HAPPY READING
***
Oscar menghentikan mobil di pelataran rumah. Ia menghidupkan lampu dasbor sehingga ia dapat melihat wajah Luna. Mereka saling menatap satu sama lain, Oscar melihat ekpresi wajah Luna. Wanita itu hanya diam.
Oscar tidak bertanya apapun hanya menatap ekpresi wajah sedih di sana. Ia tidak akan bertanya apapun tentang kehidupanya. Ia mematikan lampu dasbor, dan lalu keluar dari mobil, begitu juga dengan Luna.
Luna menatap bangunan rumah bertingkat di sana, rumah milik Oscar terlihat sangat arsi. Halamannya luas dan tertata rapi. Ia tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, hingga akhirnya ia meminta bantuan Oscar. Bagaimanapun ia ingin waras dan sadar, tidak akan menghabiskan laki-laki yang ia tahu kapan tiba-tiba akan memukulnya.
Luna melangkah mengikuti langkah Oscar masuk ke dalam rumah. Sekujur tubuhnya rasanya sangat sakit luar biasa, hingga rasa sakitnya melewati rasa sakit mentalnya. Ketika ia masuk ke dalam, ia mengedarkan pandangan di d******i warna putih. Rumahnya tampak tenang, ia tidak melihat satu fotopun sang pemilik rumah di sana. Dinding polos berwarna putih itu hanya terdapat lukisan abstrak hitam putih sebagai pemanis.
Jujur, sebenarnya ia tidak terlalu kenal dengan Oscar, entahlah kenapa ia meminta bantuan tersebut. Ia tidak bisa mempercayai keluarganya lagi setelah apa yang ia alami bertahun-tahun. Ia benar-benar meminta bantuan kepada orang asing, pilihannya jatuh kepada Oscar, karena ia menyimpan kartu nama yang terselip di tas lama nya.
Ia sebenarnya tidak mepercayai semua orang, mentalnya benar-benar di rusak oleh suaminya. Ia harus mengambalikan dignity dirinya. Ia harus selalu mengingat bahwa ia sangat berharga dan patut di hargai. Ia masuk ke dalam, ia melihat Oscar menghidupkan lampu. Rumah ini tertata sangat baik dan sangat nyaman.
Oscar menarik nafas, memandang Luna tidak jauh darinya, ia melihat secara jelas wajah cantik dan penuh lebam tersebut. Ia tahu bagaimana sakitnya fisik itu.
“Duduklah,” ucap Oscar, mempersilahkan Luna duduk di sofa keluarga.
“Saya akan bangunkan bibi, buat bantu bersihkan badan kamu dan membuatkan teh hangan. Hanya bibilah satu-satunya wanita di rumah ini, yang memiliki pakian wanita.”
Luna mengangguk, “Iya, terima kasih,” ucap Luna.
Oscar menatap Luna duduk di sofa, sementara Oscar melangkah menuju ke ruangan belakang. Tempat tinggalnya dan bibi, emang terpisah, kamar bibi ada di belakang. Ia tahu bahwa bibi pasti sedang beristirahat karena dia menjaga rumahnya dengan baik.
“Bi, bi, tolong saya bi,” ucap Oscar.
Beberapa detik kemudian, lampu rumah kecil yang ada di belakang rumahnya itu menyala. Ia menatap bibi keluar dengan wajah khas bangun tidur.
“Eh, pak Oscar, ada apa pak? Maaf bibi tadi tidur,” ucap bibi, ia melirik di dinding menunjukan pukul 01.20 dini hari.
Oscar menarik nafasnya, “Bisa bantu saya?”
“Bisa pak, bisa. Ada apa pak?” Tanya bibi.
“Ikut saya, saya butuh bantuan bibi,” ucap Oscar.
Bibi melangkahkan kakinya mengikuti Oscar dari belakang. Bibi masuk ke ruang keluarga, ia menatap seorang wanita yang sedang duduk di sofa. Ia tidak tahu siapa wanita itu, namun yang ia lihat wajah cantiknya penuh lebam dan sudut bibirnya terluka. Tidak hanya itu tangannya juga ada beberapa yang terluka.
“Luna, ini bibi. Nanti bibi yang akan bantu kamu. Untuk sementara, kamu istirahat di sini terlebih dahulu. Kamu tidur di kamar tamu. Kamu jangan sungkan minta bantuan apapun sama bibi.”
“Bi, tolong Luna ya. Dia teman saya dulu SMA, dia tamu saya.”
“Baik pak.”
“Mari non Luna, saya antar ke kamar,” ucap bibi ramah.
Luna mengikuti langkah bibi menuju lantai atas, sementara Oscar memperhatikannya hingga wanita masuk ke kamar tamu, memastikan semua baik-baik saja.
Setelah itu Oscar masuk ke dalam kamarnya. Ia membuka kancing kemeja, dan ia simpan di keranjang kotor. Ia masuk ke dalam kamar mandi, dan membersihkan wajahnya.
Ia menatap pantulan di cermin, ia tiba-tiba memikirkan Luna, ada apa sebenarnya dengan wanita itu? Apa yang telah terjadi dengannya. Ia tahu betapa pedihnya luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya jika terkena air.
Seketika ia tersenyum mengingat bagaimana ia Juliet menciumnya tadi, dan rasa rindu wanita itu terucapkan begitu saja. Juliet tetap berada di hatinya, ia pastikan bahwa Juliet dalam pelukannya lagi. Betapa bahagianya ia, saat wanita yang ia cintai mencintainya juga.
***
Sementara di sisi lain Luna masuk ke dalam kamar. Ia menatap ada tempat tidur berukuran queen size di sana. Tempat tidur itu terlihat rapi, dengan saprai berwarna putih. Di sana ada lemari pakaian, meja hias dan TV flat berukuran sedang. Kamar tamu yang menurutnya lumayan nyaman untuk di tempati. Ia menatap bibi tidak jauh darinya.
“Maaf Non. Non kena apa, badannya lebam gini?” Tanya bibi.
Luna menatap bibi, bibirnya kelu ingin mengatakannya, namun ia tetap perlu menjawab, agar tidak bertanya-tanya, dan apa yang terjadi dengannya.
“Di pukul sama suami saya bi,” ucap Luna.
“Astaga, jadi non kena KDRT?” Ucap bibi.
Luna mengangguk, “Iya bi. Saya minta tolong sama Oscar tadi, lalu Oscar bawa saya ke sini,” Luna menyimpan ponselnya di meja, ia merasakan ketenangan berada di sini.
“Pak Oscar emang baik banget non. Selama bibi kerja di sini, bapak nggak pernah marah sama bibi.”
“Iya, bi, saya tahu Oscar memang baik sejak dulu.”
Bibi menatap Luna, memperhatikan sekujur tubuh Luna, “Sakit non?”
“Lumayan, bi.”
Bibi menatap Luna, sepertinya wanita itu kesusahan membuka dress yang dia kenakan, “Sini bibi bantu.”
Luna mengangguk, “Iya,” ucap Luna. Luna menatap bibi membantunya melepaskan dress nya.
Bibi membantu Luna melepaskan resleting dari belakang, “Non nggak bawa baju?”
“Enggak bi.”
“Mau pakek daster bibi ya non.”
“Iya, bi, boleh.”
Bibi melihat punggungung mulus Luna di belakang penuh lebam, ia akui wanita yang dibawa oleh majikannya ini sangat cantik. Namun ia marasa kasihan dengan kondisi wanita ini. Suaminnya sungguh sangat tega telah melakukan hal ini.
“Mandi air hangat ya non?” Tanya bibi.
“Iya, bi.”
“Handuknya udah bibi siapin. Bibi ambilin pakaian buat non.”
“Terima kasih bi,” ucap Luna setelah pakaiannya semua terlepas, ia masuk ke dalam kamar mandi.
Luna memandang bibi keluar dari kamar dan sementara dirinya, perlu membersihkan tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya perih luar biasa terkena air. Namun rasa pedih itu terasa biasa saja, tidak sebanding dengan rasa sakit mentalnya. Setidaknya ia berada di sini ia merasa aman dan tidak ada dalam ke takutan. Mungkin besok ia akan menceritakan kepada Oscar apa yang terjadi dengannya.
Beberapa menit berlalu akhirnya Luna sudah menyelesaikan mandinya. Ia menatap dirinya di cermin. Wajahnya ada lebam dan bibirnya terluka. Di tangan dan punggungnya juga ia merasakan sakit teramat sangat. Ia melihat bibi masuk ke dalam kamar, membawa dua daster untuknya.
“Ini non pakaiannya.”
“Terima kasih ya, bi.”
“Sama-sama, non.”
“Non sekarang istirahat aja, udah malem.”
“Baik bi.”
“Yaudah non, selamat malam.”
“Selamat malam juga bi.”
Luna membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia memejamkan mata, ia akan melupakan sejenak ketakutan-ketakutan yang ada di dalam dirinya. Ia tahu bahwa ia tidak akan menemukan pelangi jika ia terus-terusan menunduk.
***
Keesokan harinya,
Oscar membuka matanya secara perlahan, ia memfokuskan penglihatannya. Ia mengubah posisi tidurnya menyamping, menatap ke arah jendela, ia melihat langit sudah terang menyinari kamarnya. Ia mengambil ponsel di nakas, ia menatap ke arah jam digital di layar, menunjukan pukul 07.20 menit.
Ia menggerakan otot tubuhnya beberapa detik, lalu menyibak selimut. Ia duduk sebentar untuk memfokuskan pikirannya. Ia teringat semalam tentang Luna, ia menyelamatkan Luna di sini. Oscar meraih ponselnya lagi, ia ingin Steven membantu melihat keadaan Luna.
Oscar menekan tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga. Beberapa detik kemudian ponsel itu terangkat.
“Iya, Oscar,” ucap Steven di balik speaker ponselnya, ia berada di meja makan, bersiap untuk sarapan.
“Lo di mana?” Tanya Oscar.
“Di rumah, ini lagi breakfast.”
“Lo bisa ke rumah nggak?” Tanya Oscar.
“Kenapa?”
“Ada Luna di rumah. Wajah dan tangannya kayaknya banyak yang lebam.”
“Luna siapa?”
“Ada temen gue dulu SMA. Lo tau Luna Nicole, beberapa tahun lalu runner-up putri Indonesia.”
“Hemmm, terus,” sebenarnya ia tidak tahu siapa Luna Nicole, karena ia tidak memiliki waktu untuk sekedar tahu siapa pemenang putri Indonesia beberapa tahun lalu.
“Semalam Luna minta bantuan gue untuk nyelamatin dia dari KDRT, kayaknya dia kabur gitu dari rumah. Fisiknya penuh luka dan lebam, katanya dipukul oleh suaminya. Lo bisa ke sini sekarang? Lihat kondisi Luna?”
Steven mengangguk paham, “Oke, nanti gue ke sana sebentar lagi,” ucap Steven, ia menyesap kopinya.
Sambunganpun terputus, Oscar kembali menatap ke arah layar ponsel. Ia menyungging senyum memikirkan Juliet. Apa kabarnya dia? Apakah dia bisa tidur setelah ciuman panas mereka kemarin? Oscar mencari kontak Juliet. Setelah itu ia letakan lagi ponsel itu di telinganya.
Ia menunggu hingga sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya, “Iya, halo,” ucap seorang wanita di balik speakernya.
“Kamu lagi apa?” Tanya Oscar, sejujurnya ia masih merindukan Juliet.
“Saya baru selesai mandi. Kamu lagi apa?” Tanya Juliet, ia menyungging senyum, sebenarnya ia cukup bahagia ketika Oscar menghubunginya secara intens, hatinya seolah bersorak-sorai bahagia. Setelah kejadian semalam, apa yang ada di isi kepalanya semua terungkap.
“Saya baru bangun tidur. Bagaimana tidur kamu? Nyenyak nggak?” Tanya Oscar.
Juliet tersenyum dan mengangguk, setelah ia meluapkan apa yang ada di dalam pikirannya, hatinya sangat lega, “Iya, nyenyak. Kamu bagaimana?” Tanya Juliet, ia melangkah mengambil handuk kecil di walk in closet, ia mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Nyenyak juga. Mau breakfast bareng nggak?” Tanya Oscar.
Juliet menyungging senyum, “Kebetulan Anja lebih duluan ngajak saya breakfast. Bagaimana kalau breakfast di ganti dengan lunch atau kita makan selesai pulang kerja,” ucap Juliet, ia mengakui kalau dia sebenarnya suka berlama-lama dengan Oscar. Di dekat Oscar ia merasa nyaman dan sangat tenang.
Oscar tersenyum, “Yaudah, nanti kita lunch bareng di Bottega Ristorante. Nanti saya jemput kamu.”
“Jangan, ketemuan di sana aja.”
Oscar tertawa, “Ok. Kamu breakfast di mana sama Anja?”
“Di Le Quartier.”
“Oke, kamu hati-hati.”
“Iya.”
Oscar mematikan sambungan telfonnya, setelah menelfon Juliet hatinya sudah tenang kembali. Ia beranjak dari duduknya. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Ia melepaskan semua pakaiannya, dan ia mandi dengan air hangat. Hubungannya dengan Juliet semakin dekat, dan interaksi mereka semakin hangat. Setelah berciuman hubungannya semakin baik. Bahkan ini sudah mengalami kemajuan yang pesat, ia tidak akan pernah menolak lagi ajakannya.
***
Oscar keluar dari kamar, ia menatap bibi sedang berada di kitchen. Bibi menyadari kehadirannya.
“Pagi pak,” sapa bibi, memandang majikannya yang sudah tampak rapi, mengenakan kemeja biru muda dan celana slim fit hitam.
“Pagi juga bi,” ucap Oscar, ia tidak mendapati Luna.
“Luna bagaimana bi?” Tanya Oscar.
“Tadi sih, bibi lihat masih ada di kamar. Katanya mau mandi,” ucap bibi.
“Luna sudah sarapan?”
“Belum pak.”
Oscar melihat jam menggantung di dinding menunjukan pukul 08.30 menit. Ia mendengar suara bell, ia yakin yang datang itu adalah Steven.
“Biar saya saja yang buka bi. Itu teman saya,” ucap Oscar, ketika melihat bibi hendak melangkah ke pintu utama.
Oscar membuka hendel pintu. Ia menatap Steven sedang berdiri di hadapannya. Pria itu mengenakan kemeja putih dan celana berwarna hitam. Rambutnya tertata rapi. Oscar bersyukur bahwa Steven hadir di sini, ia hanya ingin Steven mengecek kondisi Luna.
“Masuk lah,” ucap Oscar.
“Luna itu temen kamu?” Tanya Steven.
“Iya, temen SMA. Gue lihat kondisi dia memprihatinkan.”
“Kenapa nggak minta bantuan keluarga sih? Masih ada keluarga kan di Jakarta?”
“I don't know, maybe she has a reason, why not contact his family.”
“Mungkin sih.”
Steven menyeimbangi langkah Oscar, ia mengedarkan pandangannya kesegala area tidak ada seorang wanita di sini kecualli bibi,
“Di mana dia?” Tanya Steven.
“Di kamar tamu,” ucap Oscar.
Mereka melangkahkan kakinya menuju tangga. Kini ia tiba di depan kamar tamu, ia mengetok pintu. Pintu lalu seketika terbuka. Ia memandang Luna di depan daun pintu, mereka saling berpandangan satu sama lain. Raut wajah itu terlihat tenang dan lebih baik, di banding dengan keadaanya semalam.
“Hai, Luna, bagaimana keadaan kamu?” Tanya Oscar, ia menatap Luna mengenakan daster batik.
“Lebih baik,” ucap Luna, ia memandang seorang pria di samping Oscar. Ia tidak tahu siapa pria itu di tangannya dia menenteng tas kerja.
“Oiya, ini temen saya Steven. Dia dokter, Steven akan cek kondisi kamu.”
Luna tidak menyangka bahwa Oscar sesigap ini kepadanya. Pria itu sangat memperhatikan dan tahu apa yang dia butuhnya. Ia merasakan badannya tidak nyaman sejak semalam, namun ia tetap menahannya agar tetap terlihat kuat dan tegar. Ia sebenarnya enggan merepotkan Oscar. Ia mengangguk dan mempersilahkan pria itu masuk.
Steven memperhatikan wajah wanita bernama Luna. Ia akui bahwa wanita itu sangat cantik, pantas saja dia memenangkan kontes kecantikan di negri. Tidak hanya itu tubuhnya tinggi ideal kulitnya putih bersih, sehingga lebam dan memar terlihat jelas.
Luna duduk di sisi tempat tidur dan Steven duduk di samping Luna, ia memperhatikan ada lebam di wajah sebelah kiri dan di dekat plipis. Warna lebam itu sudah berubah kebiruan dan ungu gelap, berarti Luna mengalami ini sudah 1 hingga 2 hari. Tidak hanya itu bibirnya sedikit robek. Ia memperhatikan tangan Luna, di sana juga ada luka lebam dengan warna yang sama. Ia yakin di tubuhnya yang lain juga ada.
“Apa dibagian tubuh kamu ada yang sakit lagi?” Tanya Steven.
Luna mengangguk, “Ada,” ucap Luna.
“Ada di punggung sebelah kiri, dia memukul saya di sini dengan sapu.”
Steven berusaha tenang, ia ingin menggeram, bisa-bisanya ada seorang suami yang tega seperti itu. Ia tidak menyangka ada pria yang memperlakukan tidak baik dengan wanita cantik ini, ia tahu bahwa wanita ini mengalami KDRT.
“Tangan saya bahkan tidak bisa di angkat seperti ini,” Luna mencoba memperaktekan kondisi tubuhnya, dia mengangkat tangannya.
“Saya mau lihat kondisi tubuh kamu yang di belakang,” ucap Steven.
Luna mengangguk, “Iya,” ia memunggungi Steven dari belakang.
Steven menatap resleting di sana, ia melirik Oscar, pria itu seakan memperyai diirnya untuk memeriksa keadaan Luna secara menyeluruh. Ia menarik resleting itu. Beberapa detik kemudian ia melihat ada memar di sana, ia yakin betapa sakitnya di hantam sebuah balok di sana.
Steven menutup kembali resleting itu lagi setelah memeriksanya, ia menarik nafas. Luna lalu berbalik menatap Steven.
“Saya mencurigai adanya retak tulang. Saya harap kamu menjalani rontgen atau CT scan.”
Steven mengambil senternya di dalam tas, ia lalu memeriksa bagian mata Luna, untuk menguji gerak mata, ia melihat ada pupil mata yang sedikit cedera efeknya mata wanita itu memerah,
“Untuk bagian mata, sebaiknya periksa periksa ke dokter spesialis mata untuk pemeriksaan lebih mendalam,”
“Nanti saya minta cek ke dokter spesialis mata, guna mencari kemungkinan luka atau benda asing masuk ke mata.”
“Perih kan?” Tanya Steven.
Luna mengangguk, “Iya, sedikit.”
“Badan kamu juga lagi panas,” ucap Steven memeriksa kondisi tubuh Luna yang sedikit hangat, ia tahu bahwa ini diakibatkan luka memar dan perih yang di deritanya.
“Untuk sekarang saya kasih obat mengurangi rasa nyeri, dan saya kasih obat oles untuk luka memar agar mempercepat penyembuhan. Nanti kamu oles 3-4 kali sehari, minta bantuan bibi.”
“Kalau kondisi besok masih demam, masih nyeri hebat, atau ada pembengkakan parah, segeran kasih tau saya.”
“Baik.”
Steven menyerahkan obat-obat itu kepada Luna. Luna mengucapkan terima kasih kepada Steven.
“Istirahatlah, jangan terlalu banyak beraktivitas.”
“Terima kasih dokter,” ucap Luna.
“Kamu jaga kesehatan, kalau ada apa-apa nanti kamu kasih tau bibi, suruh telfon saya,” ucap Oscar.
“Baik.”
Setelah itu Oscar dan Steven keluar dari kamar. Ia sudah memeriksa semua keadaan Luna, memang sangat memprihatinkan. Mereka menuruni tangga,
“Bi, nanti suruh Luna makan ya.”
“Baik pak.”
“Kalau ada apa-apa dengan Luna, tolong kabari saya.”
“Baik pak.”
Oscar dan Steven melangkah menuju pintu keluar karena mereka berdua akan pergi kerja setelah memeriksa keadaan Luna. Oscar memandang sahabatanya.
“Kondisi Luna bagaimana?” Tanya Oscar.
“Kita lihat besok, kalau tubuhnya masih demam, kita langsung bawa rumah sakit.”
“Oke.”
“Suaminya bagaimana?” Tanya Steven penasaran.
Oscar mengedikan bahu, “Gue nggak tau, yang penting Luna sembuh dulu. Kasihan kondisi fisik dan mentalnya di hajar habis-habisan.”
“Kenapa Luna nggak lapor polisi?”
“Gue juga nggak tau.”
“Siapa sih suaminya?” Tanya Steven penasaran.
“Pejabat negara.”
“Really?”
“Yes. Kamu ketik nama Luna di beranda google, nanti lo akan tahu siapa suaminya.”
Steven menarik nafas, “Lo mau bareng nggak berangkatnya?”
Oscar tertawa, “Rumah sakit lo dan kantor gue beda arah men.”
“Semalam itu, pacar lo?” Tanya Steven penasaran, sebelum ia meninggalkan rumah Oscar.
Oscar tersenyum penuh arti, “Calon pacar.”
“Kayaknya nggak asing deh, mirip mantan lo dulu si Rose.”
“Ya, emang nggak asing. Kan dia saudarannya Rose.”
Alis Steven terangkat, seketika jaringan otaknya terkoneksi dengan cepat, ia lalu tertawa, “Jadi yang sama lo kemarin itu kakak atau adiknya Rose.”
“Kakaknya.”
“Wow, amazing.”
Oscar tertawa, “Kenapa?”
“Lo putusin adiknya, lalu lo embat kakaknya?”
“Kalau gue cintanya sama kakaknya, gimana?”
Steven lalu tertawa, ia menepuk bahu Oscar, ia tidak menyangka bahwa Oscar mencintai saudara mantan kekasihnya, “Gila, gua nggak nyangka aja sih.”
Oscar tertawa, ia tersenyum, “Menurut lo gimana?”
“Gue sebagai temen, gue selalu support, asal lo bahagia,” ucap Steven.
“Thank’s man.”
“Iya, sama-sama.”
“Bayarannya bagaimana?”
Steven tertawa, “Selama lo berobat sama gue secara pribadi, gue nggak minta bayaran.”
Oscar tertawa, ia menepuk bahu Steven, “Sekali lagi Thank’s man. Yaudah, sudah waktunya kita kerja.”
“Iya.”
Oscar menatap Steven masuk ke dalam mobil BMW putih di sana, dan ia masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu mobil meninggalkan area rumah Oscar.
***