AMBISI

1246 Kata
Nathan berlari ke ruangan Sarah dan menunjukkan artikel yang disebuah platform berita online dengan headline ‘Kesuksesan Desainer Muda dari London’. Saat ia melihat platform berita yang lain, hal serupa diberitakan juga disana dan membuat Sarah semakin dikenal masyarakat luas. “Ini gila banget Sar, diluar perkiraan banget. Serius, aku seneng banget Sar, kita bisa sukses. Sejak kemarin admin belum selesai balas pesan dari customer kita dan sudah puluhan yang deal,” kata Nathan sambil memandang layar ponselnya. Sarah tersenyum kecil. Ia puas, tapi ini bukanlah tujuan utamanya. “Ini baru awal Nat. kamu tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.” “Ah, iya, iya. Bagaimana kalau baju ready to wear aku yang handle?” “Kita rapatkan nanti saja. Sekarang stok baju kita tinggal berapa?” “Masih ratusan, tapi aku yakin kalau baju kita akan segera sold out.” Sarah menunjukkan rancangan baju pengantin kepada Nathan. “Bagaimana?” tanya Sarah kemudian. Nathan memperhatikan gambar-gambar tersebut dengan seksama. Nathan selalu kagum dengan gambar yang Sarah buat. “Dimana kamu belajar mengambar sebagus ini?” gerutunya. “Jika aku menjadi mempelai pria dan memilih gaun-gaun ini maka aku tidak akan memilih ketiganya. Karena baju-baju ini sangat mengembang dan aku sebagai laki-laki sangat rishi dengan hal itu Sar,” cerocos Nathan. Sarah memandang sinis pada Nathan dan kemudian menelepon seseorang, “Rina, ke ruangan saya sekarang ya, terima kasih.” Beberapa menit kemudian Rina mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan Sarah. “Ada apa Bu?” tanya Rina dengan sopan. “Jika kamu seorang calon pengantin, gaun mana yang akan kamu pilih?” Rina duduk disebelah Nathan dan mulai melihat gambar yang diberikan Nathan padanya sambil bercerita. “Seminggu yang lalu saudara saya menikah. Dia orang dari kalangan menengah atas. Dia memakai make up artis yang cukup terkenal,” “Siapa?” potong Nathan. “Kamu tahu Benny Sumba?” “Ya, aku tahu, dia dulu sering memesan kain pada orang tuaku.” Rina melanjutkan ceritanya, “Jadi menurut Benny, pengantin jaman sekarang suka sekali dengan kemewahan dan cerita dongeng Bu. Saudara saya juga seperti itu. Waku itu dia memilih tema snow white untuk pernikahannya. Tapi sayang sekali gaun yang digunakan kurang memuaskan. Beda sekali dengan gaun yang Ibu rancang ini. Ini sangat indah dan mempesona.” “See Nath?” “Memangnya Nathan tidak suka dengan rancangan ini?” tanya Rina. “Ya, kamu bisa lihat Rin.” “Dia memang tidak mengerti apa-apa Bu,” canda Rina. “Hei! Aku adik tingkat Sarah tahu!” protes Nathan. “Kalau begitu saya pamit undur diri untuk melanjutkan tugas saya Bu,” ujar Rina tanpa mengubris perkataan Nathan. Sarah mengangguk dan tersenyum simpul. Baru kali ini ada orang yang membuat Nathan bahan candaan. Dari luar Nathan memang terlihat tengil tapi sebenarnya dia sangat lembut dan penyayang. “Carikan aku klien Nath. Bilang padanya ada diskon spesial.” Nathan mengernyitkan dahinya dan mulai mengomel, “Kita bahkan baru mendulang kesuksesan. Kenapa kamu ambisius sekali?” Sarah menatap Nathan sambil memakai kacamata hitamnya dan berkata, “Jangan menunggu idemu menguap menjadi hal yang sia-sia.” Ia bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan ruangannya. Ia meninggalkan Nathan yang kini tengah sibuk mencari seseorang yang akan menikah. Nathan mulai melihat postingan di intagram teman-temannya berharap menemukan seseorang yang baru saja melamar kekasihnya. Ia teringat pada salah satu temannya yang cukup popular, Vincent. Saat melihat unggahan di media sosial Vincent, ia mendapati foto sebuah acara di pinggir kolam renang. Di foto tersebut ada seorang pria muda yang tengah berlutut dihapadan seorang wanita yang seumuran dengannya. Pria itu berpose menunjukkan kotak cincin kehadapan sang wanita. “Got you,” gumam Nathan. Nathan segera menelepon Vincent untuk mengetahui siapa pria yang ada di media sosialnya. “Vincent, ini aku Nathan.” “Hei, Nath. Kamu kerja di desainer yang lagi naik daun itu kan? Selamat ya, kalian keren. Gila aku tidak menyangka kalau acara kalian sukses besar. Waktu itu aku datang juga Nath, hanya saja aku belum edit foto-foto yang sudah aku ambil.” “Terima kasih Vin, aku pikir kamu akan lupa sama aku.” “Hei, enggak lah. Kamu itu orang baik, tidak mungkin aku lupa Nath.” “Jadi kamu sekarang merambah jadi fotografer juga? Boleh nih aku main ke studio kamu?” “Boleh banget Nath, kebetulan ini aku lagi ada di studio. Kesini aja, kita ngopi bareng. Studionya di jalan Sudirman nomor 47 ya.” “Oke, aku berangkat sekarang ya,” Nathan menutup teleponnya dan mengambil jaket yang ada di meja kerjanya. “Rin, aku ada misi khusus, kalau ada apa-apa telepon Sarah aja ya,” ujar Nathan. “Iya,” dengus Rina. Nathan memacu motornya dengan kecepatan standart 50 km/jam. Meskipun langit sudah mendung, tapi menurut perhitungan Nathan jarak dari kantornya ke studio Vincent hanyalah 30 menit saja. Kalaupun hujan mungkin saat Nathan sudah sampai di studio hujan baru akan turun. Dan benar saja, hujan turun dengan deras begitu Nathan memarkirkan motornya di halaman studio Vincent. Nathan masuk ke dalam studio dan disambut oleh petugas front office. Saat Nathan menyampain maksud untuk bertemu Vincent, ia langsung diarahkan menuju taman belakang studio. Vincent sedang berada di sana dengan teman-temannya. “Nath, apa kabar?” sapa Vincent dengan ramah. Vincent adalah teman Nathan sejak SMA. Sebenarnya mereka tidak terlalu dekat, tapi Nathan sering membantu Vincent di masa lalu. “Kamu lagi sibuk Vin?” “Enggak kok, lagi istirahat aja, ini temen-temen baru balik dari foto pernikahan di Hotel Ritz.” “Wah, proyek kamu besar-besar ya?” kata Nathan sambil duduk di sebelah Vincent. “Enggak terlalu kok Nath. Tapi lumayan lah bisa bangunan ini jadi milik sendiri, sudah tidak kontrak lagi.” Salah seorang teman Vincent meletakkan secangkir capucino di meja seraya berkata pada Nathan, “Minumnya Mas.” “Iya, terima kasih.” “Jadi gimana Nath?” tanya Vincent. “Oh iya Vin, aku ada tugas dari Sarah untuk mencari pasangan yang mau menikah. Jadi dia lagi ambisi banget buat bikin gaun pengantin. Kebetulan aku lihat di media sosial kamu ada orang yang lagi lamaran.” “Yang mana sih?” Vincent penasaran dan segera membuka aplikasi media sosial di ponselnya. “Oh yang ini?” ia menunjukkan foto tersebut ke Nathan. “Iya, bener, ini Vin. Dia siapa? Apa bisa kamu mengenalkan aku ke dia?” tanya Nathan. “Kamu tau FinTech? Perusahaan teknologi itu, dia manager disana.” “Oh, iya tahu. Dulu seragam karyawan mereka yang mengerjakan orang tua aku. Aku cukup kenal sih sama pemiliknya.” “Lah, itu kamu sudah kenal Nath.” Nathan bingung. “Bukannya yang lamaran managernya?” “Lah iya, managernya kan anak Pak Ando Bahuwirya.” Nathan kaget karena ia tidak mengenali anak Pak Ando di foto tersebut. “Sebentar, Pak Ando punya anak satu, cowok, namanya Samuel. Iya kan?” “Iya, ya ini Nath orangnya.” Vincent menunjukkan foto Samuel yang lebih jelas pada Nathan. “Astaga! Kenapa aku tidak mengenalinya. Eh, tapi aku sudah tidak punya kontak keluarga Bahuwirya Vin. “Gampang, nanti aku kasih Nath. Kita ngobrol dulu aja. Sudah lama juga kita enggak ketemu kan.” Nathan di studio Vincent sampa malam. Ia banyak bercerita tentang keluarganya dan kematian ayahnya pada Vincent. Waktu itu Vincent sedang berada di Australia jadi dia tidak tahu apapun tentang kondisi keluarga Nathan yang terpuruk. Vincent iba pada Nathan dan mengagumi Nathan yang sekarang karena ia menjadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya. Ia menjanjikan Nathan bantuan apapun untuk Nathan kedepannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN