Insiden Goresan Mobil

1228 Kata
Hari ini aku berhasil meminta Mira untuk menemaniku bertemu dengan para klien di saat jam makan siang, dengan alasan agar dia terbiasa kedepannya. Sebenarnya bukan hanya sekedar itu tujuanku. Aku berencana meminta maaf padanya setelah pertemuanku dengan para klien hari ini selesai. Mira sebenarnya terlihat berbeda dengan tampilan kerja seperti ini. Jauh terlihat dewasa dan feminin. Caranya menyambut klienku juga mengejutkan. Sulit bagiku untuk menggerakkan badan atau mengedipkan mata karena kagum. Begitu mudahnya dia mengakrabkan diri dengan orang asing? Senyuman yang dilemparkan ketika mempersilahkan klienku pergi, juga terlihat sangat alami. Berbeda dengan senyum licik yang terang-terangan ia tujukan kepadaku kemarin. "Saya boleh ijin kembali ke kantor lebih dulu, Pak?" Setelah memastikan para klienku benar-benar menghilang dari pandangan, Mira langsung menanyakan hal yang aku takuti dari tadi. Ia ternyata langsung kembali ke mode cuek ketika hanya berdua denganku. Tatapannya juga cenderung menghindariku. Ia seperti menyibukkan diri dengan memasukkan laptop dan beberapa lembar kertas hasil perbincangan dengan para klien ke dalam tas jinjing di sampingnya. "Kamu enggak makan dulu, Mir?" Padahal aku berharap bisa memperbaiki hubunganku dengan Mira setelah pertemuan dengan para klienku hari ini selesai. Tapi katanya, "Maaf pak, saya sudah makan. Dan juga, banyak sekali yang harus saya pelajari sebelum mbak Bella pergi." Kecewa? Jelas iya. Aku berharap hari ini adalah hari kencan pertamaku dengan Mira dengan alasan pekerjaan. Ternyata dia masih saja menghindariku. Hanya saja, "Aku sudah pesan menu utama, Mir." Gelengan kepala darinya tetap tak membuatku berhenti membujuk sampai di sini. Aku beranikan bertanya, "Kamu enggak bener-bener lupa sama aku kan, Mir?" Bisa kulihat pergerakannya langsung terhenti sesaat. Mata sayunya ketika bertemu tatap denganku, seolah mengatakan ucapanku memang benar. "Bapak minta jawaban seperti apa?" Ia kembali mengemasi barang-barangnya dan menutup resleting tas jinjingnya. "To the point saja. Apa maksud Bapak meminta saya menemani Bapak bertemu klien, padahal saya baru dua hari bekerja?" Jujur, aku enggak terlalu mendengarkan ucapannya barusan. Perhatianku teralihkan dengan lingkaran gelap pada bawah kelopak mata Mira ketika dia menatapku. Jelas mata itu sangat berbeda saat kemarin dia memperkenalkan diri padaku. Apa dia tidak cukup tidur? Sejenak, pikiranku berkutat pada masa lalu j*****m yang mungkin penyebab mata sembab Mira saat ini. "Kamu habis nangis, Mir?" pertanyaan itu akhirnya lolos juga dari mulutku. Aku jelas tidak sesabar itu untuk menunggu momen yang pas. "Apa itu gara-gara aku?" Mira langsung tergelak, dia menunduk sebentar dan kembali menatapku dengan bola mata yang telah basah. "Ternyata Bapak masih ingat kejadian itu?" Dia menyeka sudut matanya yang hampir saja meneteskan air mata. "Apa semudah itu bagi para orang kaya untuk membeli kehidupan orang lain?" "Mira... aku...." Aku terbata. Aku jelas menyadari kesalahanku di masa lalu. Hanya saja aku tidak begitu paham dengan apa yang baru saja dibicarakannya. "Awalnya kehidupanku baik-baik saja sebelum bertemu Bapak," ucapnya tegas meski terdengar tarikan sesak di setiap kalimatnya. "Aku sangat menyesal, sudah menandatangani kontrak kerja yang tidak mungkin aku batalkan. Tapi aku akan berusaha mencari pekerjaan sampingan untuk membayar denda agar bisa keluar dari sini." Astaga, ternyata pemikirannya sejauh itu. Apa dia begitu menyesal dan menderita setelah bertemu aku kembali? Ya, aku akui. Rasa penasaranku kembali hadir setelah melihatnya kembali. Miliknya yang sangat ketat dan hangat, membuatku tergiur untuk kembali mengulangi rasa itu. Tapi, "Waktu itu kamu hanya dibawah pengaruh obat, Mir." Aku beranjak dan menarik pergelangan tangannya sebelum dia pergi menjauhiku. "Maafkan aku waktu itu, Mir." Dia sempat menoleh kepadaku. Seringai yang ditampilkan benar-benar tidak cocok untuk tampilannya kali ini. Katanya, "Awalnya juga begitu. Aku berusaha melupakan semuanya." Lalu, apa masalahnya? Pasti ada pemicu yang membuatnya seperti ini, kan? "Teman-teman Bapak menilaiku seperti wanita pelacur." Dia menghempaskan cengkraman tanganku dengan mudah. "Maksud kamu apa, Mir?" Teman-teman siapa? Aku terdiam sejenak. Menunggunya kembali berbicara lebih banyak. Keheningan di antara kami membuatku mengingat kembali waktu itu dan menggali ingatan yang mungkin terlewatkan. "Mereka menunjukkan video waktu kamu mengambil pertama kali milikku." Kali ini kalimatnya berubah santai tanpa embel-embel Pak. Namun aku tetap tidak menyangka dengan pernyataannya barusan. "Mira... aku enggak..." Aku bahkan tidak menyadari jika waktu itu terekam oleh anak-anak lain yang menjadikannya sebagai tontonan gratis. "Kamu sangat menikmatinya, Barra. Aku melihatmu. Caramu memanggil namaku waktu itu. Jelas kamu dalam keadaan sadar." Kupegangi telunjukknya yang teracung padaku, dan menggenggam erat kedua tangannya. Kurapatkan diri hingga aku dapat merengkuhnya. Bisa kurasakan isak tangisnya ketika ia menenggelamkan wajah pada dadaku. Ia lalu mendongak dan mendorong tubuhku hingga terhuyung mundur. "Mira..." Kutangkap lagi tubuhnya untuk mengeratkan pelukan. Namun badannya melemas hingga ia terduduk. Kupegangi kedua tangannya karena dia mulai berteriak histeris dan berusaha melukai dirinya sendiri. Teriakannya terhenti dan berubah menjadi kata-kata menyakitkan. "Aku sudah tidak punya masa depan, Barra." Aku menggeleng kuat-kuat. Kupegangi kedua pipinya agar bisa menatapku. "Enggak. Kamu punya, Mir. Aku akan kasih masa depan buat kamu." Bodohnya, aku mengucapkan kata-kata yang mungkin sulit untuk tergapai. Bagaimana dengan Aleta? Sebentar lagi dia akan menjadi istriku. Ah, pikiranku bertambah berat untuk saat ini. Lupakan. Aku bisa memikirkannya nanti. Kuraih tangan Mira dan menggiringnya untuk kembali duduk di sofa, karena aku sadar jika kita menjadi tontonan gratis pengunjung lain. "Tenang dulu, Mir. Biar Pak Tono antar kamu pulang ya?" Kubelai rambutnya selembut mungkin, sebelum aku menghubungi supirku melalui panggilan telepon. Setelah kupastikan Mira benar-benar tenang, aku baru mengistruksikan Pak Tono untuk mengantarnya pulang. Sementara aku masih memilih menghabiskan waktuku di sini, dan berencana menghubungi Evan, seorang teman yang kemungkinan menjadi pemicu amarahnya Mira. "Tolong antar dengan selamat ya, Pak." Perintahku langsung mendapat anggukan dari Pak Tono. Sementara Mira, masih terus membisu sembari mengikuti langkah Pak Tono menjauhiku. Kepalaku mendadak berat. Bukan karena urusan perut kosong yang belum terisi apapun, tapi aku memikirkan berbagai cara untuk menebus rasa bersalahku kepada Mira saat ini. Menu utama yang sudah kupesan, kini sudah berada di atas mejaku. Hampir saja aku menikmati hidangannya ini, namun teriakan dari Pak Tono membuatku urung menyantapnya. "Pak! Ada masalah!" Pak Tono berteriak sambil berlari menghampiriku. Rautnya terlihat cemas dan nafasnya tidak beraturan. Mira juga tidak ada di sampingnya. Atau jangan-jangan... "Mira kenapa, Pak?" Aku langsung beranjak dan berlari keluar untuk melihat keadaan apa yang membuat supirku sangat cemas. Aku bahkan tak menghiraukan Pak Tono yang mengejarku dengan berulang kali menyerukan namaku. Namun ketika berada di depan mobilku, aku tak melihat keberadaan Mira di sana. "Pak Barra, tidak terjadi apa-apa dengan Bu Mira. Tapi mobil Bapak..." Pak Tono tak melanjutkan kalimatnya, dan menunjuk sisi kiri badan mobilku yang tergores benda tajam. Ban mobilku juga kempes, empat-empatnya. Ini jelas disengaja. Hanya saja, siapa pelakunya? "Bu Mira tadi meminta pergi dengan taxi online, Pak." Pak Tono kembali melanjutkan penjelasannya. "Saya hanya pergi ke toilet sebentar, dan ketika kembali, mobil Bapak sudah seperti ini." Sial! Hari ini seperti hari sial bagiku. Kuputuskan menghubungi seseorang yang bisa aku andalkan, agar aku mendapat ijin untuk melihat rekaman kamera pengawas yang menyorot keberadaan mobilku. Alhasil, aku sekarang duduk pada ruangan pengawas yang bisa memperlihatkan rekaman dari banyaknya cctv yang terpasang di sini. Terlihat jelas orang itu dengan sengaja menggores badan mobilku, dan mengempeskan ban mobilku dengan mudah. "Enggak ada orang lain, Pak?" Aku memastikan kembali setelah petugas pengawas memperbesar ukuran layar. "Bisa minta dicek ulang?" "Ini sudah ketiga kalinya, Pak." Si petugas menjawab dengan ketus. Mungkin dia juga kesal karena aku terus meminta rekaman itu diputar kembali. Otakku masih tak habis pikir dengan insiden yang terjadi pada mobilku. Kapan dia melakukannya? Apa dia sudah merencakan ini semua sebelumnya? Punggungku reflek mundur dan menabrak sandaran bangku di belakangnya. "Kenapa kamu melakukan semua ini, Mir?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN