Drop

1059 Kata
Jauh di seberang jalan sana, seorang pria paruh baya tampak berlari mengejar dua orang berpakaian serba hitam yang terlihat membawa sebuah tas. Sesekali, pria paruh baya itu menunjuk-nunjuk, sambil berteriak. Kentara dari gerak bibirnya. Andra tak bisa mendengarnya karena teredam hujan. Melihat pria paruh baya itu sepertinya membutuhkan bantuan, Andra segera meninggalkan ransel juga almamaternya di halte. Meraih helm, memakainya dan segera menyalakan mesin motor menembus hujan. Jalanan terasa sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Memudahkan Andra untuk segera menyebrang menggunakan motornya. Mengadang langkah dua orang yang berlari di bawah hujan sembari membawa tas hasil rampasan mereka. Langkah keduanya terhenti Memandang Andra yang kini membuka helm yang ia kenakan dengan tatapan sengit. "Cari mati nih anak," ujar seorang dari mereka. Di wajahnya—tepatnya di pipi bagian kanan—terdapat bekas luka sayatan yang cukup dalam. Begitu terlihat, walaupun seluruh tubuhnya basah kuyup. Sementara itu, pria paruh baya yang tadinya mengejar keduanya, kini berhenti sembari membungkukkan tubuhnya dalam posisi ruku. Mungkin kelelahan. "Minggir!" Keduanya nyaris saja berlari, hingga pada akhirnya Andra menjegal kaki salah satu dari mereka. Membuatnya jatuh dan temannya yang lain, ikut tersungkur. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Begitulah kira-kira. "s****n!" makinya. Keduanya kemudian bangkit dan siap menyerang. Perkelahian antara Andra dan dua orang jambret itu pun terjadi. Andra memang tidak pernah berkelahi dengan siapa pun, sebelumnya. Ia benar-benar menjaga dirinya, agar tidak terlibat atas perkelahian apa pun. Hanya saja, bukan berarti dia buta akan ilmu bela diri. Percayalah, Ardhian—ayahnya itu—sudah mempersiapkan segalanya untuk Andra. Tak butuh waktu lama bagi Andra untuk melumpuhkan kedua jambret itu, seiring hujan yang perlahan berhenti. Tersisa rintik-rintik yang perlahan-lahan menghilang. "Ampun, Bang! Ampun!" Keduanya langsung berlari menjauh. Meninggalkan Andra, dengan hasil jarahan mereka tadi. Andra mengabaikan perih di sudut bibirnya, kemudian berjalan sedikit cepat, ke arah pria paruh baya pemilik tas yang ia pegang. "Ini punya Bapak?" tanyanya. Pria paruh baya tadi, menepuk-nepuk bahu Andra, "Terima kasih, Nak! Terima kasih. Saya nggak tahu lagi, kalau nggak ada kamu jadinya bakal gimana." Andra tersenyum canggung. "Semua karena Tuhan, Pak. Saya hanya membantu." "Sekali lagi, terima kasih!" ungkapnya jujur. "Ah, enggak perlu begitu, Pak." Andra menggaruk belakang kepalanya, dengan gugup. "Kalau begitu, saya permisi. Lain kali hati-hati Pak, kalau bawa barang berharga sendirian." Andra segera berjalan, menuju motornya, sebelum akhirnya suara pria paruh baya tadi menghentikan langkahnya. "Ini buat kamu." Andra melihat beberapa lembar uang ratus ribuan yang terulur ke arahnya. Salah satu alisnya terangkat ke atas. "Loh, nggak usah, Pak! Saya ikhlas, kok." "Oh, kurang banyak, ya?" Pria paruh baya itu kembali meraih beberapa lembar uang dari dalam dompetnya, tetapi segera ditahan oleh Andra. "Bukan gitu, Pak," ujarnya tak enak. "Saya benar-benar ikhlas menolong Bapak. Saya permisi." **** "Mama!" Alana yang awalnya, tengah memasukkan beberapa jenis camilan ke dalam stoples, dibuat menoleh saat mendengar suara putri kecilnya. Padahal sebelumnya, Ayla tengah asyik bermain di ruang tengah. "Kenapa, Sayang?" tanyanya lembut. Ayla mendongak, menatap wajah ibunya, sembari mengusap hidung dengan punggung tangannya. "Tata Ean, beyum puyang?" tanya bocah cilik itu. Mendadak, Alana jadi teringat dengan Andra. Hujan di luar, deras sekali. Sempat berhenti, tetapi kini kembali turun dengan derasnya. Seingatnya, sebentar lagi pasti Andra pulang dari sekolah. Apa anak itu membawa jas hujan cadangan atau tidak? Pasalnya, jas hujan milik putranya itu tertinggal di rumah. Apa Andra berteduh atau menunggu hujan reda di lingkungan sekolah? "Mama!" Alana tersentak, daster panjangnya ditarik-tarik oleh Ayla. Ia kemudian menunduk, menyamakan posisinya dengan Ayla. "'Kan hujan, Sayang," jawab Alana. "Mungkin Kakak lagi berteduh dulu." Ayla mempoutkan bibirnya, dengan lucu. "Yama!" katanya. "Ay au ain cama Tata!" Alana mengusap pucuk kepala Ayla, dengan sayang. "Memangnya, Ayla mau, Kakak Kean sakit karena hujan-hujanan?" Hidung bocah kecil itu, mengerut. "Cakit panas?" "Iya." "Dak au!" "Nah, makanya. Kita tunggu aja ya. Bentar lagi juga kakak pulang, kok." Ayla melompat-lompat kegirangan. "Nati Tata ain cama Ay, ya? Ya Ma, ya?" Alana tak yakin. Namun, ia tetap mengangguk. Mengiyakan pertanyaan Ayla. **** Sepertinya, nasib buruk memang sedang berpihak pada Andra. Dari pagi hingga sore begini, ada saja kesialan yang menimpanya. Hujan yang tadinya sudah berhenti, kini kembali turun dengan derasnya. Memacu laju motornya, lebih cepat, untuk segera sampai ke rumah. Jujur, ia sudah tidak tahan lagi. Kepalanya berdenyut semakin menyakitkan. Tubuhnya pun, terasa begitu lemas sekarang. Ingin segera diistirahatkan. Motor yang ia kendarai, segera memasuki halaman rumah. Setelah Pak Harun—satpam yang menjaga pintu gerbang rumahnya—membukakan pagar tinggi itu. Andra kemudian melepas helm yang ia kenakan sesampainya di garasi. "Lho, Andra? Kenapa hujan-hujanan, Nak? Kenapa enggak berhenti dulu?" Suara itu, terdengar familiar di telinga Andra. Namun, sayangnya wajah orang itu tidak terlihat jelas. "Tata!" seru Ayla kesenangan saat melihat kakak kesayangannya pulang. Malangnya, Andra tidak dapat merespons suara orang-orang di depannya itu. Bahkan untuk melihat mereka saja, ia tidak bisa. Kepalanya pusing, juga pandangannya memburam. Telinganya kini terasa berdengung menyakitkan. "Andra." "Ma—" Belum sempat Andra menyelesaikan kalimatnya, tubuh itu langsung terjatuh begitu saja karena rasa pusing yang semakin menyiksa. "Andra!" Panik. Hanya satu kata, yang mampu menjelaskan suasana hati Alana sekarang. Segera, ia memanggil pak Harun yang berjaga di gerbang dengan sekuat yang ia bisa. **** "Halo, Al. Kenapa?" Awalnya, Ardhian tengah melakukan meeting, bersama beberapa kolega bisnisnya. Namun, telepon berulang kali dari Alana—strinya—malah membuatnya sedikit terganggu. Bukan terganggu karena ia sedang sibuk. Hanya saja, ada yang mengganggu pikirannya sejak tadi, ditambah dengan Alana yang menghubunginya berkali-kali. Hanya terdengar isakan di ujung sambungan sana. Membuat Ardhian semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Ia bahkan harus keluar dari ruang rapat, hanya demi mendengar apa yang akan istrinya katakan. "Alana, kenapa?" tanya Ardhian sekali lagi. "M-Mas. Andra, Mas!" Mendengar nama putranya itu disebut, membuat Ardhian merasa khawatir tiba-tiba. Ditambah lagi dengan isakan istrinya di ujung sana. "Andra? Andra kenapa, Al?" "Andra pingsan, Mas! Cepat pulang!" Andra. Isi kepalanya, hanya terisi nama Andra saat ini. Apa yang terjadi kepada putranya itu? Apakah hal yang buruk telah menimpanya? Ah, tidak. Seharusnya Ardhian memikirkan sesuatu yang baik saja, tidak boleh berpikiran negatif yang mana akan membuat kepalanya ikut sakit saat memikirkannya. Andra pasti baik-baik saja, gumam Ardhian dalam hati. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN