Part 13 Pilihan Untuk Mencintai

1275 Kata
Bia terdiam, kedua matanya menatap pada ketiga orang di hadapannya yang juga menatapnya penuh rasa penasaran. Bia mengernyitkan keningnya mencoba mencerna kembali ucapannya ayahnya semenit sebelum itu. "Bia. Satria datang ke rumah, dia mau melamar kamu." "Melamar?" tanya Bia, ada rasa keterkejutan dalam ucapannya, tidak menyangka dan berpikir bahwa apa yang ia dengar hanya dalam mimpi namun, saat Ridho mengangguk membenarkan apa yang laki-laki itu katakan, Ridho kemudian tersenyum lalu melihat kepada Satria. Satria menarik senyumnya dan mendekati Bia setelah mendapat izin dari Ridho dan Rosita. "Sayang." Bia mengernyit menatap Satria. Bia tiba-tiba menggelengkan kepalanya. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Satria dengan bingung atas yang Bia lakukan. "Aku nggak apa-apa Satria." ucap Bia, perempuan itu terlihat tidak bertenaga saat menjawab ucapan Satria, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengelak kan sakit dihatinya, sangat terasa sesaknya. "Bia." Satria tersenyum lebar, tangannya menggenggam tangan Bia erat. Dia kemudian menatap mata Bia, perempuan yang sudah lama dia gandeng dengan status berinisial pacaran sekarang saatnya Satria membawanya ke jenjang yang lebih serius. "Bia, sayangku, cintaku. Apa kamu mau menikah sama aku, dan menerima lamaran aku?" Satria tersenyum hangat, jari tangannya mengusap lembut punggung tangan Bia. Bia mengedipkan matanya, lalu menoleh kepada Ridho dan Rosita berharap mendapatkan respon namun seolah-olah kedua orangtuanya itu acuh, dan memilih diam, menerima apa saja yang Bia putuskan. "Tapi gua nggak akan menyerah Bia, lo pantas bahagia dan yang bisa bahagiain lo cuman gua." Bia memejamkan matanya sebentar, teringat sebuah janji yang seseorang itu pernah ucapkan lantang padanya. Bia menoleh pada Satria, sekali lagi memejamkan matanya kemudian membukanya dan langsung bertatap dengan Satria. "Aku.. mau." pelan Bia membuka suaranya, sesaat Satria yang langsung berteriak dan menutup mulutnya tidak percaya. Satria tertawa bahagia, dengan sekali tarikan Satria membawa bahu Bia dalam dekapannya. Bia yang tidak kalah merasa bahagia tersenyum terharu dan menangis dalam pelukan Satria. "Sayang. Kamu kenapa?" Satria memegang wajah Bia, jarinya mengusap air mata yang mengalir di pipi kekasihnya itu. Bia terisak tidak bisa menjawab pertanyaan Satria. Dia kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan menuju kamarnya. "Ini nggak adil, nggak adil, huuaa..!" Bia terisak dalam tangisnya, tangannya memeluk erat selimut yang ada pada badannya. "Nunu.." Nama itu, nama yang membuatnya sadar akan cinta yang benar-benar tulus. Seseorang, dia laki-laki yang membuat Bia menyadari arti sebuah rasa rindu yang melebihi beratnya rindu Milia pada Dilan. Bia tidak bisa menahan laju air matanya yang membasahi bantal serta wajahnya. Bia memegang erat dadanya, rasa yang kian menyiksa. Bia merindukan sosok Nunu, merindu dia yang kini sudah berlalu pergi, dan entah kapan akan kembali. "Nunu." gumam Bia, dan tak sadar kedua matanya tertutup. Isak tangis yang perlahan terdengar mengecil, lalu dengkuran tidurnya menyapa. Di ruang makan, kedua orangtua Bia. Ridho dan Rosita menatap Satria dengan helaan napas mereka. Ridho mengusap bahu Satria. "Kamu pulang saja dulu, biarkan Bia menenangkan dirinya. Kalau sudah tenang kamu bisa lebih enak ngomong sama dia. Mungkin saja Bia masih kaget sama niat baik kamu, dan dia senang. Berdoa saja semoga benar kalian berjodoh." ucap Ridho dengan senyumnya. Satria menghembuskan napasnya, lalu tersenyum tipis. "Iya Pak. Tapi, Bapak setuju kan saya sama Bia?" pertanyaan Satria, membuat Ridho terkekeh kemudian menganggukkan kepalanya. "Bapak setuju, mamak juga setuju. Tapi.. kan yang mau menjalani hubungan serius ini antara kamu sama Bia, nah jadi jalan akhir semua ini ada ditangan Bia. Dia yang menentukan semuanya, kamu berdoa saja. Bener-bener serius sama Bia, jangan mainkan sebuah pernikahan. Bukan game soalnya, yang kalau kalah bisa restart. Paham?" Satria terkekeh, menganggukkan kepalanya kuat. "Paham Pak. Yaudah kalau begitu saya pamit pulang Pak, mak. Nanti saya kesini lagi kalau Bia udah tenang, nanti saya juga coba hubungi dia." "Iya.. Hati-hati di jalan, salam sama keluarga kamu." "Iya Pak. Saya pulang. Assalamu’alaikum." "Wa’alaikumsalam." Satria berjalan keluar dari dalam rumah tersebut, dia memasuki mobilnya yang terparkir di halaman luas rumah orangtua Bia. Mobil Satria berjalan pelan membelah jalanan desa, perlahan-lahan pun mobil itu tidak terlihat lagi. Sekarang, perempuan itu, dia yang sedang berdiri mengintip dari balik tirai jendela kamarnya, matanya memandang lesu dan sayup. "Aku terbangun karena aku dengar suara deru memacu di depan rumah. Aku pikir itu Nunu, tapi ternyata aku salah. Dia Satria, dan Satria itu kekasihku, hubungan kami sudah lama, dan kami akan menikah. Satria, kenapa hati aku tidak seperti dulu, dia bahkan tidak sedikitpun bereaksi saat kamu ucapkan kata itu, kata dan pra kalimat yang sudah sejak dulu aku tunggu. Melamar aku, dan dulu aku selalu memegang dadaku yang berdetak hanya karena aku berhalusinasi mendengar kata itu darimu. Tapi ini, seperti mati rasa, sedikitpun tidak bergerak, bahkan sekedar menggerakkan sekecil saja tidak. Ada apa? Apa ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang belum aku ketahui dari kamu?" Bia lalu menutup tirai nya, dia berjalan melangkah dan duduk di kasur tempat tidurnya. Bia menghela napasnya pelan. Bia menatap pintu kamarnya yang diketuk entah oleh siapa. Bia dengan langkah cepat mendekati pintu, membukanya dan terlihat Rosita yang berdiri di depannya dengan senyuman, ibunya yang ternyata mengetuk kamarnya. "Mamak." Rosita tersenyum, tangan perempuan dewasa itu lalu mengusap kepala Bia. "Bia, apa ada masalah nak? Coba cerita sama Mamak." ucap Rosita dengan senyum hangatnya. Bia menggigit bibirnya kuat, antara takut dan juga ingin sekali bertukar curhat pada Rosita. "Nggak apa-apa. Kalau kamu belum mau cerita, Mamak paham kok. Kamu bingung kan pasti, kamu berada dalam pilihan yang sulit. Satu sisi kamu mencintai Satria, satu sisi Nunu mencintai kamu. Mamak dan Bapak tidak ingin ikut campur, ini masalah perasaan kamu, yang Mamak sama Bapak inginkan bahagianya kamu, kamu lebih ingin dicintai apa mencintai. Semua ditangan kamu, kamu mau lanjut sama Satria bahkan mau dan menerima penuh lamaran dia, Mamak sama Bapak dukung dan merestui. Dan kalaupun kamu menolak Satria, karena kamu memiliki rasa entah itu suka satu cinta pada Nunu, Mamak sama Bapak juga dukung, dan akan merestui kalau kamu menyukai Nunu. Bahkan kalau Nunu serius, Mamak sama Bapak tidak keberatan kalau kalian nanti menikah." ucap Rosita menjelaskan semua pada Bia, dan usapannya tidak pernah berhenti mengusap kepala Bia. Hingga sebuah isak tangis terdengar dari bibir Bia, Bia dengan erat langsung memeluk Rosita. "Bia tidak tahu mak, Bia bingung.." "Sabar ya sayang. Kalau Mamak sih, lebih sama Nunu, hehe. Tidak, kamu yang pilih kok bukan Mamak. Mamak kebagian cucunya saja nanti." Bia tertawa kecil saat Rosita yang berbicara seperti itu sembari terkekeh. "Bia jujur, Bia punya rasa sama Nunu. Tapi sayangnya rasa ini baru terlihat saat Nunu pergi. Dan ini yang bikin Bia nggak yakin apa ini benar sebuah perasaan atau hanya rindu, karena Bia selalu sama dia." "Itulah. Kamu selalu mengelak saat rasa datang, seharusnya kamu bisa membuka sedikit hati kamu. Ya, Mamak tahu hati kamu milik Satria, tapi tidak ada salahnya kalau kamu kasih Nunu kesempatan. Siapa tahu ternyata perasaan cinta kamu sama Satria itu cuman sementara atau palsu, sedangkan rasa yang datang dan kamu tolak terus-menerus dan ternyata itulah rasa cinta dan tulus dan bisa berada dan miliki hati kamu sepenuhnya, dia punya kamu, kamu punya dia." Bia cemberut, kepalanya lalu mengangguk kecil. "Semua sudah terlambat." "Hum.." Rosita menggelengkan kepalanya. "Mamak rasa tidak terlambat." "Maksudnya Mamak?" Rosita tersenyum kemudian menggenggam tangan Bia. "Nunu, dia akan kembali lagi ke desa ini. Lama sih tapi dia katanya ngomong sama Bapak, saat dia kembali dia akan langsung melamar kamu. Dan dia tidak peduli bahwa kamu masih pacaran sama Satria. Mamak sama Bapak saat itu cuman ketawa saat dia bilang gitu. Tapi dia menyakinkan bapakmu, dan bapakmu bilang datang saja ke sini dan buktikan bukan cuman bisa bicara. Dan kamu tahu apa yang Nunu katakan.." "Apa? Jangan dipotong dong ucapannya Mamak, Bia penasaran." Rosita tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Dengan kuat dia bilang, saya mencintai Bia, puteri Bapak. Dan saya akan kembali dengan sebuah mahar 5 juz Al-Qur’an." "Apa..!?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN