"Kenapa muka lo? Kayak cucian kusut aja?" Evan langsung mencecarku setelah dia duduk di bangku hadapanku. Tatapan menyelidiknya begitu kentara. Ternyata dia bisa perhatian juga sama teman?
"Yah... gitu lah." Kuhembuskan nafas secara perlahan, sembari perhatikan sekeliling yang mungkin bisa alihkan aliran mendidih dalam tubuhku.
Aku bahkan sama sekali tidak berniat kembali ke kantor, karena masih enggak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi. Dering ponsel dan berbagai pesan dari Bella, bahkan aku abaikan dengan mudah.
"Yaelah, Bar. Goresan kayak gitu paling keluar duit berapa sih?" Evan bicara dengan santai seolah tidak pernah ada masalah dengan finansialnya. Oke. Orang tuanya memang berasal dari keluarga berada. Dan aku sangat tahu perlakuan manja orang tuanya ke dia seperti apa.
Tapi bukan itu masalahnya. Pelaku yang sengaja memberi baret panjang pada mobilku, yang menjadi masalah sesungguhnya.
Berkali-kali aku menggaruk belakang kepalaku, karena tetap saja tidak menemukan jawaban atas dasar apa Mira berbuat seperti itu.
"Enggak lo laporin ke polisi aja si pelakunya?" Pertanyaan Evan memutus ingatanku pada Mira seketika.
Ya, aku memang ingin menyeretnya ke jalur hukum sebelum aku tahu siapa pelakunya. Namun, semua ini terjadi diluar nalarku. Tindakan anarkis Mira, pasti ada penyebabnya.
"Lihat aja entar," jawabku sembari meraih cangkir di atas tatakan yang baru disajikan pelayan di depanku. Aromanya sedikit menenangkan, meski ini bukan aroma kesukaanku. Lumayan, sedikit mengalihkan pikiranku yang pelik.
"Kenapa? Gak berani laporin? Lo kenal sama pelakunya?" Kekehan Evan seolah mengolokku seperti pengecut. Ya, harus kuakui. Aku memang pengecut kali ini. Namun, lebih tidak mungkin melaporkan Mira sebagai pelakunya, kan?
Kutarik nafas kuat-kuat dan menyandarkan punggung pada sandaran bangku, berharap hari ini segera berakhir. "Pelakunya karyawan gue sendiri," jawabku.
"Wah, dia pasti punya dendam sama lo tuh," ucap Evan dengan mudah. Namun ucapannya menyadarkanku jika mungkin Mira memang menaruh dendam padaku. Tapi, bukankah kita sudah berdamai setelah aku menenangkannya tadi? Ah, rasanya kepalaku hampir pecah bertubi-tubi dapat masalah kayak gini.
"Ngomong-ngomong, Mira ada kerja sama lo?"
Aku langsung menghentikan pergerakanku, dan menoleh Evan sekejap. Senyuman yang ditampilkan terlihat mencurigakan. Apa sebenarnya yang dipikirkan si kunyuk satu ini?
"Lo masih inget sama dia?" Aku meletakkan kembali cangkir pada tempatnya semula, dan menunggu jawaban apa yang keluar dari mulut Evan.
"Gila? Jelas inget lah." Kedua tangannya terangkat ke udara dan menggambarkan sebuah biola. Sebuah candaan yang biasa para lelaki lontarkan ketika melihat tubuh wanita yang sempurna. Senyum yang diperlihatkan juga lebih menggerikan.
Sialan! Dia enggak sadar kalau yang gila itu sebenarnya dia?
Pikiranku jadi terpacu pada delapan tahun lalu, ketika Evan mengadakan party kelulusan di rumahnya. Dia sengaja memberi Mira minuman yang sudah dicampur dengan afrodisiak, jenis obat yang mampu meningkatkan hormon dopamin dan meningkatkan gairah seksualitas. Dia berusaha menjadikan Mira sebagai pemuasnya.
"Lo apa gue duluan?" Aku masih ingat tawarannya pada saat itu.
Bodohnya, aku langsung mengiyakan tawarannya setelah melihat Mira yang terus bergeliat di dalam ruangan dengan pakaian minimnya. Aku tak tahu pasti perasaanku saat itu. Hanya saja aku tidak terima kalau Mira sampai tidur berdua dengan kunyuk sialan di hadapanku ini.
"Kenapa lo bisa tahu Mira kerja sama gue?" Kualihkan pikiran dan menanyakan hal yang membuatku penasaran.
"Makanya, jangan pacaran mulu," jawabnya sambil menyeruput pinggiran cangkir pada genggamannya. "Gue hampir masuk ke ruangan lo kemarin. Tapi ada calon bini lo. Ya udah gue pergi aja. Untung ada Mira yang menyambut gue."
Sialan! Kok dadaku rasanya sesak ya denger penjelasan dari Evan? Aliran darah dalam tubuhku sepertinya kembali mendidih. "Lo apain Mira?"
Akhirnya aku tak bisa menahan gejolak dalam diriku. Aku bahkan reflek berdiri dan menunjuk dirinya dengan intonasi tinggi.
"Santai, Bos," ucapnya ringan sambil menepis telunjukku yang sudah teracung padanya. Katanya, "Gue cuma ngasih kartu nama gue doang ke dia. Ya... kali aja dia mau gue ajak bisnis." Kekehannya kali ini membuat diriku benar-benar tak bisa menahan diri.
"Sebenarnya apa yang lo harapin dari Mira?" Aku menarik kerah kemeja Evan hingga ia turut berdiri, dan menatapku. Namun raut santainya begitu memuakkan.
"Lo mau tau apa yang gue harapin? Lepasin gue!" perintahnya tak kalah garang.
Aku reflek melepaskan tanganku, dan melonggarkan jarak dengan mundur selangkah hingga kaki belakangku menabrak bangku yang aku duduki sebelumnya.
Akhirnya aku hanya terduduk sambil mengamati pergerakannya yang terus mengutak-atik ponsel miliknya. Kali ini sikapnya bener-bener mengesalkan. Ingin sekali rasanya aku meninju wajah yang selalu ia banggakan itu. Namun aku sangat penasaran dengan interaksi apa yang mereka lakukan di belakangku. Mungkin saja ini ada kaitannya dengan tindakan anarkis Mira, kan?
"Gue ada kirim link ke handphone lo. Check sono cepetan!" ucapnya setelah memasukkan kembali ponsel miliknya ke saku celananya. "Entar malem gue ada ketemuan sama Mira," imbuhnya.
Awalnya aku mengira jika link yang baru saja aku terima, berisi tentang sesuatu pembuktian kalau dia berhasil mengajak Mira untuk berkencan. Karena aku tahu kalau Evan selalu mengincar Mira sejak SMA, namun Mira selalu menolaknya.
Tapi ternyata aku salah. Video yang baru saja aku lihat melalui link yang dibagikan si Evan, berhasil membuat darah dalam tubuhku mendidih hingga ke ubun-ubun. Belum lagi pernyataannya jika akan bertemu Mira malam ini.
"Sialan!" Akhirnya aku tak mampu lagi menahan amarah yang sejak tadi berusaha aku tahan. Tangan kananku berhasil meninju rahang kiri Evan tepat sasaran, dan membuat pria di hadapanku langsung ambruk ke sisi kanannya.
"Lo mau nyakitin Mira kayak apa lagi? Belum puas sama masa lalu?" Aku mendekati keberadaannya yang masih belum beranjak, dan kembali melayangkan tinjuan pada tempat yang sama. Umpatan pun berkali-kali lolos dari bibirku tanpa bisa kukontrol sama sekali.
Evan, benar-benar sudah tidak waras. Bisa-bisanya dia mengekspose adegan panasku bersama Mira waktu itu, ke dalam situs terlarang? Meskipun aku merasa tidak dirugikan karena wajahku tak terlihat, namun tindakannya benar-benar gila. Pantas saja jika Mira sangat merasa dipermalukan ketika bertemu kembali denganku. Aku jadi semakin yakin jika pemicu tindakan Mira, gara-gara si kunyuk sialan ini.
"Hapus sekarang gak!" Teriakanku mungkin sedikit merusak indra pendengaran Evan karena sengaja kudekatkan mulut ini pada telinganya. Setidaknya itu yang aku harapkan.
Ia masih bisa tertawa renyah meski tubuhnya sudah tak mampu lagi berdiri. Dengan santainya dia berucap, "Gue udah ada kesepakatan sama Mira. Jadi lo gak usah ikut campur!"
"Sialan!" bukan lagi tinju yang kulayangkan kali ini, namun kaki yang masih lengkap dengan sepatu pantopel ini, berhasil menendang barang berharga yang biasa menjadi kebanggaan para pria di ranjang. Rasain! Biar kapok.
Ingin kembali menghajarnya, namun aku baru sadar jika pergerakanku telah ditahan oleh dua petugas keamanan yang entah kapan datangnya. Aku juga baru menyadari jika sekelilingku sudah banyak pengunjung lain yang ikut berkerumun.
Aku enggak peduli sama teriakan kesakitan Evan yang terus terdengar di telinga. Entah kenapa juga, aku menjadi sangat marah saat dia membahas Mira di hadapanku. Apa aku menyukai Mira?