Bab 5. Ikatan Hati

1403 Kata
Hening. Arka duduk di trotoar jalan, tak tahu harus ke mana saat ini. Pikirannya kacau karena ulah saudara kembarnya yang menyebalkan itu. Pun mamanya yang mulai bertindak tanpa peduli tentang hatinya. "Gue main ke rumah Eunha aja, deh." Saat beranjak, sebuah taksi berhenti di depannya. Lisa muncul dari sana, kini berada tepat di hadapan Arka. Wanita yang membuat jantungnya berdetak kencang seperti ini. Lisa-nya Devan. "Wajah kamu kenapa?" tanya Lisa. Saat Lisa hendak menyentuh pipi Arka, tangannya ditepis. Jelas pria itu tak nyaman di sekitar orang-orangnya Devan. "Gue Arka, bukan Devan," tegas Arka. "Iya, aku tau. Aku minta maaf soal itu." "Maaf, segitu mudahnya?" "Trus, aku harus gimana?" Cantik. Arka justru menggila dengan sisi manis gadis itu. Garis bibirnya tertarik ke kiri, lantas berkeliling sembari menyilang lengan di d**a. "Gue akan maafin lo, tapi lo harus cium gue!" perintah Arka. Lisa sangat canggung mendengarnya. Tentu Arka hanya mengerjainya saja. Terbata, gadis itu bertanya lagi, "Harus cium, ya?" Arka tersenyum jahil. Lantas menjauh dari Lisa. "Ya udah kalau nggak mau, gue pergi!" Arka berjalan dengan langkah mundur. Wanita itu pun terkejut saat sepeda motor melintas tajam dari tikungan. "Arkana!" Lisa menarik lengan Arka hingga mereka jatuh ke sisi trotoar. Untungnya, Arka dengan sigap menjadikan punggungnya sebagai tempat pendaratan. Hal itu justru menimbulkan kesan canggung karena bibir Lisa menempel di pipi Arka. "Maaf," kata Lisa, segan. Keduanya duduk dengan ekspresi wajah malu. Pria itu menggaruk tengkuknya, Lisa menunduk sambil menggigit bibir. Canggung mengisi detik yang bergulir. "Kenapa lo beneran cium gue?" geram Arka, malu. "Aku nggak sengaja, Arkana." "Genit." Lisa tersenyum kecut. Kejadian yang menyakitkan itu disaksikan oleh Eunha. Setelahnya, dia pergi dari tempat itu. Apa haknya untuk cemburu? Dia hanya seorang mantan kekasih. Mantan yang Arka bahkan tak bisa menyatakan haruskah mereka kembali, atau melepaskan hubungan lama yang pernah terjalin. "Apa-apaan mereka?" Di sana, Arka menolong Lisa bangkit sambil membersihkan jaketnya. Suasana canggung meski jantung memiliki irama yang sama. "Lo cari Devan, 'kan? Dia ada di rumah, kok. Temui sana!" "Iya." Arka pun segera pergi ke rumah Eunha yang jaraknya tak jauh dari rumah Wijaya. Setibanya di sana, wanita itu sedang duduk malas di teras rumah. "Hei, Eunha!" Tak ada sahutan, Eunha melengos ke sisi lain. "Kenapa tampang lo cemberut gitu? Nggak asik banget." "Kenapa? Lo nggak suka? Dari dulu, cewek kayak gue ini memang bukan tipe lo, kan?" "Apaan, sih? Kenapa jadi sensitif gitu?" Eunha hendak masuk, tapi tangannya dipegang oleh Arka. Tentu dia tak memahami maksud dari kemarahan sang mantan kekasih saat ini. "Ada apa? Gue punya salah?" "Lo itu-" Gerombolan sepeda motor masuk ke pekarangan rumah Eunha. Jelas tertera logo kalajengking di tiap sepeda motor itu. Scorpion. Musuh Arka dari arena balap liar. "Leon!" rutuk Arka. Leader dari Genk itu membuka helm dan mendekati Arka. Leon Winata. Pria tinggi tegap itu menunjukkan bias congkak saat akan berhadapan dengan Arka. "Long time no see, Arkana!" "Ada perlu apa lo nyari gue, Leon? Ngajak gue duel lagi? Masih nggak percaya kalau lo memang nggak sehebat gue di arena?" "Telan semua kesombongan lo itu," kesal Leon, lalu bersiap dengan pasukannya untuk menghakimi sang black angel ini. "Guys, hajar!" Hanya sesekali Eunha bisa mengandalkan dirinya. Selepasnya, mereka berjuang sendiri. Arka sekuat tenaga melawan para berandalan jalanan itu. Meskipun mampu bertahan, keduanya tentu tak bisa mengalahkan para Scorpion yang teramat brutal. "Arka!" Mereka menyeret Arka dan Eunha ke dalam kontrakan. Lantas dilempar ke satu ruangan sempit yang lebih mirip gudang. Beberapa dari Scorpion mulai bertindak dengan mengunci jendela dan ventilasi yang ada. Rencana licik itu pun diluncurkan. Leon memulai aksinya. Dia melepaskan gas dan mengunci ruangan. Perlahan, asap mulai mengepul menyesakkan d**a. "Arka! Bangun, Ka!" Dua tawanan ini tak bisa melarikan diri lagi. Arka masih setengah sadar, belum membuka mata meski Eunha menggoncang tubuhnya. Dia bahkan tak mendengar jelas tawa para Scorpion saat melepas gas ke ruangan. Mereka dikunci dan selanjutnya, kawanan Scorpion meninggalkan TKP. "Ka, kita harus pergi dari sini." Eunha tak berdaya membuka pintu. Dia menangis melihat Arka yang sudah hampir pingsan. Mereka bisa mati jika terlalu lama dikurung tanpa oksigen. "Ka, lo denger gue, kan?" Arka bertahan sebisanya, seraya mengeratkan jemari di dadanya. Tak ada yang bisa dia mintai tolong saat ini selain Devan. ‘Tolongin gue, Kak.’ Ikatan Hati. Arka yakin, ikatan batin yang masih terjalin antara dia dan saudara kembarnya itu takkan mungkin hancur begitu saja oleh rasa benci. Dia berharap, Devan datang menolongnya. Di sisi lain, Devan bangkit dari posisi berbaringnya. Sayup-sayup, dia mendengar panggilan sendu yang menelusup batin. Dia berjalan dengan nada tergesa-gesa. Sekalipun sudah menelan obat pereda itu, wajahnya masih tampak pucat karena insiden iblis yang dilakukan Arka terhadapnya. "Kamu mau ke mana, Dev?" tanya Lisa. Sesekali, Devan memegang d**a kirinya, menahan sakit. Namun, rasa khawatir itu seakan menambah kadar keberanian dalam dirinya. Dia tak peduli dengan rasa sakit yang masih bersarang di dadanya. Lisa terus membuntuti dan menghentikan taksi di depan rumah. Tujuannya adalah rumah kontrakan mantan kekasih adiknya itu. "Ini rumah siapa, Dev?" "Eunha, mantan Arka yang kemarin itu." “Tau dari mana? Kamu mata-matain Arka, ya?” Tak ada jawaban. Tertatih, Devan mencari keberadaan Arka. Asap putih keluar dari celah pintu di sudut. "Dev! Kamu lagi sakit!" tahan Lisa. Devan tak sempat berpikir panjang. Dengan tenaga tersisa, dia mendobrak pintu dengan bahunya. Devan merasakan nyeri karena menghantam pintu itu. Usahanya gagal. Dia pun mundur selangkah dan mulai menendang pintu. Beberapa kali dicobanya. Lisa justru sangat cemas dengan kondisi Devan saat ini. "Adikku pasti di sini." Tendangan terakhir membuka pintu. Terlihat Eunha dan Arka berada di lantai dengan luka lebam di wajah mereka. Keduanya hampir tak sadarkan diri karena lemas menghirup gas terlalu lama. "Astaga!" Lisa mendekati Eunha yang masih setengah sadar. "Eunha, ini aku. Lisa." Arka dalam kondisi kritis. Bukan hanya lebam, pun harus keracunan karbondioksida dalam kondisi lemah. ‘Bertahanlah, Dek!’ Lisa puas menatap sejuta kepedulian Devan terhadap Arka. Bagai sebuah tamparan bagi Lisa karena sempat percaya ucapan Eunha bahwa Devan begitu membenci saudaranya. Lalu, apa yang dilihatnya sekarang? Tanpa mempedulikan kondisi jantung yang bisa saja membuat dia collaps karena kelelahan, Devan tetap membawa Arka di punggungnya. Lisa juga memapah Eunha agar mereka segera membawa Arka dan Eunha ke rumah sakit. "Lo harus baik-baik aja, Ka!" * ‘Bangun, Ka! Jangan bikin gue takut!’ Dering ponsel terdengar, tepat di ruang rawat salah satu rumah sakit ternama di sisi kota Jakarta. Dering ponsel milik Devan. Sudah tiga jam waktu berlalu sejak Arka dan Eunha dilarikan ke rumah sakit. Saat ini, Devan dan Lisa hanya menunggu mereka siuman saja. Devan mengangkat ponsel-nya, siap menghadapi kecemasan mamanya. "Ya, Ma." "Kamu di mana, Dev?" sahut mamanya dari seberang telepon. "Mama telepon kenapa nggak diangkat? Kamu ke mana, Sayang? Mama khawatir sama kamu." Devan melirik sesaat pada Arka. ‘Saat ini, yang harusnya Mama khawatirkan itu Arka, putra bungsu Mama. Bukan aku.’ “Dev!” "Aku lagi di rumah Lisa, Ma. Mungkin malam ini, aku nggak pulang. Maaf, Ma. Aku baik-baik aja. Mama jangan khawatir. Dia cuma takut sendirian di rumah. Boleh, ya, Ma?" "Tapi-" "Percaya sama aku, Ma. Aku baik-baik aja." "Baiklah. Besok pagi langsung pulang, ya! Untung aja Papa masih di Taipei." Panggilan diakhiri. Dia pun mendekat ke kasur Arka. Memeriksa detik sampai Arka kembali membuka mata. "Sebaiknya, kamu istirahat aja di sofa, Lis." "Ya. Kamu nggak apa-apa, kan, Dev?" Detik berlalu, Lisa terkejut saat tangan Eunha yang digenggamnya mulai bergerak. "Eunha udah sadar, Dev." Devan menjauh dari kedua ranjang itu. Mereka masih cemas dan menunggu Arka terbangun dari alam bawah sadarnya. Devan bersandar di dinding, melipat kedua tangannya di d**a. Tak ingin terlalu menunjukkan kepedulian pada mereka. "Eunha, kamu udah baik-baik aja, kan?" tanya Lisa seraya mengusap sisi pelipis gadis tomboy itu. Perlahan, Eunha membuka mata. Dia menatap ranjang Arka yang ada di sampingnya. Teringat kembali insiden mengerikan itu. "Arka belum siuman, Lis?" "Belum." Detik dan menit pun berlalu. Akhirnya, Arka lelah bermimpi. Perlahan, semburat cahaya dari alam bawah sadarnya mulai tampak di pandangan. Matanya terbuka dan mendapati langit-langit ruangan berwarna putih. Arka menyentuh pelipisnya yang masih terasa nyeri akibat pukulan jitu dari leader genk Scorpion, Leon. "Arka? Gimana? Masih sakit?" cemas Eunha. Arka sedikit mengangkat kepalanya. Lisa segera mendekat dan membantu Arka untuk duduk di atas kasur. Tatapannya tepat menuju wajah Devan, di depannya. Namun, dia lebih dulu menatap Eunha yang tersenyum padanya, di sisi kasurnya. "Kalian yang bawa kami ke sini?" tanya Arka. "Iya. Kamu tau, Ka? Tadi itu Devan-" "Masih hidup juga, lo!" Gurat khawatir Devan tadi dengan cepat berubah menjadi aura dingin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN