Bab 4. Perselisihan

1604 Kata
Sudah hampir satu jam mereka di toko buku. Dari kejauhan, Devan melihat Lisa, gadis yang disukainya itu menatap satu per satu deretan buku dari rak yang berdiri kokoh. Suasana sendu toko buku yang sedikit sunyi. Wajah Lisa memang selalu menimbulkan detak cinta di hati Devan. Gadis itu menatap deretan buku music di sana. Saat sebuah buku menarik perhatiannya, lantas ingin meraih buku itu. Namun, ketika hendak menggapai, tangan seseorang bertabrakan dengannya dan mengurungkan niat Lisa untuk meraih buku itu. Seseorang juga berminat pada buku yang sama. "Ya udah, buat kamu aja," seru Lisa. Gadis itu tak lain adalah Eunha. Si cantik berambut ikal sebahu itu tersenyum sungkan. "Serius, buat aku aja?" "Iya." Karena menunggu terlalu lama, Devan menghampiri Lisa. Pria itu menggamit segera lengan sahabatnya ini. "Masih lama, Lis?" tanya Devan. "Udah, kok." Tanpa Devan ketahui, gadis yang berbicara dengan Lisa itu tak lain adalah Eunha, mantan kekasih adiknya. Ini pertama kalinya Eunha bertemu Devan. Namun, dengan cepat dirinya menebak bahwa memang di hadapannya ini bukanlah Arka yang dikenalnya. Bukan hanya dari tampilan fisik, aura wajah Devan memang sangat dingin, jauh berbeda dari Arka yang selalu hangat dan ceria sekalipun hatinya rapuh. "Lo Devan, kan?" seru Eunha. "Lo kenal gue?" "Iyalah! Gara-gara lo dan bokap lo, orang yang gue sayangi selalu menderita," kecam Eunha. "Lo siapanya Arka?" tanya Devan, bias wajah sinis tak lekang darinya. "Gue Eunha, mantan pacarnya Arka." Mendengar hal itu, gegas Lisa segera memegang lengan Eunha, berniat ingin menelisik lebih jauh rahasia di kembar Wijaya ini. "Bisa kita bicara sebentar, Eunha?" pinta Lisa, lalu menoleh pada Devan. "Dev, tunggu sebentar, ya! Setengah jam lagi, jemput aku di Purple Cafe." Lisa mengajak Eunha pergi ke Purple Cafe. Dia ingin mengetahui lebih jelas tentang Arka, sosok saudara kembar Devan yang tersembunyi yang sejak tadi mengganggu pikirannya. "Aku aja tau kalau mereka saudara kembar itu baru pagi tadi. Parah banget si Devan. Aku itu udah kenal sama dia sejak SMU. Ya, walaupun 3 tahun ini, aku tinggal di Taipei. Tapi selama kami berteman, dia nggak pernah nyinggung soal Arka." "Devan dan bokapnya itu sama aja, bisanya cuma nyakitin Arka. Om Frans itu benci Arka cuma karena kondisi lemah Devan. Arka tumbuh besar di Bandung dengan tantenya, Tante Fira. Om Frans dan Tante Wendi benar-benar orangtua yang kejam." Lisa mendengarkan ungkapan kesal Eunha sambil memainkan segelas chocolate puff dengan sedotan. "Sebelum aku pergi ke Taipei, aku sempat bolak-balik ke rumah Om Frans, tapi aku nggak nemuin satu identitas pun tentang Arka di rumah itu, Eunha." "Ya iyalah! Setelah Arka lulus SMU, bokapnya maksa dia kuliah manajemen, padahal dia suka banget musik. Akhirnya dia justru kuliah kedokteran. Setelah tau keputusan berontak Arka itu, Om Frans makin marah. Sejak itu, Arka cari uang sendiri untuk kuliahnya yang super mahal itu dari hasil nge-trek." "Nge-trek?" "Ya, karena itu yang paling logis untuk ngumpulin uang dalam jumlah banyak secara instan. Setelah Om Frans tau Arka terjun ke dunia hitam itu, dia ngusir Arka atas permintaan Devan. Sejak saat itu, Arka tinggal di rumah tukang kebunnya di samping istana megah Keluarga Wijaya itu." Lisa tertegun mendengar cerita kelam di balik eksistensi pria bernama Arkana itu. ‘Hatinya terbuat dari apa, Tuhan? Di saat semua rasa sakit itu datang ke hidupnya, gimana dia masih bisa tersenyum seindah itu? Kenapa dia masih bisa nunjukin raut wajah yang ceria dan hangat?’ Lamunan Lisa buyar saat Eunha menyentuh lengannya. Mengalihkan atensinya segera. "Kamu sendiri, siapanya Devan? Kamu pacarnya, Lis?" "Enggak. Aku sama Devan cuma temen, kok." Eunha hanya tersenyum dan menikmati makanan yang mereka pesan. Lisa justru terjebak dalam sensasi pikirannya. ‘Aku justru tertarik sama Arka-mu, Eunha. He's my first Crush. Apa setelah ini, aku masih bisa bicara dengan dia lagi?’ Dari kejauhan, Devan memperhatikan dua gadis cantik itu. "Mereka pasti bicarain Arka. Jangan bikin gue jadi benci sama lo, Arka. Lo nggak akan sanggup nanggung kebencian dari gue." Devan pergi saja, menunggu beberapa menit lagi untuk menjemput Lisa. * Ketika hari senja, Arka menyelinap ke rumah Keluarga Wijaya. Dia tersenyum menatap kamar lamanya. "Kangen banget gue sama kalian, Guys!" Biola di atas meja itu menerbitkan senyumnya, lantas mendekati benda itu. "Biola gue!" Arka terkejut saat pintu kamar dibanting. Devan muncul dengan bias marah. "Ngapain lo di sini?" sinis Devan. "Kenapa? Kamar-kamar gue, suka-suka gue, lah!" "Kamar lo? Seingat gue, rumah ini beserta isinya itu milik bokap gue!" sinis Devan, pongah. "Bokap lo? Apa dia bukan bokap gue?" "Menurut lo? Dia memang bokap lo, tapi sayangnya, lo sama sekali nggak berarti apa-apa buat dia. Cuma sampah dan parasit!" "Lo-" "Kapan lo nyadarnya, sih? Kenapa? Masih ngarep dan ngemis-ngemis cinta dari bokap gue?" Amarah Arka mulai terpancing. Saudara kembarnya ini selalu saja menciptakan hawa panas saat mereka bertemu. "Kenapa lo selalu sinis sama gue?!" kesal Arka. "Karena lo udah merebut semuanya! Lo yang ngerusak semuanya!" "Gue?! Bukannya elo, Dev? Bokap, nyokap, rumah ini, kasih sayang mereka, apa lagi? Apa lagi yang lo tuntut dari gue?" pekik Arka, meninggi. Devan tak lantas menjawab. Tatapannya berubah sendu. Mundur selangkah, menikmati tatapan kemarahan sang adik. 'Lo ngerusak semuanya, Ka. Lo merebut kepercayaan gue kalau lo akan setia sama gue. Dulu lo sedih saat harus ninggalin gue, tapi gue rasa lo bahagia karena nggak terbebani sama gue lagi.’ Arka melempar biolanya ke kasur. Dia segera mencengkram sisi kemeja Devan. "Kenapa, Dev? Lo nggak bisa jawab?" Devan tersenyum sinis, lalu berkata, "Jangan pernah berpikir untuk merebut Lisa dari gue!" "Gue nggak sepicik itu." Devan menepis tangan Arka. Dia mengambil biola itu, membantingnya ke lantai hingga rusak. Mata Arka membeliak karena benda kesayangannya itu dirusak semudah itu oleh saudaranya ini. Arka sangat geram. Lantas mencengkram kerah kemeja Devan dan membanting saudaranya itu ke dinding. Devan mulai merasakan sakit menjalari punggungnya. Meski sakit, bias wajahnya tak ingin menunjukkan sisi lemahnya. "Mau lo apa, sebenarnya?" ancam Arka. Hampir saja tinju Arka melayang ke wajah Devan. Lantas, dia segera menahannya, menarik mundur genggam jemarinya sendiri. "Kenapa? Ayo, pukul gue! Emang itulah kualitas lo! Anak yang nggak pernah dididik orangtuanya. Kekerasan selalu jadi cara lo untuk nyelesaiin masalah, 'kan?" olok Devan. Saat Devan terus menyulut emosi Arka, sisi evil di dalam diri Arka pun terpancing. Dia tersenyum sinis, lalu bergumam, ‘Tenang aja. Gue nggak akan bikin lo terluka. Gue pengen lo mati dengan cara lo sendiri!’ Tak ada sahutan lagi, Arka menjauhi Devan, membias sinis dengan mulut terkunci rapat. "Kenapa diam aja?" tandas Devan, si sulung. Arka menjauh dan bersedekap. Mereka siap dengan hujan kebencian di hati masing-masing. "Gue ini anak kedokteran. Gue dididik untuk nyembuhin orang, bukan untuk membunuh. Lagian, gue nggak akan mau ngotorin tangan gue, karena cepat atau lambat, lo juga bakalan mati, kan?" Arka tertawa meremehkan. Dia menepuk pipi Devan seraya berujar, "Cepatlah pergi dari dunia ini, Pangeran Kenichi!" Amarah Devan memuncak dan terus memukuli Arka. Sepanjang itu, Arka justru tertawa puas. Saat terhempas ke lantai pun, dia duduk dan melebarkan senyum evilnya. Pukulan Devan tentu saja tak terasa sakitnya, tapi hal itu justru menyakiti Devan saat ini. ‘Dasar bodoh! Kontrol emosi lo, Bro! Kalau nggak, hormon adrenalin lo akan naik dan memicu detak jantung lebih cepat dari batas normal. Harusnya lo paham keadaan jantung lo sendiri. Lo ngerti maksud gue, kan? Selamat tinggal, Pangeran!’ Mahasiswa kedokteran ini tahu jelas kondisi jantung kakaknya. Dengan memancing emosi Devan, hanya akan menimbulkan rasa lelah dan kondisi jantungnya mengalami pembengkakan. Tak lama, Devan terhenti, memegang d**a kirinya yang merasakan sakit dan nyeri yang begitu hebat. Wajahnya mulai pucat, keningnya mengerut menahan sakit. Berulang kali dia menarik napas panjang, derunya terdengar berat. Dia pun bersandar di dinding. Matanya tampak merah, berair, dan menahan sakit. Hanya menatap Arka yang justru mengurai senyum iblis, tak sedikit pun peduli kalau dirinya hampir collaps. Arka menatap tajam, melipat tangannya di d**a. Garis bibirnya tertarik ke atas, tersenyum kaku. Rasa benci dan kesal dalam hatinya seolah dia keluarkan dan puas melihat keadaan Devan seperti ini. Erang saudaranya itu tak mengusik nuraninya. "Gimana rasanya? Sakit, kan? Apa menurut lo, rasa sakit itu sama persis dengan sakit hati gue karena perlakuan bokap lo? Kalau iya, silakan lo nikmati rasa sakit itu, Kakak!" Tangan Devan mulai gemetar karena rasa sakit itu tak tertahankan. Bahkan lebih sakit saat tak ada rasa kasihan di sinar mata Arka padanya. Devan terus menghentak pintu berulang. "Ma!" teriak Devan. Dengan tenaga tersisa, Devan berusaha memanggil mamanya. Dia takut kehilangan kesadaran karena ketidaksempurnaan organ jantungnya itu akan menimbulkan rasa sakit yang bisa saja menghilangkan nyawanya. Arka enggan peduli. Sejenak, dia berbalik hendak meninggalkan Devan. "Dek." Panggilan teduh Devan menghentikan langkah Arka. Namun, si bungsu belum berbalik. "Gue nggak pernah minta perhatian Papa. Kalau gue bisa milih, gue pengen jadi lo. Bebas, bisa ke mana aja. Gue bahkan takut jatuh cinta. Gue takut bahagia. Gue takut jantung gue berdetak kencang dan bikin gue sakit sendiri. Gue pengen seperti lo, Ka. Gue cuma pengen tetap hidup." Ucapan penuh rasa cinta Devan seolah menyadarkan Arka, mengusir iblis jahat yang merasuki pikirannya sejak tadi. Dia berbalik menatap Devan, kakaknya itu sudah semakin tak bisa menahan sakitnya. Terdengar jelas di telinganya suara Devan mengerang kesakitan. "Maafin gue, Dev." Tak lama, Mama Wendi muncul. Saat melihat rasa sakit Devan kambuh saat bersama Arka, maka salah paham pun takkan terelakkan. "Devan!" cemas beliau. Arka takut mamanya justru marah padanya. Detik beriring saksi akan tamparan yang kali ini justru datang dari mamanya. Mama yang selalu membelanya, tanpa bertanya lebih dulu, beliau menuduh Arka yang memulai keributan lagi. "Jadi ini, hah? Mama dengar ribut-ribut dari dapur, ternyata kamu berniat celakain kakak kamu sendiri, Ka?" pekik Mama Wendi dengan suara meninggi. "Nggak, Ma, nggak gitu." "Keluar, kamu!" Arka tak bisa membantah lagi dan pergi dari kamar. Takkan ada yang mendengarkan apa pun pembelaan yang dia berikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN