Hukuman

1096 Kata
"Berdiri dan hormat kepada bendera merah putih, hingga jam sekolah berakhir. Tidak ada bantahan!" Kata-kata dari bu Jihan, masih terekam jelas dalam ingatan Andra. Cucuran keringat, sukses membasahi seragam sekolahnya. Pandangannya mulai memburam, sebab matahari bersinar teramat terik hari ini. Seolah bersekongkol dengan bu Jihan untuk menghukumnya. Tidak. Andra tahu, ia tidak boleh lemah hanya karena hukuman seperti ini. Namun, sialnya tubuh itu tidak bisa diajak kompromi barang sebentar saja. Perutnya keroncongan, sementara kerongkongannya terasa kering. Ah iya. Andra baru ingat jika sejak pagi, perutnya sama sekali belum diisi. Salahkan dirinya yang terlalu gengsi untuk memakan masakan dari Mama Alana tadi. Sejatinya, Andra tidak pernah membenci Mama Alana juga Ayla. Ia menyayangi keduanya. Hanya saja, Andra takut. Takut terlalu menyayangi, takut terlalu berharap, lalu pada akhirnya ia akan ditinggalkan dan akan dilupakan lagi. Ia takut, hal yang dulu pernah terjadi kembali terulang. Maka dari itu, ia mencoba bersikap biasa saja, bahkan terkesan cuek. Semerta-merta hanya ingin menghindari kejadian belasan tahun silam yang membuatnya menjadi sosok seperti sekarang. Jika dapat digambarkan bagaimana kondisi Andra sekarang, mungkin akan terlihat seperti seseorang yang baru saja menceburkan diri ke dalam lautan. Pasalnya, tubuhnya itu benar-benar sudah basah karena keringat. Sialnya, matahari tepat berada di atas kepala. Sudah dibilang bukan, jika matahari kali ini tengah bersekongkol dengan Bu Jihan untuk menghukumnya atas kesalahan yang sama sekali tidak pernah ia lakukan. Oh, Tuhan. Berapa lama lagi, hukuman tidak berfaedah ini akan berakhir? Benar, kan? Menghukum dengan cara hormat tiang bendera begini, tidak ada faedahnya? Yang ada hanya membuat kepanasan dan kelelahan saja. Lagi pula, siapa sih yang menciptakan hukuman seperti ini? Andra bahkan tak tahu, sudah jam berapa sekarang. Yang jelas, siswa-siswi bodoh yang tidak ada gunanya itu sudah dua kali keluar berombongan setelah bel berdentang menuju kantin. Sambil sesekali melemparinya dengan bola kertas atau mengejeknya. Jadi, tidak salah, 'kan, jika Andra menyebut mereka sebagai 'Siswa-siswi bodoh?' yang kerjanya hanya bisa mempermainkan orang lain? Lagi. Andra merasakan pandangannya memburam. Kepalanya pun turut terasa berat. Begitu juga dengan perutnya yang terasa diremas dengan kuat. Sakit. "Keandra?" Untuk menoleh melihat siapa yang menyapanya pun sulit. Pandangannya berbayang, sesaat setelah ia melihat siapa yang datang menghampirinya. "Bu." Ia menarik sudut-sudut bibirnya untuk menyapa seorang guru cantik yang datang menghampirinya. Wajah guru itu mendadak terlihat panik dan semakin terburu mendekati dirinya. "Astaga, Keandra. Kamu mimisan!" Refleks, Andra menyentuh lubang hidungnya, lantas mendongak saat mendapati sesuatu yang kental, keluar dari sana. "Jangan mendongak!" perintah guru yang seingat Andra bernama Hanna Rayunda itu. Andra menurut. Memilih menundukkan kepalanya. Membiarkan darah dari hidungnya keluar dengan deras. Bu Hanna menyerahkan beberapa lembar tisu untuk menyeka darah yang terus keluar dari lubang hidung Andra. Tidak tega melihat salah satu muridnya berkeringat, bahkan hingga mimisan parah seperti ini, Hanna segera memegang kedua bahu Andra. "Ikut ke ruangan ibu, ya," ajaknya. "Tapi Bu, hukumannya—" Bu Hanna terus membawa Andra menuju ruangannya. Mengindahkan kata-kata Andra yang terkesan tidak mau meninggalkan hukumannya itu. "Duduk, Keandra," pinta Bu Hanna begitu sampai di ruangannya. Sementara ia segera bergerak menuju mejanya. Membuka laci dan mengeluarkan sebotol air minum berwarna biru muda yang ia bawa dari rumah. Mengambil gelas yang tertata rapi di dalam laci mejanya dan menuang air ke gelas. Andra duduk di sofa yang berada di ruangan Bu Hanna, dengan tisu yang menyumpal lubang hidung kirinya. "Minum dulu, Keandra," ujarnya. Ia kemudian meraih kotak tisu, yang berada di mejanya, lantas diletakkan di samping Andra duduk. Sesaat setelah Andra menerima dan meminum air pemberiannya. "Siapa yang menghukummu hingga seperti ini?" tanya Bu Hanna tak sabar, sekaligus merasa geram. Bagaimana tidak geram, jika membayangkan siapa yang tega menghukum siswanya di cuaca terik hingga mimisan seperti ini? "Bu Jihan," jawab Andra pelan. Tentu saja setelah ia berhasil meneguk segelas air putih yang bu Hanna berikan, hingga tandas. "Sejak kapan?" tanyanya lagi. "Jam pelajaran pertama." "Astaga!" Ini sudah pukul 13.00 Bu Hanna jelas tidak bisa membayangkan, bagaimana muridnya ini menjalani hukuman selama itu. "Kenapa kamu mau melakukannya?" "Saya—" "Keandra. Bukannya saya sudah bilang sama kamu. Jujur saja. Kamu enggak perlu khawatir mereka akan memanfaatkan kamu. Saya rasa, kamu tahu dan mengerti bagaimana caranya menghadapi orang-orang seperti mereka, bukan? Tapi tidak harus dengan mengorbankan dirimu sendiri, Keandra." Ya, benar. Bu Hanna mengetahui segalanya. Bagaimanapun, ia adalah wakil kepala sekolah. Di sekolah ini, hanya Bu Hanna dan kepala sekolah—Mahesa Wiraatmaja—saja yang mengetahui kebenaran tentang siapa Andra sebenarnya. Andra hanya bisa menunduk. Merasa tidak yakin, apakah mengakui siapa dirinya itu adalah hal yang benar atau tidak. Yang jelas, ia belum mau membongkar semuanya. Setidaknya, sampai ia lulus saja. Terdengar helaan napas pelan, dari Bu Hanna. "Ya sudah. Kamu lebih baik pulang," ujarnya. Tak tega, melihat Andra yang kelelahan. Andra mendongak, menatap bu Hanna. Tisu yang menyumpal hidungnya, sudah ia buang ke tempat sampah saat dirasa tidak ada lagi darah yang keluar sana. Mengerti akan tatapan muridnya itu, Bu Hanna menepuk bahunya pelan. "Kamu jangan khawatir," ujarnya menenangkan. "Saya akan mengurusnya. Lagi pula, beberapa jam lagi jam pulang sekolah." Akhirnya, Andra memilih menurut. Pasalnya, tubuhnya itu sudah benar-benar terasa lelah. Ingin segera diistirahatkan. Belum lagi perutnya yang seolah meronta-ronta ingin diisi. Pulang nanti, ia akan memakan apa saja yang ada di rumah. Baik itu yang dimasak Mama Alana atau bukan. Yang jelas, ia lapar. "Kalau begitu, saya permisi, Bu." Setelah berucap salam, Andra segera beranjak meninggalkan ruangan Bu Hanna. Melangkahkan kakinya menuju ruang kelas untuk mengambil ransel hitam miliknya. Namun, belum juga sampai, ia mendapati ransel hitam miliknya, teronggok begitu saja di lantai koridor dengan isinya yang berserakan. Sial! Umpat Andra dalam hati. Entah siapa yang bertanggung jawab akan ini, yang jelas, Andra tak mau ambil pusing. Segera ia merapikan isi ranselnya dan bergegas pulang. **** Hujan turun begitu saja dengan derasnya, tanpa memberi pertanda awan hitam atau angin. Membuat Andra yang masih berusaha memacu laju motornya jelas tak bisa menghindar. Sebagian tubuhnya sudah basah terguyur hujan. Khawatir akan membuat ayahnya cemas, alhasil ia segera menepikan motornya di sebuah halte. Memilih berteduh di sana. Ia lupa membawa mantel hujan. Perasaan, sudah ia siapkan, sejak semalam. Tapi bodohnya tidak dibawa. Andra mengacak rambutnya—yang untung saja tidak ikutan basah karena menggunakan helm. Melepas almamater biru donker yang ia kenakan dan mengibaskannya ke udara. Beruntung, halte bus kali ini, sepi. Membuat ia bebas mengibas-kibaskan almamaternya itu. Ia bersedekap, sembari menyandarkan punggungnya di tiang halte. Andra terdiam, cukup lama. Hingga sesuatu memancing perhatiannya. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN