Enam tahun berlalu, rumah sederhana Pak Min kini dipenuhi ornamen mewah. Rumah yang masih ditinggali oleh Arka, si pembalap jalanan yang kini menjelma menjadi sang dokter kardiothoraks ternama di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Pria muda berusia 29 tahun itu berdiri di depan cermin sembari merapikan ikatan dasi di kemeja birunya. Dering ponsel menyela hening dari atas meja.
"Halo."
"Happy Birthday, Brother!"
Arka menjauhkan ponsel sebab teriakan Jimmy hampir memecah gendang telinganya.
"Sial! Lo mau buat telinga gue copot, ya?!"
"Sori-sori. Lo lagi di mana, sih? Jam 9 nanti ada jadwal operasi. Lo cukup tidur, kan?"
"Iya, tadi malam gue baca buku sampai ketiduran. By the way, dr. Jeon yang pegang kendali, kan?"
"Ya. Buruan berangkat! Ntar kena macet, loh!"
"Oke."
Arka menyimpan ponsel-nya dan mengambil jas putih serta tas di atas meja. Menyimpul senyum dan siap mengawali pagi ini. Saat pintu terbuka, Eunha muncul dengan membawa kue tart di tangannya. Mantan kekasih cantiknya yang selalu menemaninya seiring berganti tahun.
"Happy Birthday, Ganteng!"
Arka tersenyum sembari mengusap lembut surai hitam sebahu Eunha.
"Make A wish dulu, ya!"
Arka menutup mata, mengisi detik waktu sembari memanjatkan doa dihadapan lilin bertuliskan angka 29 itu.
‘I Wish, sedetik aja dalam hidupku ada cinta. Kuharap tahun ini, ada jawaban-Mu tentang cinta di hati Papa, Tuhan.’
Setelahnya, Eunha merengek agar Arka mencicipi tart buatannya. Betapa dia harus membujuk dokter muda ini karena terlalu pilah-pilih makanan terkait kesehatannya.
Dicoleknya sedikit tart dengan krim itu dengan jari, mencicipinya dengan bibir mengerucut ke mulut.
"Apaan ini? Lo pakai gula apa? Lo tau berapa kadar gula dalam cake ini? Lo tau, nggak, kalau makan yang manis-manis bisa bikin kadar gula dalam darah naik? Hiperglisemia bisa aja memicu diabetes mellitus. Gula darah yang tinggi lambat laun bisa merusak mata, saraf, dan ginjal."
Eunha tersenyum kecut mendengar omelan Arka. Dokter ini selalu waspada untuk makanan yang dikonsumsinya.
"Lo ngerti? LDL kolesterol bisa melekat di dinding arteri dan bisa memicu terjadinya penutupan arteri, juga penyumbatan aliran darah. Lo tau akibatnya apa? Jantung akan kesulitan untuk memompa darah dan akhirnya jadi gejala serangan jantung. Lalu-"
Arka terhenti saat Eunha mencium pipinya. Wanita ini mengutarakan cinta lewat sentuhan manisnya.
"Hei!"
Mata sipit Arka membola dengan ekspresi sok cuek. "Kenapa selalu aja nyerang gue di saat gue lengah?"
Eunha terkekeh kecil, lalu menggamit jemari Arka dengan bias malu. "Gue cinta banget sama lo, Ka."
"Gue juga sayang sama lo."
"Itu kata-kata yang sama dan selalu keluar dari mulut lo selama enam tahun ini."
Dipeluknya si cantik itu, sesekali mencium puncak kepalanya dengan kasih hangatnya. "Thanks masih tetap di sisi gue selama enam tahun terakhir ini."
Eunha mengangkat wajahnya agar melihat Arka dengan jelas. Garis hidung mancungnya, rahang tegasnya yang bersih, begitu tampan pria ini.
"Apa karena Lisa? Apa karena dia, sampai sekarang lo bahkan nggak pernah bisa bilang cinta sama gue?"
Arka tak bisa menjawab karena nyatanya, Lisa juga menghuni hatinya sejak enam tahun lalu bertemu gadis cantik nan feminin itu.
"Jangan bahas ini, ya? Maaf. Ini hari yang sulit buat gue. Apa lo bisa tetap stay di sisi gue?"
Hari yang sulit karena ini juga hari ulang tahun Devan. Keluarga Wijaya masih sama seperti dulu. Abai akan hari kelahirannya. Eunha pun melepaskan pelukan mantan kekasihnya ini.
"Anyway, nanti malam lo datang ke birthday Devan?"
"Enggak, deh. Kalau ketauan Papa, dia bakal marah besar!"
"Nanti malam, Devan dan Lisa aja tunangan, kapan kita upgrade hubungan kita?"
Arka tersenyum tipis, meskipun ada rasa aneh di dadanya. "Upgrade?"
Eunha mencubit kecil pinggang Arka. Bibirnya tertaut cemberut. "Lo sadar, nggak? Enam tahun ini, lo udah bikin gue kayak jemuran kering, digantung mulu!"
"Terus aja nyindir!" gemasnya sambil menjawil hidung mbangir Eunha.
"Lisa aja udah terima ajakan tunangan Devan. Itu artinya, dia udah menyerah nungguin lo. Cuma gue, loh, yang setia. Jangankan jadi tunangan, jadi pacar aja nggak jelas. Gue ini udah kayak layang-layang. Gue dikendalikan dengan benang yang ada di tangan lo."
"Drama banget!"
"Jadi, intinya, kapan kita nikah?"
"Nikah? Gue masih 29 tahun. Masa jadi ayah, sih?"
"Gue, Ka? Untuk ukuran seorang cewek, 28 tahun itu udah tua banget. Jadi, kapan kita nikah, Ka?"
Eunha menarik-narik ujung kemeja Arka, seperti anak kecil yang manja. Pria itu tersenyum sambil mengusap kepala Eunha.
"Kalau ada umur, mungkin tahun depan. Gimana?”
Eunha mengangguk, lantas memperbaiki ikatan dasi Arka.
"Ya udah! Pak Dokter harus pergi sekarang. Ntar pasiennya bakal depresi karena nggak liat Pak Dokter yang charming ini."
"Lo juga harus buru-buru ngantor. Ntar si bos galak bakalan nyari sekretarisnya yang cantik ini."
Arka berpamitan pada Eunha. Setelahnya, mobil putih itu pun melaju meninggalkan pekarangan.
*
Koridor rumah sakit terasa hening kala menunggu operasi yang sedang berlangsung di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Raztan Hospital. Tak lama, nyala merah pada lampu itu pun padam.
Operasi selesai. Para dokter keluar dengan perasaan lega. Ada Arka dan Jimmy di antara mereka.
"Bagaimana, Dok?" tanya keluarga pasien bernada cemas.
"Operasi berjalan lancar. Terima kasih atas bantuan doanya."
Arka dan Jimmy berjalan meninggalkan koridor. Selanjutnya, mereka menyerahkan pada residen yang bertugas di tahun pertama mereka. Tak lama, seorang perawat cantik bergegas mendekati mereka.
"dr. Arka, Nyonya Farida tiba-tiba nge-drop."
"Kok, bisa? Bukannya tadi pagi baik-baik saja, Sus?"
Jimmy segera mendekati perawat cantik itu, menunjukkan raut serius dan membenarkan analisis si perawat.
"Dokter gimana, sih? Nyonya Farida itu tanggung jawab dr. Arka. Kalau ada apa-apa dengan Nyonya Farida, dr. Arka akan berhadapan dengan dr. Jeon!" seru dr. Jimmy.
"Cepat tangani, Dok!" sahut perawat itu lagi.
Arka segera berlari dengan binar cemas. Setelahnya, Jimmy tersenyum seraya mendekati Dessy, si perawat cantik yang tak lain adalah istrinya.
"Akting Suster Dessy memang hebat. Harusnya istriku ini jadi artis aja, jangan jadi perawat."
Dessy tersenyum dan mendorong Jimmy ketika suaminya hendak memeluknya di lorong. Cubit kecil singgah di dadanya.
"Hei, jangan! Ayo, kita nyusul! Kalau dilihat para pasien dan residen, bisa jatuh image dr. Jimmy yang terkenal paling cute di Raztan Hospital."
Keduanya sukses mengerjai Arka. Setibanya di ruang rawat, Arka terkejut saat ada letupan konfeti cantik di udara, lalu beberapa petugas medis di dalam menyambutnya dengan bias ceria.
"SELAMAT ULANG TAHUN, dr. Arka!"
Arka tersenyum, terlihat bias haru dengan perhatian mereka. Pasien tua bernama Faridha itu lantas mendekati Arka.
"Happy Birthday, Dokter charming-ku."
"Terima kasih, Nyonya. Ah, jantung saya hampir copot mendengarnya. Kejam sekali! Nggak lucu, kan, kalau dokter spesialis jantung harus kena serangan jantung?"
"Dokter, kan, juga manusia. Bisa sakit, Dok."
Seorang dokter senior mendekati Arka. dr. Jeon tertera pada name tag di jas putihnya. Dia adalah dokter asal Taiwan yang dipindahtugaskan ke Raztan Hospital.
"Sheng ri kuai le, dr. Arka," ujar selamat pria itu dalam bahasa Mandarin.
"Terima kasih, dr. Jeon."
"Oh ya, bagaimana dengan kepindahan tugas Dokter ke Taiwan? Apa benar akhir tahun depan? Kenapa dikurangi setahun?"
"Wo bu zhidao. Untuk selanjutnya, saya serahkan pada Dokter!"
"Thanks."
"Nanti malam, saya dan teman-teman lain mendapatkan undangan dari Pak Frans Wijaya. Anda akan hadir, kan?"
Arka tersenyum simpul, tak mungkin dia bagikan hancur hatinya pada orang lain. Hanya Jimmy yang selama ini tahu akan kacaunya kehidupannya. Keluarga Wijaya bukanlah bagian dari hidupnya.
"dr. Jeon tau pasien di kamar 504 itu kondisinya sedang tidak stabil, kan? Seenggaknya, biar saya yang ambil alih untuk berjaga-jaga."
Jimmy terus menatap senyum palsu sahabatnya tersebut. Nyatanya, justru orang asing yang merayakan pergantian umurnya. Bukan keluarganya.
'Pa, bukannya aku benci sama Papa, tapi aku harap Papa mikirin aku, sekali aja. Aku mau ngerayain ulang tahun bareng Papa. Aku mau ngerayain ulang tahun dengan keluarga yang utuh. Apa tahun depan semuanya akan terwujud? Sampai kapan aku harus menunggu, Tuhan?' batin Arka.
Arka berharap suatu saat mimpi indah itu akan terwujud. Suatu saat nanti.
*
Gedung perkantoran elite itu berdiri tegak di antara bangunan kota lainnya. Itu adalah perusahaan besar milik keluarga Wijaya. Wijaya Corporation. Di salah satu ruangan lantai satu, seorang gadis cantik dengan blazer krim yang selalu tampak gugup jika berhadapan dengan direktur Wijaya Corp ini.
"Aduh, mudah-mudahan aja dia nggak ngamuk. Tadi malam, gue ngabisin banyak waktu untuk bikin tart-nya Arka. Berantakan nggak, ya, datanya?"
Dia yang tak lain adalah Eunha. Si cantik lantas membuka pintu, masuk. Seorang direktur tampan sedang serius dengan tugasnya. Berkas dan laptop menjadi teman seharian.
"Ini laporannya, Pak Devan."
Pria itu CEO dari Wijaya Corp. Devano Kenichi Wijaya. Diambilnya berkas itu, dibacanya. Setelahnya, tanda tangan dibubuhkan pada kolom bagian bawah bertuliskan namanya.
"Baiklah. Cepat siapkan berkasnya! Kita harus pergi ke Rose Hotel untuk meeting dengan Mr. Tsukasa yang baru tiba dari Jepang."
"Mr. Tsukasa? Tender untuk mesin otomotif Jepang itu, Pak?"
"Ya! Bawa seperlunya saja. Nanti kamu juga harus sudah selesaikan resume-nya, lalu antar ke ruangan saya!” ujar Devan seraya melirik jam tangannya, bersiap agar tak terjebak macet.
"Pak Devan, apa Bapak sudah minum obat untuk siang ini?"
Selama beberapa tahun terakhir ini, Eunha sudah puas menelan seluruh bentakan dan sikap dingin sang atasan. Andai tak ingat dia sangat membutuhkan pekerjaan untuk biaya hidupnya, mungkin dia lebih memilih angkat kaki dari Wijaya Corp.
"Dengarkan saya baik-baik! Kamu hanya sekretaris saya, bukan asisten ataupun pacar saya. Jadi kamu hanya perlu mengurusi urusan kantor. Jangan sok peduli pada kesehatan saya! Cepat selesaikan tugasmu! Saya tunggu di luar."
Eunha menahan amarahnya saat Devan pergi begitu saja dari ruang kerjanya. Bibirnya komat-kamit, menggerutu kesal. "Ih! Sialan banget tuh orang. Kalau bukan karena permintaan Arka dan Lisa, gue juga ogah ngurusin dia. Dasar iblis!"
Tanpa membuang waktu, Eunha segera menyelesaikan tugas karena takut ditelan hidup-hidup oleh boss super galak tersebut.