SAMUEL

1319 Kata
 Nathan berdiri di bibir kolam sebuah kafe sambil memandang layar ponselnya. Ia melihat-lihat unggahan foto di media sosial teman-temannya. Ia tidak cukup percaya diri bila harus menawarkan jasanya pada Samuel yang sudah terlihat jelas dari kalangan berada. Tentu saja, dai adalah anak tunggal pemilih perusahaan FinTech. Nathan pernah mendengar dari kedua orang tuanya bahwa Pak Ando merupakan orang yang ramah dan rendah hati. Tapi seramahnya orang pasti akan kurang percaya pada rumah mode yang baru seperti milik Sarah. Bahkan Sarah masih dalam tahap mencoba. Jadi Nathan memilih pilihan lain untuk mencari calon klien yang baru.   Di tengah pencariannya, ponsel Nathan berdering. Terlihat nama Sarah di layar ponsel Nathan. “Ada apa?” tanya Nathan sebelum Sarah memulai percakapan.   “Ini sudah siang, kenapa belum ke kantor?” tanya Sarah.   “Hah?” Nathan terlihat bingung. “Ini bukannya hari minggu?” ujar Nathan kebingungan. “Aku lagi di kafe Sar. Aku harus menenangkan pikiran. Tugas darimu sangat memusingkan tahu!”   “Hei? Kamu tinggal mencari klien, kenapa jadi susah?”   “Masalahnya tidak semudah itu Sar. Dengar, aku tidak yakin dengan orang ini. Kamu tahu, dia ini anak konglomerat. Apa kita bisa mendapatkan kontraknya?”   “Nath, jangan berfikir terlalu rumit. Ketemu, tawarkan, sudah. Kalau dia tidak mau kita cari klien yang lain, yang mau memakai jasa kita. Jangan terlalu rumit pemikiran Anda itu!”   “Ah, iya juga,” kata Nathan sambil mengangguk.   “Ya sudah, kabari aku hasilnya. Satu lagi, ini masih hari sabtu,” kata Sarah sambil memutuskan sambungan telepon.   Nathan celingukan melihat sekelilingnya yang ramai. Ia pikir itu adalah hari minggu. Ia kembali ke kursinya dan meneguk segelas kopi yang sudah disajikan pramusaji sejak 15 menit yang lalu. “Haruskah aku menelponnya? Kenapa rasanya sangat mendebarkan begini ya?” gumamnya.   Nathan sama sekali tidak mengenal Samuel sebelumnya. Ia hanya pernah beberapa kali bertemu dengan Samuel. Itu pun hanya berpapasan. Nathan juga yakin bahwan Samuel bahkan tidak pernah tahu tentang dirinya meskipun dahulu orang tua mereka pernah bertemu dan bekerja sama beberapa kali. Tapi, sekali lagi ia meyakinkan dirinya untuk menghubungi Samuel demi masa depan kariernya juga.   “Oke, akan meneleponnya.” Jari telunjuk Nathan sudah hampir menyentuh simbol telepon yang ada pada kontak telepon Samuel tapi Nathan tidak bisa melakukannya. Ia bangkit dari tempat duduknya, mondar-mandir di depan mejanya sambil menggesek-gesekkan ponsel ke kepalanya. Wajahnya terlihat frustasi, ia kemudian duduk lagi dan membuka media sosial Samuel untuk mengetahui aktivitas terbaru Samuel. Nathan melihat foto tumpukan buku yang baru saja diunggah oleh Samuel. Ia mengenali interior tempat tersebut dan bergegas menuju kesana.   Nathan menghentikan motornya di depan sebuah kafe, Library Café yang berada di Jalan Sudirman. Ia masuk kedalam dan mencari keberadaan Samuel. Ia naik ke lantai dua setelah memastikan Samuel tidak berada di lantai satu. Nathan mencari sekeliling dan pandangannya terhenti di pojok ruangan. Disana ada seorang pria yang berpenampilan biasa saja, ia memakai kaos berwarna merah dan celana jeans. Rambutnya pendek berponi dan memakai kacamata dengan bingkai warna hitam. Dialah Samuel yang dicari Nathan.   Nathan mendekati Samuel. Ia ingin menyapanya tapi ragu-ragu sampai Samuel menyadari keberadaan Nathan.   “Mau baca juga?” tanya Samuel ramah.   “Eh, iya,” kata Nathan mengangguk sambil memilih buku yang tertata rapi di rak buku yang ada di hadapannya. Lalu Nathan mengambil  buku puisi karya Sapardi Joko Damono yang bertajuk Hujan di Bulan Juni. “Boleh duduk di sini?” tanya Nathan salah tingkah. Samuel hanya mengangguk dan meneruskan bacaannya.   Awalnya Nathan hanya iseng mengambil buku itu. Ia pernah mendengar Sarah menceritakan buku tersebut dan menganggapnya angin lalu karena Nathan bukan orang yang suka membaca. Tapi saat ia membaca buku tersebut halam demi halaman, ia mulai tersentuh dan berdecak kagum yang tanpa ia sadari Samuel jadi memperhatikannya.   “Bagus ya?” tanya Samuel kemudian.   “Iya, gila! Ini buku keren banget. Romantis banget! Meskipun aku belum pernah merasakannya, tapi aku jadi bisa membayangkan apa yang ditulis disini. Kamu pernah baca juga?”   “Lumayan sering." Samuel menutup bukunya dan memperhatikan Nathan lalu berkata,  "Aku kayak pernah ketemu sama kamu. Nama kamu siapa?”   “Oh, aku Nathan, kita pernah ketemu sepertinya. Apa kamu inget Sutera Garmen? Itu milik mendiang ayahku.”   “Ah, iya, aku ingat. Berita kepergian ayahmu cukup mengejutkan. Waktu itu aku ikut melayat tapi kurasa kamu tidak ada.”   “Ya, aku kembali ke Indonesia dua hari setelah ayah dimakamkan. Oh ya, kamu sering kesini?”   “Ya, buat menghilangkan stress saja. Belakangan ini banyak sekali tekanan di kantor.”   “Ya, di kantor tidak ada yang namanya keluarga kan?” canda Nathan yang membuat mreka berdua tertawa.   “Apa yang kamu kerjakan sekarang Nath?” tanya Samuel.   “Aku bekerja di bidang fashion, ya meneruskan usaha ayahku dengan cara yang berbeda ku rasa. Tapi kami baru mulai dan atasanku sudah memberi tugas yang sulit. Kamu tahu kami baru saja meluncurkan baju ready to wear yang banyak sekali peminatnya, tapi dia malah ingin membuat gaun pengantin. Aku tidak  habis pikir.”   “Boleh aku lihat portofolionya?” tanya Samuel.   Nathan menunjukkan portofolio gaun pengantin yang dibuat oleh Sarah. Di dalam hati Nathan sangat senang karena ia hanya mengatakan apa yang sedang ia rasakan tapi Samuel malah penasaran dengan apa yang ia kerjakan. Nathan memperhatikan Samuel yang tersenyum saat melihat portofolio Sarah. Ia terpana akan senyum Samuel yang sangat tampan.   “Apa kamu ada rencana menikah Sam?” tanya Nathan basa-basi.   “Iya, tahun depan.”   “Kebetulan sekali, aku bisa merancang gaun pernikahan, bukan aku, tapi bos aku yang merancangnya.”   “Aku rasa aku menyukai rancangan bosmu. Elegan, tidak terlalu berlebihan dan menawan.” Samuel mengembalikan ponsel Nathan.   “Jadi maksudmu kamu mau memakai jasa kami?”   “Sebenarnya aku dan Sandra sudah ke beberapa desainer, tapi belum ada yang cocok karena desainnya terlalu berlebihan. Aku rasa Sandra juga akan menyukai baju yang dirancang oleh bosmu. Sebaiknya kita bertemu dengan bosmu tapi Sandra masih di Amerika, jadi mungkin hanya aku saja yang akan bertemu dengannya.”   Nathan tersenyum lebar karena telah berhasil memiliki klien untuk gaun pengantin pertama Sarah. Sebelum pulang, mereka berdua berjabat tangan dan saling menukar nomor telepon. Mereka berjanji bertemu di hari selasa untuk mediskusikan gaun pengantin dan seragam untuk keluarga.   Sesampainya di rumah, Nathan langsung menelepon Sarah. “Halo Sar, ada gunanya juga aku bolos hari ini,” ujar Natahn sumringah.   “Ada apa? Aku masih di kantor sampai sekarang gara-gara kamu!” teriak Sarah.   “Apa-apaan? Ini sudah jam delapan malam, pulang sana!” kata Nathan terkikik. Dia suka sekali menggoda Sarah, rasanya seperti menggoda kakak sendiri yang tidak dimiliki Nathan. “Kita dapat klien!” pekik Nathan.   “Hah!? Serius?”   “Iya Sar, hari selasa dia akan ke kantor untuk membahas gaun pengantin. Tidak hanya itu, dia juga mau pesan seragam untuk keluarganya dan kamu tahu ada berapa keluarganya?”   “Berapa? sepuluh?”   “Tigapuluh Sar!”   “Oh Tuhan! Kamu memang bisa diandalkan Nath. Jadi kamu besok libur saja ya.”   “Kan memang hari minggu Sar, siapa juga yang mau kerja. Ya udah, dah.” Nathan menutup teleponnya dan bergegas membersihkan badannya. Ibu Nathan sudah menunggunya untuk makan malam.   “Mama belum makan?”   “Sudah, kamu yang belum makan. Itu sop kesukaan kamu sudah mama angetin, buruan di makan, nanti keburu dingin.”   “Oke Ma. Oh iya, aku hari ini bertemu sama anaknya pak Ando. Mama ingat?”   ”Ando Bahuwirya?”   “Iya, seperti apa dia sekarang?”   “Ganteng banget Ma. Aku laki-laki saja kagum sama ketampanannya, gimana Sarah nanti kalau ketemu dia ya? Pasti Sarah bakal naksir.”   “Pasti dia mirip papanya. Dulu mama juga gitu. Untung mama sudah menikah sama ayah dan sudah punya kamu.” Canda ibu Nathan.   Malam itu Nathan dan Sarah diselubungi oleh rasa senang karena telah mencapai tujuan meskipun belum sepenuhnya. Tapi ini adalah awal yang baik, kesempatan yang dinantikan oleh Sarah. Kesempatan yang akan membawanya pada cerita yang tak pernah disangka-sangka sebelumnya.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN