Mobil-mobil bermerk mahal tampak berjejer di pelataran rumah Keluarga Wijaya. Langkah kaki orang-orang ternama itu masuk secara beratur memenuhi ruangan yang megah.
Tepat malam ini dirayakan ulang tahun ke-28 Devan serta pertunangannya dengan Lisa, teman semasa SMU-nya.
Arka berdiri mematung di depan pintu masuk.
'Gue pengen ketemu lo, Dev. Happy birthday,' batinnya.
Tak ingin sebuah pesta, yang diinginkan Arka hanyalah bertemu dengan Devan. Dia pun kembali masuk ke rumah sederhananya. Ada kotak kecil dan notes di atas meja.
"Sok misterius banget, sih!"
Arka membuka notes itu dan membacanya. Tulisan tangan Devan.
Dear, Arkana.
Ini surat teraneh yang pernah gue buat. Jadi jangan pernah lo ketawain gue. Kalau lo niat ketawa, lo boleh buang ini ke tong sampah. Eum, happy birthday, sahabat gue tercinta. Sahabat? Gue harap lo nggak merasa asing dengan sapaan itu.
Kita pernah bersahabat, kan? Selama kurang lebih 9 bulan 10 hari, kita pernah bersahabat di uterus Mama kita. Kita pernah berbagi makanan dan napas bersama. Mungkin selama waktu itu, kita mengukir cerita indah di sana. Kenapa? Terlalu fantasi, kan? Oke, lupakan!
Persahabatan yang dimulai sejak trimester pertama, persahabatan yang begitu lama terjalin hingga akhirnya kita menyambut dunia, lalu kenapa persahabatan itu usai? Gue nggak ngerti, Ka. Entah takdir apa yang digoreskan Tuhan pada kita.
Kenapa takdir ini begitu nggak adil, Ka? Kita saling iri dan benci satu sama lain. Gue tahu, ada begitu banyak milik lo yang gue rebut. Wajar kalau lo iri sama gue. Tapi, apa lo tau gue justru ingin seperti lo? Kenapa? Lo pikir gue bodoh? Gue serius.
Gue iri dengan hal sederhana yang lo miliki, tapi nggak pernah gue punya walau semua yang ada di dunia ada dalam genggaman gue. Gue iri akan kesehatan lo, iri akan kebebasan lo. Gue pengen jadi lo, Ka. Sedetik aja gue ingin terlahir sebagai Arkana Kenjiro Wijaya. Ya, itu mustahil.
Gue punya satu cerita buat lo. Kemarin, waktu gue jalan-jalan di taman kota, gue liat ada anak kembar yang main sepeda bareng. Meskipun si adik terus terjatuh, tapi kakaknya terus semangat bantuin dia. Ada senyum di bias wajah mereka. Kenapa kita nggak bisa seperti mereka?
Kita punya wajah yang sama, tapi kenapa pantulannya tampak berbeda? Kenapa lo tersenyum di saat gue sakit? Tapi, kenapa justru gue tersenyum di saat lo menderita? Kenapa kita nggak bisa tersenyum dan sakit bersamaan? Terima kasih untuk semua yang lo lakuin.
Wish gue tahun ini, gue pengen bikin satu memori indah bareng lo. Gue takut nggak punya banyak waktu lagi. Terasa ada yang kurang sekalipun gue memiliki semuanya. Gue nggak tau, bagian dari diri gue yang mana yang lo bawa pergi. Tapi, gue butuh pelengkap kebahagiaan gue.
Gue ingin semua kebahagiaan itu terwujud di usia 28 tahun ini. Mungkinkah? Apa bisa lo mewujudkan semuanya dengan tangan dingin lo? Itu ada kunci sepeda motor, tugas lo berikutnya adalah ngajarin gue naik motor. Kenapa? Jangan tertawa! Jangan sepelein gue. Itu hadiah dari gue.
Sepeda motor lo udah lo jual, kan, untuk biaya kuliah lo kemarin? Gue tahu, darah pembalap masih ada dalam diri lo.
Ini membosankan! Its enough. Gue capek nulis.
Lots of Love, Devan.
Arka terharu hingga meneteskan air mata. "Bodoh!"
Lekas dia berlari dan masuk ke suasana pesta. Tampak Devan tersenyum bahagia di sisi Lisa, calon tunangannya. Papa Frans dan Mama Wendi juga ada di dekat mereka.
"Saya bangga pada putra saya ini. Empat tahun terakhir, Wijaya Corp ini semakin berkembang di bawah kepemimpinannya," ujarnya.
"Wah, Pak Frans sangat beruntung, ya! Devan mewarisi kejeniusan Anda memimpin perusahaan. Oh iya, si kembar satu lagi ke mana?"
"Iya. Kenapa tidak kelihatan? Saya dengar dia menjadi dokter spesialis jantung ternama di kota ini," imbuh rekan lain.
Papa Frans hanya tersenyum sinis dan tak menanggapi. Sakit sekali hati Arka menatap hal yang terus terjadi setiap tahunnya.
'Ini udah 28 tahun, dan pemandangan seperti ini akan terus gue lihat. Pa, Ma, kenapa cuma ngucapin selamat dan doa pada Devan? Kenapa terus doain dia panjang umur, gimana denganku? Apa kalian nggak pernah mencemaskanku? Aku ingin dicintai seperti Devan. Apa itu terlalu mustahil, Tuhan? Aku rela menukarkan milikku yang berharga, tapi tolong, berikan sedetik saja waktu agar Papa mencintaiku,' batinnya.
Arka menghilang dalam kesedihan, tanpa sadar Lisa sudah mendekatinya. Arka terkejut ketika mendapat kecupan manis di pipinya.
"Lisa? Kenapa lo di sini? Kalau Devan tau−"
Lisa meletakkan telunjuknya di bibir Arka. Sekali lagi, Lisa mengecup pipinya.
"Happy birthday, Ka."
Mimpi Lisa sirna saat melihat cincin berlian di jari manisnya. Nyatanya, dia adalah tunangan Devan mulai hari ini.
"Andai aku ketemu kamu lebih awal, andai kamu bukan milik Eunha, andai pertunangan ini nggak pernah terjadi, aku masih ingin berjuang untuk miliki kamu, Ka!"
"Lisa."
"Aku cinta sama kamu," lanjut Lisa.
Lisa pergi dan menyisakan kesedihan di hati Arka. Di hatinya ada Lisa, sosok yang berusaha dia jauhi selama ini.
'Enam tahun terakhir, gue berusaha mengubur rasa cinta ini, Lis. Kenapa sekarang lo ingatin gue lagi? Lo cuma milik Devan, kan? Dan gue milik Eunha. Maafin keegoisan hati gue ke kalian. Gue tau suatu saat, gue akan nyakitin kalian semua. Apa yang harus gue lakuin?' batinnya.
Lamunan Arka buyar saat mendapat kecupan lagi. Dari Eunha. Si cantik yang tak pernah lelah berada di sisinya enam tahun ini.
"Dari mana aja, Eunha? Dari tadi nggak keliatan!"
"Ya di rumah. Ngapain gue di pesta ini? Keluar, yuk! Gue punya kado buat lo."
Eunha mengajak Arka keluar dan mereka duduk di bangku taman. Dia pun menyerahkan kado pada Arka.
"Jangan diliat nilainya, tapi ketulusan hati gue. Oke?"
"Iya-iya."
Saat dibuka, Arka menipiskan senyum karena mantannya itu memberikan sebuah buku agenda bersampul cokelat padanya.
"Lo kira kita masih ABG? Kenapa main beginian?"
Eunha tersenyum. Dia melepaskan satu kalung liontin dan memasangnya ke leher Arka.
"Itu kunci dari agenda ini. Pernah nulis, kan?"
Kalung yang dipakai Arka berliontin kunci dari agenda itu. "Oh God! Apa gue harus nulis diary ini? Gue ini cowok, Eunha!"
"Gue tau. Kenapa? Ya kalau lo pengen aja, lo bisa tulis semua isi hati lo ke dalam agenda ini. Dan kunci yang gue punya ini, jadi milik gue. Jadi, suatu saat gue bisa buka agenda itu dengan kunci yang gue punya, kunci yang bisa buka apa isi hati lo."
Arka mengetuk kepala Eunha. Durasi beberapa detik berlalu sambil memegang pipi Eunha. Ingin rasanya dia mengecup bibir cherry itu, tetapi bayangan wajah Lisa menarik mundur niatnya.
Eunha kecewa karena ciuman itu berakhir di dahinya.
"Makasih banyak, Eunha."
Arka pun pergi meninggalkan Eunha.
*
Arka begitu cemas sambil menatap jam dinding. Hanya tinggal beberapa menit lagi hari ulang tahunnya berakhir. Dia ingin bertemu dengan Devan.
"Oh God!"
Dia pun berlari keluar rumah dan Devan juga muncul di sana. Keduanya tampak canggung, akhirnya mereka duduk bersebelahan di bangku taman.
"Happy Birthday, Ka."
"Lo juga, Dev."
Devan terus menatap langit, sementara Arka justru memperhatikan Devan. Udara malam ini terlalu dingin dan membuat Arka khawatir tentang kesehatan Devan.
"Ini buat lo!" kata Arka.
Devan menoleh dan menerima kotak hitam dari Arka. "Apa ini? Bom?"
"Buka aja!"
Devan membuka kotak itu dan melihat jam tangan metalic pada bantalannya. Arka mengambil jam itu dan memasangnya di pergelangan tangan Devan.
"Jam tangan ini nggak semahal jam yang gue punya. Berani banget lo masang ini di tangan gue?" cibir Devan.
"Ini gue pesan dari Singapore. Coba dengar!"
Arka mengutak-atik jam itu karena ingin menunjukkan sesuatu. Terdengar alarm saat menunjukkan pukul tujuh.
"Jam ini udah gue atur. Pokoknya tiap jam-jam tertentu udah ada alarm yang ngingatin lo makan, minum obat, atau cek rutin ke rumah sakit!"
Arka menunjukkan angka di sudut layar jam. "Kalau ini untuk skala detak jantung lo. Saat angka udah nunjukin di atas seratus, lo harus waspada dan ambil tindakan cepat."
"Gue ngerasa kayak Power Ranger biru!"
Arka bahagia karena bisa merayakan pergantian tahun dengan Devan. Dia terus menatap saudara kembarnya itu. Devan memang berkulit putih pucat, beda dengan dirinya. Mungkin karena terlalu sering berjemur di bawah sinar matahari.
"Lo harus masuk, malam ini udara terlalu dingin, Dev."
"Gue tau!"
"Oh iya, surat itu-"
"Apa mesti, ya, lo bahas?" Devan terlihat kesal karena malu mengingat yang dia tulis.
"Besok, tolong ke rumah sakit! Gue mau check kondisi jantung lo," pinta Arka.
"Besok gue sibuk. Ada banyak meeting yang nggak bisa gue re-schedule!"
"Percayalah! Lo harus check up. Lo harus lebih jaga kesehatan. Pikirin jantung lo. Usahakan kondisi lo lebih baik supaya lo nggak mesti ketergantungan dengan obat-obat itu."
"Siap, Pak Dokter!"
Devan bangkit duduknya, hendak beranjak. Arka menahan lengan Devan.
"Gue harap ini bukan ulang tahun terakhir kita merayakannya bersama, Dev!"
Devan berbalik, mendekati Arka yang kini berdiri tegak di hadapannya."Boleh gue tanya sesuatu sama lo, Ka?"
"Apa?"
"Apa tahun depan, gue masih bisa ngerayain ulang tahun kita lagi? Berapa lama lagi gue bisa bertahan? 3 bulan? 6 bulan? Atau setahun?"
Arka tersenyum menatap ketakutan dalam mata Devan. Dia menyentuh bahu Devan, hendak mendonorkan sedikit ketegaran untuk kakaknya itu.
"Gue, elo, atau siapa pun itu, nggak ada yang bisa memprediksi usia seseorang. Lagian minggu lalu, lo juga baru aja operasi pemasangan ring di jantung lo, kenapa sekarang masih tetap takut? Kenapa begitu takut mati? Meskipun lo sakit, belum tentu usia lo lebih singkat dari orang sehat, kan? Kematian itu bisa datang tiba-tiba. Mungkin gue yang lebih dulu mati, kenapa terlalu takut menghadapi itu? Semua orang punya garis masing-masing, Dev. Percayalah! Semangat!"
Devan merasa lebih tenang saat Arka berkata seperti itu. Arka meletakkan tangan kanannya di d**a kiri Devan.
"Gue udah bersumpah untuk mengembalikan hidup lo. Gue akan mengabdikan diri gue untuk jantung ini. Jadi, jangan takut! Lo nggak akan segitu mudahnya mati."
"Gue dan lo berbeda, Arkana."
"Gue akan berjuang untuk kesembuhan lo, Dev!"
Arka menoleh ke sisi lain, meninggalkan ketertegunan Devan akan ucapan tulus Arka.
"Kenapa lo lakuin ini? Apa untungnya buat lo kalau gue tetap hidup?" lirih Devan.
Arka terhenti mendengar ucapan tegas kakaknya itu, tanpa dia tahu, setetes air mata mengalir di pipi Devan.
"Lo itu kayak cahaya redup di suasana gelap. Jadi, seredup apa pun cahaya lo, lo masih dibutuhkan. Sedangkan gue, gue kayak sinar mentari yang sinarnya terlalu terang, sinar kehidupan yang gue miliki terlalu terik sampai nyakitin pandangan orang lain. Sinar yang akhirnya begitu dibenci oleh orang itu. Papa. Jadi buat gue, seredup apa pun cahaya yang lo miliki, mereka butuhin lo. Gue harap suatu saat gue bisa membagi sinar gue untuk lo, biar sinar gue bisa meredup dan bisa diterima orang itu, dan cahaya lo menjadi terang untuk mereka."
Arka pergi meninggalkan Devan. Devan terduduk dengan seluruh rasa sakit yang dia rasakan di detak jantungnya. Bukan rasa sakit fisik, entah rasa sakit yang bersumber dari mana yang begitu menusuk relung jiwanya.
Cinta yang begitu besar diberikan Arka padanya, tapi selama ini dia mencuri satu per satu. 'Maafin gue, Dek.'