"Tumben banget sih ngajak ketemuan?" protes Leta setelah menunjuk salah satu menu yang dibawakan pelayan kepada kami. Ia lalu mengangkat ponselnya seperti biasa. Bercermin untuk memastikan riasannya. "Jadwalku padat, Bar," keluhnya lagi.
Aku menarik nafas kuat-kuat dan menyandarkan punggung sambil melipat kedua tangan. "Mau, aku aduin Papi kamu kalau tempo hari kamu party enggak sama aku?" Ancamku dengan santai.
Aku yakin Leta pasti langsung merengut setelah mendengar ucapanku. Aku sengaja mengalihkan pandanganku dengan memperhatikan keseluruhan tampilan cafe tanpa menoleh kepadanya sedikitpun. Warna-warna yang cantik ketika mataku melihat ke langit-langit atap, cukup menyegarkan mata.
Alasanku mengajak Aleta untuk makan malam, sebenarnya juga enggak jelas. Aku hanya butuh pelarian karena sudah lelah dengan omelan panjang mama karena perlakuanku terhadap Evan beberapa hari lalu.
Aku bahkan mendengar kabar, jika si kunyuk itu harus ke luar Negeri untuk membenarkan rahangnya. Tapi bukan salahku, kan? Dia duluan yang mancing.
Namun berbicara pada Aleta sepertinya juga tidak berhasil. Wanita yang berstatus sebagai tunanganku ini dari tadi cuma diam dan tak acuh kepadaku.
"Ish, Barra," gerutunya pelan.
Awalnya aku tak begitu menghiraukan keluhannya. Namun ketika kedua mata kami saling memandang, aku langsung mendapat pelototan tajam darinya. Ia mengambil pisau yang baru saja disediakan pelayan di atas meja, dan menekannya kuat-kuat pada piring saji hingga menciptakan derit panjang sampai aku perlu menutup telinga.
"Let...." Kusebutkan namanya dengan pelan dan tegas karena sikap kekanakannya barusan.
"Ih, Barra ngeselin," ucapnya sambil menghentikan pergerakannya. Kini bibirnya mengkrucut maju hingga menyerupai karakter donald duck, kartun anak yang dulu sering aku tonton di televisi. "Cepetan ngomong, mau bahas apaan?"
Aku menahan tawa dengan menutup rapat-rapat mulutku karena dia tetap menyantap hidangan di atas meja dengan lahab. Kesannya marah, tapi masih doyan makan. Kan aneh aja jatuhnya.
"Aku juga udah lupa Let, mau bahas apaan." Aku turut mengambil perlengkapan makan serupa dengan Leta dan mengiris potongan daging tebal di atas piring. Kali ini aku memang sengaja membuatnya kesal, karena reaksinya cukup menghibur bagiku.
Suhu udara di sekitarku berubah menjadi dingin seketika. Aku mencari-cari sumbernya, dan ternyata ini berasal dari tatapan mematikan Aleta. "Barra!" Teriaknya disertai injakan kuat pada kakiku.
Aku sampai mengaduh karena kekuatannya kali ini luar biasa. Berbeda dengan kesan anak manja yang selalu melekat pada dirinya. Dia kuat juga ternyata.
"Rasain!" Dia belum berhenti mengejekku. Ditambah juluran lidah yang ditujukan padaku, sangat jelas kalau dia puas dengan aksinya barusan.
"Tega kamu, Let?" protesku dengan mengusap-usap bagian luar sepatuku, karena tidak mungkin aku mengeluarkan kaki di tempat seperti ini.
Kuenyahkan segala rasa nyeri dan kembali menormalkan raut ketika kedua tanganku kembali memegangi perangkat makan.
"Besok, Papi ngajak kamu makan malam," ucapan Aleta memecah kecanggungan seketika. Ia ternyata telah menyelesaikan acara makannya meski hidangan di atas piringnya masih tersisa banyak. Ia mengusap mulutnya dengan tisu yang baru diambilnya dari dalam tasnya.
Sejenak pikiranku teralihkan dengan benda apa saja yang wajib dibawa para perempuan? Aku masih ingat saat Leta begitu kesal karena lupa membawa cermin. Emang harus seribet itu ya? Kan masih ada kaca spion mobil, atau apalah yang bisa dijadikan penggantinya. Tapi kalau diingatkan, Leta pasti menjawab, "Kamu tu laki-laki mana tau kebutuhan perempuan?"
Aku jadi terkikik memikirkan pemikiran absurd para wanita.
"Apanya yang lucu?" ucapan Leta baru menyadarkanku dan menarikku kembali ke masa sekarang.
"Enggak ada. Cuma pengen ketawa aja." Aku tak segan-segan menunjukkan deretan gigiku yang tentunya terawat kepadanya tanpa malu-malu.
"Dasar gila," gumamnya.
Yah, setidaknya rasa galauku sedikit berkurang. Reaksi jijik dari Leta ternyata cukup menghibur.
"Kenapa Om Randy ngajak makan?" Aku kembali ke topik pembicaraan sambil menuntaskan suapan karena daging di atas piringku masih tersisa. Sebenarnya aku enggak terlalu ingin mengisi perut, tapi sayangkan kalau enggak dihabisin?
"Paling-paling Papi mau bicarain soal pernikahan kita?" Leta menopang dagu dengan tangannya, dan memperhatikan apapun yang ada di sekeliling. Terlihat jelas kalau dia sama sekali tidak tertarik dengan bahasan yang baru saja ia utarakan.
Nah, berbicara soal pernikahan, aku baru sadar akan satu hal. "Kamu yakin tetep turutin mereka untuk nikah sama aku?"
Bisa kudengar helaan nafas panjang Leta ketika dia menyandarkan punggungnya. "Kita hanya perlu menikah sesuai perjanjian, Bar. Dan masalah akan selesai," jawabnya enteng.
"Kamu yakin tuntutan bakal selesai di situ?" Aku menegakkan punggung dan menatap Leta dengan serngitan di dahi.
"Maksud kamu?"
Aku reflek memutar bola mata ke atas dan menarik nafas dalam-dalam. Ini, Leta beneran gak tau, atau pura-pura gak tau, sih? "Mereka pasti nuntut kita untuk punya anak, lalu melakukan sederet perjanjian lainnya sampai kita bisa saling mencintai. Lalu, happy ending deh?" ucapku dengan ekspresi dibuat-dibuat. Kan gitu, biasanya di drama-drama.
Leta langsung tergelak mendengar ucapanku barusan. Bahkan ia hampir menyemburkan cairan yang baru saja diminumnya kalau saja ia tidak segera menutup mulutnya. Apanya yang lucu, coba? Katanya, "Pikiranmu kejauhan, Barra."
Ya... siapa yang tahu? Sekarang apa yang diharapin para orang tua selain cucu, kan?
"Kita punya perjanjian, Bar. Kamu inget, kan?" Leta menggoyang-goyangkan cairan di dasar gelasnya, dan melihat kedalaman di sana.
"Iya, aku tahu." Aku menuntaskan suapan terakhirku dan meletakkan asal peralatan di atas piring tanpa peduli tata cara peletaannya.
"Lalu, apa masalahnya?" tanya Leta kembali.
Ya, aku masih ingat sederet permintaannya kepadaku tentang pernikahan yang akan kita jalani kedepannya. Dia meminta metode open marriage dalam pernikahan kita, dan dulu aku mengiyakan tanpa pikir panjang.
Namun setelah aku pikir-pikir, aku belum siap untuk komitmen di dalamnya. Pernikahan macam apa yang membebaskan pasangannya beradu peluh di ranjang dengan orang lain dengan dalih saling percaya? Meskipun aku tidak mencintai Aleta, tetap aku tidak bisa menerima pernikahan dengan konsep seperti itu. Aleta sudah aku anggap seperti keluarga sendiri, dan aku hanya menyayanginya sebagai adik perempuan.
Kuhembuskan nafas secara perlahan dan menyandarkan punggung yang terasa memberat. Rencana awal untuk mengurangi beban dengan mengajak bicata Leta, ternyata tidak berhasil.
Namun arah pandangku ketika melihat dua orang yang baru masuk, dan berjalan sesuai arahan waiters, semakin menambah beban dalam pikiranku.
Mereka tampak seperti sepasang kekasih pada umumnya dengan kedua tangan yang saling mengait. Lebih tepatnya, si pria yang memaksa si wanita untuk mengaitkan tangannya pada lengannya.
Sialnya, si pria menyadari keberadaanku dan menggiring wanita yang berada di sampingnya untuk menghampiriku. Dia melambai kepadaku dan Leta, dengan percaya dirinya. Dia tersenyum mengejek sebelum mengatakan, "Hai Bro. Kebetulan banget kita ketemu kayak gini?"
"Sial!"