BADAI

1039 Kata
Sarah berdiri di pinggir sebuah jembatan. Sinar matahari senja menyentuh wajahnya yang kemudian dihalangi awan mendung. Ia hanya berdiri saja disana dengan memakai dress berwarna merah. Hujan turun dan orang yang ia tunggu tak kunjung datang. Mungkin sudah satu jam ia menunggu sampai sebuah mobil melintas disampingnya dan ia melihat orang yang dia tunggu ada didalam mobil tersebut bersama seorang gadis yang asing baginya. Sarah menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba matanya terbuka dan basah. Ia terbaring di kamarnya. Rupanya itu hanyalah mimpi. Tapi mimpi itu begitu nyata bagi Sarah. Mimpi yang sering muncul dalam tidurnya. Mimpi yang ingin ia hilangkan. Mimpi yang ingin ia lupakan. Sarah menyeka air matanya dan kemudian bangun dari tempat tidurnya. Ia meneguk segelas air dan membuka laci mejanya. Disana terlihat ada sebuah kotak berwarna merah jambu. Ia mengeluarkannya dari dalam laci dan kemudian membuka isinya. Ia mengambil selembar kertas yang terlipat diatas tumpukan kertas yang lain. Kertas itu adalah kertas yang ia ambil dari sebuah buku puisi di perpustakaan kampusnya. Sarah tidak berani membuka kertas itu meskipun terlihat bekas coretan dari baliknya. Sarah hanya memainkan kertas itu dan memandanginya. Ia tak berani membuka dan membacanya karena ia takut kehilangan harapan. Ia lalu mengambil kertas lain yang sedikit usang dan kemudian membacanya. Bila hujan turun Akankah salju juga turun Ataukah tangisan yang akan muncul? Tulisan ini adalah tulisan Sarah. Waktu itu ia iseng menulis dan tak sengaja menyelipkannya di sebuah buku puisi yang ia sudah lupa judulnya. Dan saat kertas itu dibalik, ada tulisan orang lain yang berisi balasan dari tulisan Sarah. Kenapa hujan harus turun Kalau matahari tersenyum? Hanya ada senyuman dan keindahan Sarah tersenyum pahit saat membacanya dan bergumam, “Apa kabarmu sekarang?” tak terasa airmatanya jatuh lagi. Ia kemudian merebahkan dirinya dimejanya dan tertidur sampai pagi menjelang. Sarah pergi ke kantor tanpa sarapan terlebih dahulu meskipun ibunya telah membuatkan sarapan untuknya. Ibunya hanya pasrah melihat makanan yang ia buat tak disentuh oleh Sarah dan meminta ayah Sarah untuk menghabiskannya. Penampilan Sarah hari ini modis dan dinamis seperti biasanya. Ia mengenakan setelan kemeja merah jambu yang lengannya ia tekuk sampai bawah siku, celana berwarna maroon dan sepatu hak tinggi berwarna yang senada dengan kemejanya. “Ada apa dengan anak itu? Kenapa tidak mau makan?” tanya Ibu sedikit geram. “Dia itu sedang gugup Bu, masa Ibu tidak tahu watak anaknya sendiri?” tanya Ayah sambil membalik korang yang sedang ia baca. “Tentu saja aku tahu Yah, aku hanya tidak bisa kalau tidak mengomel seperti ini. Kalau begitu Ayah saja yang makan.” “Tenang saja Sayang, akan ku habiskan nanti setelah membaca koran ini. Ayah sedang membaca berita tentang virus yang menyebar di Cina, kelihatannya sangat menakutkan. Kalau begitu kita tidak boleh pergi ke luar negeri Bu.” Ibu memandang ayah dengan kesal yang mengisyaratkan bahwa mereka juga tidak akan pergi kemana-mana saat ini. Sesampainya di kantor, Sarah langsung merapikan meja kerjanya dan melakukan pengecekan portofolionya untuk kesekian kalinya. Ia sangat bersemangat untuk bertemu dengan klien spesialnya. Ia juga tak hentinya mondar mandir dari ruang kerja ke tempat produksi. Rina sampai geleng-geleng melihat tingkah Sarah hari itu. Sarah bahkan sempat tersandung kain yang baru saja dipotong oleh pegawainya. “Teh Bu,” Rina memberikan secangkir teh pada Sarah dan Sarah langsung meminumnya. “Saya baru saja menerima email dari pemasok kain yang ada di India, ada kain baru yang sedang mereka produksi. Ini satin baru yang lebih tebal tapi lebih lembut. Saya rasa akan bagus bila memakai kain ini untuk koleksi kita selanjutnya. Sayangnya masih ada lima warna saja Bu.” “Minta mereka kirim contohnya ya. Oh iya Rin, hari ini kita akan kedatangan tamu spesial. Tolong belikan cemilan dan minuman di Lovelys ya, toko kue kesukaan saya yang ada di jalan Bromo. Pesan apa saja yang menurut kamu enak.” “Baik Bu.” Rina segera membuka ponsel dan memesan kue melalui telepon dan pesanan tersebut akan segera diantar. Rina memesan enam croissant, enam macaroon, satu caramel macchiato, satu greentea, dua latte, dua ice chocolate, dua bungkus cookies untuk oleh-oleh klien, enam strawberry chocolate dan enam popcake. Entah mengapa Rina suka sekali memesan kue manis seperti itu. Sarah kembali ke ruang kerjanya. Ia merapikan rambutnya, mengikatnya ke atas. Ia mendangar pintu depan terbuka dan dengan semangatnya ia menuju kesana untuk menyambut tamunya. Ternyata itu hanyalah karyawan yang baru saja datang. Sarah melihat jam tangannya yang masih menunjukkan angka Sembilan. Ia tersenyum geli karena kebodohannya. Nathan sudah memberitahunya bahwa ia akan datang bersama dengan kliennya puku sebelas siang. Sambil menunggu klien datang, ia membuat beberapa rancangan lagi untuk koleksi musim berikutnya yang bertema edgy. Rina menyiapkan meja di ruang pertemuan. Itu adalah kegiatan kesukaannya karena Rina suka menghias sesuatu. Kue pesanannya yang telah datang ia tata dengan rapi diatas tempat kue susun berwarna pastel. Sedangkan minumannya akan disajikan nanti oleh Rina. Tak lupa ia menambahkan bunga hias di tengah meja, bunga lili, mawar dan krisan yang merupakan bunga kesukaan Sarah. Sebenarnya perasaan Sarah sedikit aneh hari itu. Ia gusar dan tak tenang, mungkin karena hari ini adalah hari yang telah lama ia nanti dan tak menghiraukannya tapi di suatu saat, ia terlihat muram yang entah apa penyebabnya. Sebuah mobil sedan keluaran terbaru terlihat sedang parker di depan kantor Sarah. Nathan keluar dari pintu pengemudi. Dengan senyum sumringahnya ia mengajak kliennya memasuki kantor. Suara pintu yang dibuka Nathan terdengar oleh Sarah. Ia bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut tamu yang datang. Terlihat Nathan berjalan di depan seorang pria. Nathan melambaikan tangannya ke arah Sarah dan mempersilahkan Samuel masuk. Wajah Samuel akhirnya terlihat oleh Sarah. Wajahnya yang tampan tersenyum lembut ke arah Sarah. Sarah tertegun, jantungnya berdegup kencang. Ia pikir ia sedang bermimpi. Tapi Samuel begitu nyata. Mereka hanya berjarak lima meter. Mata Sarah mulai berkaca-kaca. Pikirannya mendadak kosong. Dadanya terasa ingin meledak. Ia menatap Samuel yang kini sedang menalikan tali sepatu fantofelnya tanpa berkedip. Ia teringat tentang pemandangan serupa saat ia masih kuliah di kampus lamanya. Ia ingat pria yang ia kagumi, si pria kutu buku yang manis. Si pria kutu buku yang gagah. Si pria kutu buku yang sempurna baginya. Kenangan yang ia coba pendam dalam-dalam menyeruak keluar, seperti hujan, tidak, ini lebih seperti badai yang tiba-tiba. Badai yang sama sekali tidak ia sangka kehadirannya. Badai itu bernama masa lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN