Bab 12

3115 Kata
HAPPY READING *** Tepat jam 08.00 Juliet sudah berada di Le Quartier. Le Quartier ini merupakan salah satu French restaurant di area Senopati. Restoran ini sudah cukup lama eksis. Interiornya classy, di d******i dengan furniture kayu, sangat homey. Sebenarnya restoran ini cukup asyik untuk candle light dinner dengan pacar, ia pernah ke sini dulu, dan makananya enak-enak, apalagi ada menu breakfast. Juliet memilih duduk di salah satu table sofa karena penerangannya sangat baik. Areanya cukup luas, ada meja berempat, meja fine dining dan bar table. Server menghampirinya lalu memberikannya buku menu berbahan kulit. Ia memesan perit caesar salad and soft boiled egg dan apple mixed green salad. Ia membaca Norwegian salmon steak, ia pernah makan ini salmonya lembut dan gurih namun ia mengurungkan niatnya untuk memesan, karena ini hanya breakfast. Lemon butter sausnya memiliki rasa asam manis yang meledak di mulut. Ia justru memesan dessert apple tart dan ananas hawaien. Minumannya berupa hot coffee expresso. Setelah mencatat itu server meninggalkan mejanya. Juliet menatap Anja di sana, wanita itu mengenakan celana kulot berwarna hitam dipadukan dengan kemeja tanpa lengan berwarna merah. Di lehernya ada lanyard berwarna hitam, wanita itu tersenyum, berlari mendekatinya. “Maaf ya telat, tadi parkiran depan susah masuk mobil, ada tamu mau keluar gitu,” ucap Anja. “Lo udah pesen belum?” “Iya, udah,” ucap Juliet. “Oiya, kemarin gimana? Udah deal nggak?” Tanya Juliet, ia teringat bahwa Anja sedang dapat project besar, jika kliennya deal maka bonusnya akan banyak. Anja tersenyum dan mengangguk, “Deal dong.” “Wah hoki banget lo.” Anja tertawa, “Lumayan. Hari ini gue yang traktir.” Juliet menatap sahabatnya, “Oiya, lo mau cerita apa? Kayaknya penting banget,” ucap Juliet, ia memandang server menyajikan hot coffee expresso di meja, tadi pagi-pagi sekali sahabatnya itu mengajaknya breakfast di sini karena ada yang harus dia ceritakan. Juliet mengaduk expresso dengan sendok dan lalu menyesapnya secara perlahan. Anja menarik nafas beberapa detik, ia menatap Juliet. Ia terlalu bingung, mulai dari mana ia bercerita. “Menurut lo FWB itu gimana?” Tanya Anja, topik inilah yang ingin ia bahas dengan Juliet. Ia meminta pendapatnya kepada Juliet tentang FWB yang ia jalani dengan William, ia tahu bahwa Juliet lebih dewasa menyikapi hal ini di banding dengan dirinya. Juliet mengerutkan dahi, “Lo FWB sama siapa?” Tanya Juliet. “Tanya doang, menurut lo gimana?” Juliet memandang Anja cukup serius, ia menyesap exspresso nya lagi, ia melihat server mengantar salad dan cake mereka. Kini semua pesananya sudah tersaji di meja. Ia mengambil sendok dan memakannya sambil berpikir tentang FWB. Ia yakin FWB itu ada hubungannya dengan sahabatnya ini. Juliet menarik nafas, “Menurut gua, FWB nggak ada masa depannya sih, cuma sebatas having fun. Hanya menjalin relasi intim sama lawan jenis. Ada sih, beberapa orang yang open relationship. Kayak pacaran tapi nggak mau komitmen yang jelas.” “Itu kayak kasual aja sih? Tapi ada jarak, dia bebas ngapain aja dan lo bebas juga.” “Tapi menurut gua, nggak guna juga sih hubungan kayak gitu. Intinya lo nggak mau berkomitmen dengan siapapun dia juga gitu.” “Terus.” “Kalau lo tanya gue mau apa nggak, ya gue nggak lah. Engak jelas gitu,” ucap Juliet. “FWB itu, make it clear, no baper, dan jangan pakai perasaan.” Juliet memicingkan matanya, “Lo FWB an?” Tanya Juliet sekali lagi. Anja sebenarnya tidak tahu, apa hubungan dirinya dan William, mereka tidak konfirmasi apapun. Hanya saja ia merasa bahwa ia dan William telah melakukan FWB. Ia akui bahwa ia memang jenuh menjalani hubungan konvensional, karena terlalu mengikat dan membelenggu dirinya. Mereka hanya beranggapan bahwa hanya sebatas teman, namun lebih ke hal intim. “Enggak tau sih, FWB apa nggak. Enggak jelas,” ucap Anja. “Sama siapa?” “Kemarin William nawarin gua FWB.” Juliet mengerutkan dahi, “Kayak nawarin product aja deh.” Anja tertawa geli, “Ya, gitu deh.” “William? Siapa?” “Klien gua yang punya property itu. Dia nawarin gua jadi relasi FWB.” “Ganteng?” “Lumayan.” “Tapi menurut gua, lo pikir-pikir lagi deh,” ucap Juliet menasehati. “Tapi gua juga nggak mau pacaran.” “Yah, balik lagi sama lo. Lo mau apa nggak? Emang menjamin lo udah sama-sama hubungan intim, lalu dia tiba-tiba nikah sama orang lain.” Anja meraih mangkuk salad ia makan dengan tenang, “I know, tapi gua nggak bakalan baper sih.” “Lo mau?” “Why not, ngisi waktu luangkan? Gua lebih suka have fun.” “Yah, gua sama dia, ngobrolnya nyambung, nice, dia open minded. But, dia bukan tipe untuk dijadiiin pasangan menurut gua. Dia juga bilang nggak mau komitmen gitu.” “Lo sama dia udah tidur?” Anja mengangguk, “Iya, udah kemarin.” “Wow, kok bisa? Baru kenal, lo dan dia langsung bobo bareng?” Juliet speechless menatap Anja, ia aja masih takut untuk tidur dengan pria. “Awalnya sih ngobrol-ngobrol aja. Bahasan kita tentang kerjaan, kerjaan kelar udah tanda tangan semua deal. Topik utama kita ngobrol tentang FWB gitu, udah tukar pikiran.” “Setelah itu dia udah deal dengan harga gue, tanda tangan kesepakatan, dia ambil dalam jumlah banyak. Gue kasih dia vocer nginap di hotel, dia minta temenin ngobrol di kamar.” “Terus.” “Gua sebenernya nggak mau nanggepin, tapi gimana ya. Dia klien gua, yaudah gua iyain aja. Ngobrol-ngobrol, you know lah apa yang terjadi gua sama dia di kamar hotel.” “Setelah tidur bareng, dia nggak ngasih kabar lagi nggak?” “Enggak.” “Ya, terserah lo lagi sih. Tapi lo hati-hati aja, jangan baper.” “Nekat nggak sih gua gini?” Tanya Anja. “Nekat sih emang,” ucap Juliet, ia memakan saladnya hingga habis tidak tersisa, setelah itu ia menyesap coffee nya kembali. “Lo sama Oscar gimana?” Anja mengubah topik pembicaraan. “Gitu-gitu aja, enggak gimana-gimana. Tapi gua semalam nggak sengaja kissing gitu sama Oscar?” “OMG! Itu kemajuan yang pesat. Gua salut sama lo, lo sekarang udah berani,” timpal Anja hampir memekik, ia pikir Juliet akan trauma tidak akan pernah dekat apalagi berani mencium pria lain. Itu merupakan hal luar biasa, berarti mentalnya sudah pulih. “Terus, terus,” Anja ikut bahagia mendengar kabar ini. “Enggak sengaja, kebawaan di ancol sepi, ditambah suasana adem aja. Cuma sebentar aja sih, enggak gimana-gimana.” “Cuma ciuman bentar nggak berasa apa-apa kali, enggak ada hot-hot nya,” timpal Anja terkekeh. “Yah, kalau lo mah beda. Lo yang bahaya.” Anja lalu tertawa, “Udah dewasa juga, yaudahlah. Kalau ada apa-apa nanti juga akan tanggung jawab sendiri,” ucap Anja. Anja menarik nafas, “Lo ada ketemu klien hari ini?” “Enggak, lusa gua ada dua. Sekarang sih tenang, santai aja, palingan ngerjain laporan,” Anja memakan cakenya. Suara ponselnya bergetar, Anja dan Juliet teralihkan dengan suara ponsel itu. Mereka melihat kea rah layar ponsel di sana tertera nama, “Pak William Calling”. “Barusan di omongin, udah nelfon aja,” ucap Juliet. Anja tertawa, “Iya nih, panjang umur si William.” “Angkat dong, jangan dilihatin,” Juliet tertawa. “Ya ampun, ada apa ya dia nelfon?” “Palingan kangen, ngajakin lunch terus bobo bareng.” “Ah, lo, tau aja,” Anja tertawa cekikian. “Benerkan?” Anja menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga, “Iya, halo,” ucap Anja, ia menyandarkan punggungnya di kursi, sambil memandang Juliet yang sedang makan dengan tenang, wanita itu menahan tawa. “Morning, Anja.” “Morning juga, pak.” William menyandarkan punggungnya di kursi, ia menyungging senyum akhirnya ia bisa mendengar suara wanita ini lagi. “Kamu lagi apa?” “Saya lagi breakfast dengan teman saya.” “Di mana?” “Di Le Quartier,” ucap Anja. William menyungging senyum, “Padahal tadi saya mau ngajak kamu brunch. Nanti malam kamu sibuk nggak?” Tanya William. “Enggak sih. Kenapa?” “Saya ngajak kamu dinner.” “Hemmm.” “Saya jemput kamu di kost ya.” Anja menarik nafas, “Iya.” “Sampai ketemu, nanti malam.” Sambunganpun terputus begitu saja, Anja meletakan ponsel di meja. Ia melirik Juliet yang hanya menyungging senyum. “Ngajak ketemuan?” “Iya, malam ini dia ngajak dinner gitu.” “Yaudah, pergi aja.” “Gua harus gimana?” Tanya Anja, ia memakan cake nya lagi. “Jalani aja lah. Lo kayak kesenengan gitu sama William.” “Ih, lo kok tau sih.” “Ekpresi wajah lo nggak bisa bohong Anja.” Anja tertawa geli, “Dia lumayan kok, tipe gue banget.” “Inget, jangan sampai hamil aja, biar nggak panjang urusannya.” “Setuju sama lo.” Juliet menatap Anja, ia tahu bahwa sahabatnya itu tidak ingin menikah. Ia sudah masa bodoh dengan pertanyaan kepan menikah? Kenapa kita harus menikah? Dia sebenarnya sangat cantik, tapi dia sedikit egois. Banyak teman sekantor menaruh hati padanya, namun wanita itu abaikan begitu saja. Dia tidak ingin terlibat apapun di kantor, karena ketika di kantor ia fokus untuk kerja. Sekarang dia bercerita dia menjalani hubungan FWB dengan kliennya. Ia sebagai sahabat tentu saja memberi masukan, dan meminimalisir kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, ia harus memberitahu Anja, agar tetap aware dengan dirinya sendiri. *** Setelah breakfast dengan Anja, Juliet kembali ke kantor seperti biasa. Ia mengerjakan laporan-laporan yang sudah diperiksa oleh sekretarisnya. Ia menatap ke arah layar leptopnya, ia melihat katalog-katalog fashion yang sebentar lagi rilis. Beberapa ia fokus dengan semua pekerjaanya. Jujur ia senang, akhirnya ia bisa terjun langsung di dunia fashion. Target utamanya saat ini adalah pasar online, produk fashion merupakan produk terlaris setiap tahunnya. Ini sudah menunjukan, kebutuhan produk fashion di Indonesia semakin tinggi. Ia tahu bahwa produk fashion ini kemungkinan gagal bisa terjadi. Namun ia tetap ingin mencoba. Ia sudah dikelilingi oleh orang-orang yang tepat, ia juga sudah mengadakan riset product, trend pasar, cek tren media social, survei konsumen, target pasarnya dan buyer persona. Tidak hanya itu ia juga lihat competitor bisnis, ia juga mempelajari product competitor seperti apa. Mengunjungi website competitor, mengunjungi media social, review, membandingkan harga, akhirnya terciptalah bisnis plan. Kini sudah terstruktur dengan baik. Persiapan dan anggaran modal sudah dipersiapkan. Dan kini mempersiapkan produt yang ia inginkan. Ia sudah membuat signature style, ia memiliki style khas tersendiri, desainnya cukup sederhana namun memiliki khas yang kuat. Ini sangat berkaitan dengan jenis kain, warna kain dan motif. Pekerjaanya semua sudah ia selesaikan. Ia mendengar suara ponselnya bergetar, “Papa calling.” Ia meletakan laaporannya di atas meja. Ia menggeser tombol hijau pada layar. “Iya, pa,” ucap Juliet. “Nanti malam kamu bisa ke rumah kan?” Tanya papa. “Bisa pa. Ada apa pa?” Tanya Juliet. “Kita udah lama nggak makan malam bareng.” Seketika ia teringat tentang Rose, “Ada Rose nggak pa?” Tanya Juliet, jujur ia merasa tidak enak setiap kali. “Katanya dia mau flight ke luar negri malam ini.” “Hemmm, yaudah kalau begitu. Nanti Juliet ke sana.” “Papa dan mama tunggu kedatangan kamu.” Juliet melihat jam menggantung di dinding menunjukan pukul 12.10. Ia melihat notifikasi masuk ke ponselnya, ia menyungging senyum, tertera nama Oscar di sana. Oscar : “Saya sudah di lobby kantor kamu.” Juliet dengan cepat membalas pesan singkat itu. Juliet : “Oke, saya akan turun ke bawah.” Juliet menutup layar leptopnya, ia mengambil tas kerjanya. Ia beranjak dan melangkah menuju pintu. Ia melihat sekretarisnya masih di ruangannya. Ia melangkah keluar dari pintu, ia menatap para karyawan sudah berhamburan keluar dari kubikel. Ia melihat ada beberapa karyawan tersenyum dan menyapanya. Juliet masuk ke dalam lift, dan lift membawanya ke lantai dasar. Pintu lift terbuka, ia memandang Oscar di sana. Pria itu tersenyum dan ia pun tersenyum balik. Ia mendekati Oscar, mereka akan lunch di sekitaran kantor saja “Gimana kerjaan kamu?” Tanya Juliet. “Baik. Kamu bagaimana?” “Baik juga, jalan dengan lancar,” Juliet dan Oscar melangkah menuju lobby. “Makan di sekitaran sini aja ya.” Oscar dan Juliet masuk ke gerai Goobne Chiken merupakan salah satu restoran Korea. Mereka duduk di salah satu table kosong di ujung sana, karena hampir semua table sudah penuh diisi para pekerja di saat jam makan siang. Mereka memesan goobne galbi yang ½ porsi isinya tujuh dan chicken fried rice with volcano sauce. Tidak butuh lama akhirnya makananpun tersaji di meja. Oscar menatap Juliet, dia terlihat cantik seperti biasa. Oscar mencicipi ayam gobne galbi, ayamnya enak, dagingnya empuk, saus galbinya gurih. “Enak nggak?” Tanya Juliet. “Enak,” ucap Oscar, ia memakan dengan tenang. “Kamu pernah dengar kasus KDRT nggak?” Tanya Oscar membuka topik pembicaraanya. “Kenapa?” Tanya Juliet. “Tanya aja.” Juliet menarik nafas, “Pernah sih, denger langsung dari sekretaris saya.” “Ceritanya bagaimana?” Tanya Oscar penasaran, ia hanya menganalisis KDRT itu seperti apa, ia terlahir dari keluarga harmonis, bahkan jarang ada pertengkaran. Orang tuanya juga sering liburan keluar negri, Leon dan dirinya, mendapat kasih sayang full. Ia tidak pernah merasakan broken home, jadi ia tidak memiliki riwayat hidup tentang bagaimana perceraian dan KDRT sejak lahir. Ia hanya ingin tahu apa yang di alami Luna. Biasa kasus-kasus seperti ini, semuanya hampir sama seperti orang kebanyakan. “Bukan saya sih yang ngalamin tapi ibu dari sekretaris saya.” “Terus.” “Sekretaris saya cerita, kalau dari sebelum cerai ibunya kerap mengalami KDRT. Sampai ceraipun masih diancam pakai parang, pisau dan mau bakar rumah, di lempar handphone, sampai mau dibunuh. Akhirnya kasus ini sekretaris saya melaporkan ayahnya ke polisi, tidak peduli dicap sebagai anak durhaka. Akhirnya dia benar-benar menyeret ayah kandungnya sendiri ke Penjara. Katanya “saya tidak butuh dia, selama ini ibu saya hidup tanpa dia baik-baik saja”. Selama ini ayahnya tidak berhenti menyakiti ibunya, ia tidak akan menganggapnya sebagai ayah.” “Saya turut prihatin atas kejadian menimpa sekretaris kamu.” “Saya mendengarnya juga turut prihatin, deep banget. Kayaknya KDRT lebih parah, tidak hanya mental saja yang rusak tapi fisik juga. Life is choice and God give us free will,” ucap Juliet. “Iya kamu benar.” “Saya kenal beberapa wanita yang merupakan korban KDRT keputusan akhirnya ya cerai, kalau tidak cerai bisa-bisa dihajar terus.” “Kalau KDRT tersebut harus melapor ke mana?” Tanya Oscar. “Menurut saya, lapor kepolisian setempat. Biasanya mereka memiliki unit kasus menanganan KDRT. Jangan lupa disertai bukti adanya kekerasan, baik secara fisik maupun surat keterangan pemeriksaan RSU atau dokter.” “I see,” Oscar mengangguk paham, akhirnya ia bisa mencari jalan keluar untuk Luna. “Kenapa? Siapa yang kena KDRT?” Tanya Juliet to the point. Oscar menarik nafas, “Teman saya, namanya Luna. Tadi malam dia kabur dari rumahnya. Dia mengalami KDRT, wajahnya lebam, punggungnya terluka, bahkan kata Steven kemungkinan tangannya ada yang retak.” “Oh God, kasihan sekali. Di mana dia?” Tanya Juliet penasaran. “Ada di rumah saya, saya serahkan sama bibi untuk mengurusnya di rumah. Dia benar-benar sangat kasihan. Steven melihat itu dia juga iba, katanya jika kondisi tubuh Luna masih demam hingga besok, Luna akan dibawa ke rumah sakit.” “Boleh saya lihat?” “Ya, tentu saja boleh. Saya menceritakan ini karena takutnya kamu salah paham, karena saya bawa wanita ke rumah. Saya pure memang bantu dia?” Juliet tertawa, “Kamu aneh aja deh, ya enggak lah. Saya juga nggak ada hak untuk marah kepada kamu kan kalau kamu mau bawa wanita ke rumah. Aku bukan siapa-siapa kamu.” “Tapi tetap aja, takutnya kamu cemburu,” ucap Oscar terkekeh, ia memakan ayamnya lagi. “Dia nggak punya pakaian. Kamu bisa bantu dia bawa pakaian. Dia pakai daster bibi.” Juliet mengangguk, “Nanti saya bawain, untuk teman kamu.” “Orang tuanya tahu nggak dia kabur dari rumah?” Oscar mengedikan bahu, “Saya nggak tau, Luna juga belum cerita sama saya. Saya juga belum bertanya apapun masalahnya. Saya ingin bertanya, tapi kayaknya nggak bisa.” “Mungkin jika dia cerita sesama wanita seperti kamu, hatinya lebih terbuka dan tenang. Biasa sesama wanita seperti itu kan?” “Iya, kamu benar,” ucap Juliet. “Ketemu sama Luna mau nggak?” “Malam ini kayaknya nggak bisa, besok pagi aja saya ke rumah kamu.” Alis Oscar terangkat, ia menyungging senyum, ia bersyukur ada Luna di rumahnya. Dengan adanya Luna tambatan hatinya dengan suka rela datang ke rumahnya. “Iya, besok juga Steven pasti ngecek keadaan Luna.” “Siapa suaminya?” “Setahu saya, pejabat, orang penting di negri ini. Nanti Luna pasti akan cerita sama kamu.” “Keluarganya?” Oscar mengedikan bahu, “Saya nggak tau, Juliet. Saya bahkan belum ngobrol apa-apa sama dia. Lihat kondisinya seperti itu saya saja nggak tega ingin bertanya.” Juliet tertawa, “Dasar kamu ya.” “Makanan kamu habisin,” ucap Oscar. “Iya.” Oscar menatap Juliet, “Makasih ya, kamu udah mau bantu Luna.” “Iya, sama-sama.” “Kamu akrab sama dia?” “Enggak, hanya sebatas kenal saja. Dulu pernah beberapa kali ketemu saat reuni, saling sapa, bertukar ponsel sesama teman. Yaudah gitu aja, enggak terlalu kenal juga. Semalam habis nganterin kamu, dia hubungin saya, menangis meminta pertolongan. Saya langsung menolong dia, saya bawa ke rumah, dia hanya nangis dalam diam sepanjang perjalan dan saya juga tidak bertanya kenapa. Yang pasti dia mengalami KDRT.” “Semoga dengan adanya kamu. Luna bisa menceritakan apa yang telah terjadi padanya.” Juliet mengangguk, “Iya.” “Untuk sekarang saya biarkan dia istirahat. Lagian Steven sudah memberinya obat.” Oscar dan Juliet, kembali makan dan mereka menghabiskan makanan yang tersaji di meja. Setelah makan siang mereka kembali ke kantor. Oscar menatap Juliet ketika berada di depan lobby, ia meraih jemari itu. “Kamu yang semangat kerjanya.” Juliet mengangguk, “Iya, kamu juga.” Oscar mengelus puncak kepala Juliet, ia mencondongkan wajahnya, namun Juliet dengan segera menahannya. Matanya melotot memperingati Oscar. “No, ramai karyawan,” gumam Juliet. Oscar tertawa geli, “Hanya cium pipi, bukan cium bibir kamu.” “Sama aja, banyak CCTV tau.” “Jadi, kalau berduaan aja boleh?” Juliet tertawa, “Kamu, ya.” Oscar tertawa, ia meraih jemari lentik Juliet, ia kecup punggung tangan itu, “Kamu masuk ke dalam.” “Iya.” Juliet melangkahkan kakinya masuk, ia menatap Oscar masih menunggunya. Ia melambaikan tangan kepada pria itu. Akhir-akhir suasana hatinya bahagia, karena setiap hari ia bisa bersama Oscar. Rasanya sangat luar biasa. Kini ia telah menemukan seseorang sepesial, dan mampu membuatnya merasa nyaman. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN