Chapter 12

1319 Kata
Bab 12 – Sarang Saya (1/2) Pada akhirnya saya tidak tahan lagi dan berbicara di benak saya. Sovieshu menatap saya dengan takjub. Mata saya panas dengan air mata yang saya tahan agar tidak tumpah, saya menggigit lidah untuk menahan nya. Sang permaisuri seharusnya tidak menangis untuk tetap menjaga harga dirinya. Permaisuri : “Mereka mengatakan bahwa mereka mendengar desas-desus bukan berarti saya lah yang mengatakan itu. Apakah Anda menyalahkan saya karena rumor yang tidak Anda ketahui dari mana sumbernya?” Kaisar : “Tidak peduli seberapa banyak aku memikirkannya, tidak ada orang lain selain kamu yang bisa mendapatkan keuntungan dari rumor itu.” Permaisuri : “Keuntungan apa yang saya dapatkan?” Kaisar : “Rastha adalah saingan romantis bagimu, kan?” Saya terkejut. Mencoba mencerna apa yang barusan telinga saya tangkap dari kata-katanya. Kaisar : “Bukan kah kamu yang memberitahu ku tentang kisah Rastha menjadi b.u.d.a.k yang melarikan diri? Kamu tidak pernah mengatakan sepatah katapun tentang sumber rumor itu. Aku tidak tahu sebelumnya, tapi bisa saja itu adalah kelakuan mu sejak awal.” Tuduhan Sovieshu hanyalah sepihak dan tak berdasar. Saya berhasil mengatur nafas dan menjaga ketenangan. Tapi semakin saya berusaha untuk tetap tenang, Sovieshu yang lebih mencurigakan tampaknya semakin menjadi-jadi. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya saya berhasil mengeluarkan suara yang terdengar nomal. “Selir Anda bukanlah saingan bagi saya.” “Apa?!” Sovieshu nampaknya tidak mengantisipasi jawaban saya sama sekali. “Anda bukan kekasih saya, jadi bagaimana mungkin dia bisa menjadi ancaman bagi saya?” Ekspresi Sovieshu langsung goyah. Saya meluruskan punggung dan memberinya senyum yang saya praktikkan ratusan kali di depan cermin. “Selir Anda berharga hanya bagi diri Anda sendiri. Sementara saya sama seperti orang lain. Saya lelah dengan ini, jadi izinkan saya mengatakannya sekali lagi, Yang Mulia. Jangan libatkan saya dengan urusan Anda dan selir Anda.” Saya segera berputar dan melihat pantulan diri saya melalui pintu. Menteri keuangan dengan gelisah mondar-mandir di lorong dan dia segera menoleh ke arah saya. Matanya melebar ketika pandangannya tertuju pada saya. Jelas bahwa saya tidak bisa mengatur ekspresi wajah saya lagi. Saya tersenyum padanya lalu dengan cepat meninggalkan lorong dan pergi ke halaman barat. Saya berlari ke kursi sarang kesayangan saya yang terpencil. Dimana tidak ada wanita dayang yang akan mengikuti saya dan saya bisa mengubur diri saya sementara waktu dengan kesendirian. Saya memeluk tubuh saya dan menahan isak tangis sebisa mungkin. Permaisuri tidak menangis. Tidak boleh terjadi. Dia tidak menangis di depan orang banyak. Dikepala saya, Sovieshu dan selirnya begitu kecil dan bahkan tidak penting sehingga seharusnya mereka tidak bisa mengguncang saya. Tapi dihati saya ada lubang. Akhirnya gelap, saya tetap menjadi seperti kepompong dikursi saya untuk waktu yang lama. Saya yakin para wanita dayang sedang mencari saya saat ini. Dan perlahan saya mulai membuka tubuh saya. Setelah sekian lama hanya duduk meringkuk dalam satu posisi yang sama, lengan dan kaki saya terasa kaku seperti boneka kayu. Kemudian ada teriakan menusuk dari jauh. Saya mendongak dari kursi sarang dan melihat seekor burung besar turun dari langit. “Ah!” Saya langsung mengetahui siapa burung ini. Dia adalah si burung tampan yang membawa surat-surat dari orang asing yang mabuk itu. Dia menuju ke arah saya lagi, kemudian mendarat dipangkuan saya dan menatap saya dari dekat. Terlihat sangat menggemaskan sehingga membuat saya tertawa terkikik, dan burung itu hanya mengerjap-ngerjapkan matanya yang besar sambil memiringkan kepalanya. “Kamu datang untuk menemui saya?” Sekali lagi, ada sebuah catatan di ikat di kaki burung itu. Saya membuka catatan itu dan melihat tulisannya dalam naskah yang rapih. -Apakah burung itu perlu nama? Anda bisa memberikannya nama jika Anda mau.- Saya mempelajari burung itu dan memperhatikannya. Burung itupun kembali menatap saya. Tatapannya terasa lebih tajam dari biasanya. Apakah dia tahu bahwa saya sedang merasa tertekan? “Burung..” Saya mencoba memanggilnya. Dan dia hanya diam. “Burung..” Saya mencoba sekali lagi. Dan kali ini burung itu menatap saya dengan memiringkan kepalanya. Apakah dia paham? Saya melihat warna mata yang cerah dan hampir percaya bahwa dia mengerti perasaan saya. Tidak, itu adalah hal bodoh. Tapi burung yang cerdas bisa mengerti manusia, bukan? Saya ragu-ragu sejenak, melihat sekeliling lalu memeluk burung besar itu. Perlahan saya berbisik ke kepalanya yang berbulu, “Ini adalah tempat rahasia saya.” Burung itu bergeser dan menatap saya kosong. Saya membelai punggungnya dan melanjutkan bicara dengan canggung, “Tidak ada tempat yang bebas agar saya bisa menangis, tetapi disini saya bisa menangis sesuka hati saya. Ini rahasia, jadi jangan beritahu siapapun.” Burung itu mengedipkan matanya yang besar. Kemudian perlahan-lahan mengangkat sayapnya dan dia menyentuh pipi saya seolah dia seperti sedang menghibur suasana hati saya yang kelam. Saya tersenyum, “Burung yang indah.” Saya menciumi kepalanya dengan rasa terimakasih dan burung itu membuat suara seolah seperti mengomel yang lucu dan mengetuk catatan itu dengan paruhnya. Apakah dia menginginkan balasan? Dia burung yang sangat pintar. Untungnya kali ini saya membawa kertas catatan dan pena di saku. Saya mengeluarkannya dan merenungkan nama apa yang tepat untuk burung ini. Lalu setelah lama berpikir, saya menuliskan, -Nama burung ini adalah ‘Queen’- Ketika saya selesai menulis, saya melihat bahwa burung ini sedang menatap tulisan saya seolah dia bisa membaca balasan saya. Dia mengetuk kata ‘Queen’ dengan cakar besarnya. “Itu adalah nama mu. Jika kamu bisa memberikan pesan ini pada tuan mu.” Saya mengikatkan catatan balasan saya dikaki burung itu lalu dengan lembut memeluknya sekali lagi. Sang permaisuri. Ya, tidak peduli apapun yang terjadi, saya adalah permaisuri. Bahkan tak peduli apa yang dikatakan Sovieshu, selir itu tetaplah selir dan permaisuri tetaplah permaisuri. Saya mengeluarkan saputangan dan menepuk-nepuk daerah mata yang bengkak, lalu mengambil nafas. Ingat dengan nasehat ibu saya bahwa saya tidak boleh terlibat dengan urusan mereka. “Orang-orang tidak berharap jika saya menjadi permaisuri yang di cintai oleh kaisar.” Burung itu terdiam tanpa jawaban. “Tujuan saya dalam hidup adalah untuk tidak dicintai oleh kaisar juga.” Saya telah belajar untuk hidup menjadi permaisuri yang paling sempurna. Tetapi saya adalah manusia biasa yang kini sedang terluka tetapi saya tidak bisa tenggelam dalam keputus asaan. Saya sudah cukup merasa kasihan pada diri saya sendiri. Sekarang saya harus bangkit. Saya menarik napas, mencium kepala burung itu sekali lagi dan melepaskannya terbang ke langit. Burung itu sepertinya tidak ingin berpisah dengan saya untuk sesaat. Dia nampak berputar-putar diatas kepala saya tetapi akhirnya dia berbalik dan terbang jauh. Saya melatih senyum saya sekali lagi sebelum siap untuk kembali ke istana. *** Burung besar itu terbang langsung ke gunung terdekat. Dia menelusuri pepohonan sampai menemukan singgapan yang cocok yang sudah di hinggapi oleh kawanan burung. Dia mendarat disana. Kemunculan burung besar ini membuat burung-burung kecil lainnya segera bertebaran dan burung besar itu bertengger diatas ruang terbuka. Kemudian dengan luar biasa, burung besar itu berubah menjadi seorang pemuda. Dia tampan, sangat cantik, dan seluruh tubuhnya halus proporsional dibentuk dengan balutan otot yang jelas. “Memanggil laki-laki dengan ‘Queen’ ?” Pemuda tampan itu menggerutu pada dirinya sendiri dan menggaruk kepalanya. Seekor burung biru yang duduk dipohon terdekat, melompat turun dan dia juga berubah menjadi seorang pria. Kali ini pria dengan rambut biru. Dia menarik jubah merah dari pohon lain dan mulai mendekati pria di depan nya. “Apa maksudmu? Kamu bilang akan mengintai. Tapi kamu malah pergi ke tempat lain kan....” Belum lagi pria berambut biru itu selesai mengomel, pria disamping nya meletakkan jari telunjuknya di depan mulut pria berambut biru. “O-oh.. Tidak. Tidak akan. Saya sudah memiliki panduan.” “Panduan kecantikan?” “Apa yang kamu bicarakan? Aku pergi ke istana. Istana!” “Istana? Apa kamu yakin?” Pemuda tampan itu meringis ketika pria berambut biru itu menatapnya dengan curiga. “Apa kamu tidak percaya pada ku?” Pria berambut biru segera mengayunkan jubah merah ke bahu pria muda yang tampan itu. “Itu tidak akan pernah terjadi. Tapi tolong perhatikan tindakan mu, Yang Mulia. Ingatlah bahwa kamu adalah pewaris tahta Kerajaan Barat.” Ujarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN