tanda tangan di atas kertas, aku malah memegangi kepala yang terasa memberat. "Kamu bisa keluar, sekarang?" Samar-samar aku mendengar gelak darinya meski cenderung pelan. Tentu saja itu membuatku terpancing untuk menoleh kepadanya. "Mbak Aleta cemburu?" tembaknya. Sejenak aku membeku, mengagumi kebenaran ucapannya yang bisa menebak perasaanku. Apa raut wajahku sebegitu terlihat? "Kamu tahu?" Tentu aku tertarik dengan bahasan Mira. Dia terlampau tanggap jika menyangkut perasaan. Tapi, kenapa dia enggak tanggap sama perasaanku, ya? Tapi sudut bibir yang naik ketika dia melengos, baru menyadarkanku jika adanya ketidaksukaan dalam pembicaraan kami. Entah apa, itu yang perlu aku tanyakan. "Kamu cemburu, juga?" Susah payah aku menahan, namun pertanyaan itu tetap lolos juga dari mulutku. Melihat raut kesalnya, membuat bibirku reflek melengkung meski samar. Namun pertanyaanku dijawab dengan satu kata tegas. "Enggak." Ucapannya langsung memupus ekspetasiku, dan membuat garis lengkung bibirku datar seketika. Apalagi pernyataan selanjutnya lebih terdengar menyakitkan. "Saya cuma enggak mau Mbak Aleta salah paham. Jadi tolong jaga jarak dengan saya, Pak." Serius, itu maunya? Tapi gelagatnya sangat bertolak belakang dengan ucapannya. Apalagi raut pasrah yang ditujukkan kemarin malam ketika dia berada dalam rengkuhanku, seolah melambungkan asa yang membuatku menginginkan rasa itu kembali terulang. Sejenak, otakku merekam ulang ketika hembusan nafas hangatnya menerpa kulit wajahku. Bulu mata yang begitu indah ketika ia mengerjapkan mata. Juga bentuk bibir yang begitu menggoda ketika dia banyak berbicara. Sial! Sesuatu di bawah sana langsung terbangun, ketika aku membayangkan Mira. "Keputusan saya bulat untuk tetap mengundurkan diri, Pak." "Hem?" Belum terlalu fokus pada ucapannya. Aku masih sibuk merapatkan kursi pada meja kerjaku, sebelum Mira tahu kalau di bawah sana terbangun. "Kamu bilang apa, Mir?" Dia tampak menekan pelipisnya, sebelum kembali mengulang pernyataannya. "Saya akan tetap mengundurkan diri." Kali ini ucapannya begitu tegas dan keras. Tentu aku sangat kecewa dengan pernyataannya barusan. Apa dia masih sangat tertekan ketika berjumpa denganku? "Mir, kamu enggak punya alasan untuk menghindariku?" Tak peduli lagi dengan sesuatu di bawah sana yang masih terbangun atau tidak, aku segera beranjak dan menghampiri keberadaan Mira. "Aku sudah bilang akan menebusnya dengan nikahin kamu, kan?" Ya, setelah tragedi hujan-hujanan kemarin, aku memutuskan untuk menikahi Mira untuk melindunginya. "Dengan kasih harapan palsu?" ucapannya terdengar miris. Belum lagi getaran yang mengikuti setiap ucapannya. "Bapak lupa sudah punya calon istri?" "Mir... please Mir," mohonku. Bisa enggak sih, semua orang jangan ingatkan aku tentang perjodohanku dengan Aleta? Aku juga enggak pernah memintanya. "Apa orang tua Bapak bisa menerimaku?" Ucapan Mira membuatku tetap bergeming. Cairan bening itu akhirnya luruh juga pada pipi Mira. "Dengan latar belakangku sebagai wanita p*****r yang videonya sudah tersebar?" Astaga! Semua perkataan Mira benar-benar membuat kepalaku hampir pecah. "Aku sudah enggak peduli dengan semua orang yang menganggapku seperti apa. Aku hanya khawatir dengan ibuku. Apa orang tua Bapak bisa bersikap baik kepada ibuku, kalau tahu latar belakangku seperti itu?" Pemikiran Mira ternyata sudah sejauh itu. Apa itu juga yang membuatnya belum menjawab ajakanku untuk menikahinya? "Mir...." Aku berusaha menghapus setiap jejak basah di pipinya, dan dia menolak uluran tanganku berkali-kali. Melihatnya seperti ini, selalu saja mengingatkanku pada kejadian malam sialan waktu itu. Isak tangis dan mata merahnya, membuat rasa bersalah memenuhi otakku. "Wah, Ada yang lagi reunian, nih?" Pernyataan itu berasal dari pintu masuk, dan reflek membuatku melonggarkan jarak dari Mira. "Ngapain lo ke sini?" Aku sempat terkejut dengan kehadiran Evan yang sudah berada di ambang pintu. Raut santai dengan senyum ejekan yang dilemparkan kepadaku, membuat keadaan terasa memuakkan. Bukannya menjawabku, dia malah nyelonong masuk menghampiri Mira, dan melabuhkan kecupan singkat pada kening Mira. "Hai, sayang?" What! Yang aku lihat ini nyata, kan? Namun sikap Mira seolah menjawab prasangkaku. "Apaan sih, Van!" Bukan hanya mendorong, namun Mira memukul lengan Evan sangat kuat hingga ia mengaduh. Cemen. Baru juga dipukul segitu? Biar kututupi bagaimanapun, tetap saja aku tergelak melihat raut keweca dan malu si Evan yang jadi satu. "Kamu lupa perjanjian kita?" Seolah tak peduli dengan penolakan Mira, Evan kembali merapatkan diri, bahkan menarik pinggul Mira untuk merapat kepadanya. "Van! Ini kantor, Van!" Mira terus menolak dengan mendorong d**a Evan. Jangan tanyakan bagaimana sikapku. Tentu dengan senang hati aku kembali melayangkan tinjuan pada rahang si kunyuk satu ini. "Jangan sentuh Mira!" Meskipun dalam otak terus memikirkan perjanjian apa yang mereka buat, namun menjauhkan Mira dari kunyuk sialan ini, hukumnya wajib. Aku enggak peduli masih berada di dalam kantor apa tidak, namun melihat Evan seenaknya menyentuh Mira, seolah mencabut kewarasan dari otakku untuk bisa menghajarnya. Aku menarik Mira untuk berlindung di belakang tubuhku, sebelum Evan kembali menjamah tubuhnya. "Elo tuh kebiasan! Ngapain sih ikut campur urusan gue?" Evan bangkit dan mengelap bibir bawahnya yang ternyata mengeluarkan darah. Wah, mantep juga ternyata tinjuan gue. "Elo tuh yang gak usah usik hidup Mira lagi. Apa sih yang lo harapin?" Aku enggak menemukan tatapan terancam dari Evan. Dia malah berkacak pinggang sambil menertawakanku. "Kepuasan. Gue masih suka sama rasanya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN