Chapter 13

1169 Kata
Bab 13 – Sarang Saya (2/2) Sepertinya saya menjatuhkan saputangan ketika saya mengeluarkan pena dan catatan saya kemarin. Saya mencari keseluruh kamar tetapi tetap tidak menemukan saputangan yang biasanya saya bawa itu. Saya pergi bekerja seperti biasa di istana pusat, lalu menuju ke taman barat saat makan siang. “Tidak apa-apa. Permaisuri tidak akan berada disini untuk saat ini.” “Apakah permaisuri benar-benar memiliki seluruh istana? Hanya kamar tidur permaisuri yang menjadi miliknya.” “Permaisuri juga sering berkunjung kesini, jadi mengapa Nona Rastha tidak melakukannya juga?” Saya mendengar tawa dan percakapan ketika saya mendekati kursi sarang kesayangan saya. Dan berhenti tepat di depan semak-semak untuk mengamati apa yang sedang terjadi. Ternyata Rastha sedang duduk dikursi sarang saya sementara seorang pelayannya mendorong kursi tersebut seperti ayunan. Pelayan lainnya telah membawa meja bahkan sedang memotong buah. Saya tertegun tapi tetap diam. Kemarahan panas menyengat di d.a.d.a saya. Apakah selir itu masih belum tahu bahwa istana barat adalah wilayah permaisuri? Tidak, jika dia tahu maka seharusnya dia menghindari saya. Saya hampir tidak bisa mentolerir kenyataan bahwa seseorang yang tidak saya sukai menikmati dirinya dikursi kesayangan saya. Rastha : “Yah, permaisuri tidak akan pernah datang ke tempat sekecil ini. Jika Rastha tidak duduk disini, kursinya akan menganggur kan?” “Nona Rastha, Anda sangat lucu dan menggemaskan.” “Ya, Anda sangat berbeda dari wanita muda lainnya. Anda sangat polos.” Ujar pelayan lainnya. Mereka secara bergantian memuji keluguan Rastha. “Kenapa? Memangnya bagaimana dengan wanita lainnya?” Rastha merasa penasaran. “Yah... Para bangsawan melakukan debut di masyarakat pada usia 17 tahun. Setelah itu mereka harus bersikap licik.” “Ada banyak pertempuran dan pengkhianatan diantara mereka. Dan itu adalah hal yang biasa.” Jawab lainnya. “Nona Rastha jangan terlibat dengan mereka atau mereka akan memakan Anda hidup-hidup.” Rastha tersenyum, lalu berbalik dan tiba-tiba dia melihat ke arah saya berdiri. “Aah... Yang Mulia?” Rastha melompat berdiri. Para pelayannya yang telah berbicara buruk mengenai para bangsawan juga mundur karena sangat terkejut saat melihat kedatangan saya. Dua wanita dayang-dayang nya tidak terlihat disini. Seharusnya mereka memang benar tidak cocok dengan Rastha dan mereka pasti telah dikirim kembali kerumah mereka masing-masing oleh Sovieshu. Saya menyingkirkan beberapa batang bunga yang menghalangi pandangan saya dan berjalan mendekati mereka. Mata saya tertuju pada kursi sarang kesayangan saya dan ketika Rastha berdiri, saya bisa melihat saputangan saya dibalik gaunnya. Dia menggunakan saputangan itu untuk duduk dikursi sarang saya. Ketika Rastha melihat arah tatapan saya, dia berbicara dengan tergesa-gesa, “Ini bukan sampah, Yang Mulia. Ini sangat indah.” “Ya. Saya tahu kursinya bukan sampah. Karena ini adalah kursi saya.” Rastha tersentak mendengar nada suara saya yang terpotong. Saya menghitung ke nomor sepuluh dalam bahasa lama. Kursi itu adalah milik saya yang sangat berharga dan ini adalah tempat rahasia saya. Saya marah karena selir Sovieshu menyerbu tempat berharga saya. “Aku... Yang Mulia, kenapa Anda terlihat begitu menakutkan?” Suara Rastha terengah-engah, tetapi saya tidak bisa membuka mulut untuk menjawab. Tidak dilarang bagi siapapun untuk berada disini meskipun saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri ada orang lain yang mendekati tempat ini bahkan menggunakan kursi kesayangan saya. Namun amarah berkobar di d.a.d.a saya karena memikirkan Rastha menggunakannya. Selir tidak seharusnya datang kesini, ke istana barat untuk melihat permaisuri. Tapi tidak pantas bagi permaisuri untuk menyinggung seseorang yang duduk dikursi dan para pelayan itu pasti akan bergosip tentang para bangsawan seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Saya berhasil menenangkan nafas dan mengulangi pada diri sendiri untuk tidak pernah marah dengan cara apapun. Rastha : “Yang Mulia....” Permaisuri : “Saputangan yang kamu duduki adalah milik saya juga.” Ketika saya berhasil menekan amarah yang terus berkecamuk di d.a.d.a, Rastha berbalik dengan cepat karena terkejut. Para pelayannya saling melirik dan menundukkan kepala mereka. Rastha : “Maaf, Yang Mulia. Rastha tidak tahu itu. Saputangan nya ada di dekat kursi.” Permaisuri : “Kamu melakukan itu karena tidak tahu. Tapi jangan datang ke istana barat lagi. Tidak baik jika kita terus bertemu satu sama lain.” Rastha : “Ta.. Tapi Rastha ingin berteman dengan Yang Mulia..” Rastha mulai menangis dan para pelayannya tampak iba. Mereka mungkin sudah mengira bahwa saya adalah wanita yang kejam hanya karena permasalahan kursi dan saputangan. Melihat Rastha, saya sangat kesal. Lalu dengan sengaja tersenyum sambil mengatakan sesuatu yang mengejutkan, “Kamu bisa berteman dengan selir kaisar selanjutnya.” “Selir selanjutnya?” Dia membelalakan matanya yang bulat. “Ya. Selir berikutnya yang akan dibawa oleh kaisar setelah kamu.” Saya hanya mengembalikan apa yang dia katakan kepada saya. Saya pikir itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Rastha pucat dan menatap saya dengan ekspresi terluka. Dia menundukkan kepalanya dan melarikan diri. Para pelayannya dengan segera mengejarnya. Saya masih berdiri sendirian dan menatap kursi sarang berharga saya. Saya juga melihat saputangan yang terkulai disana, semua hancur. Saya merasa tidak enak. Itu adalah kursi dan saputangan yang sama yang saya miliki sebelumnya. Tapi... Kini saya tidak lagi menemukan keceriaan di dalamnya. *** “Yang Mulia!” Sovieshu terkejut ketika dia menemui Rastha setelah jam kerjanya usai. Begitu dia memasuki ruangan, Rastha yang terisak-isak melompat ke dalam pelukannya. Kaisar : “Apa yang salah? Kenapa kamu menangis? Apakah wanita dayang mu menghina mu lagi?” Rastha : “Yang Mulia, ketika Anda bosan dengan Rastha, apakah Anda akan membawa wanita lain sebagai selir Anda?” Kaisar : “Apa?! Siapa yang mengatakan demikian?” Dia menatapnya dengan tercengang dan langsung berteriak sambil menjawab, “Permaisuri!” Kaisar : “Permaisuri?” Sovieshu mengerutkan kening seolah merasa sulit untuk dipercaya. “Mengapa permaisuri tiba-tiba mengatakan itu padamu? Ah tidak, dimana kamu bertemu dengannya?” “Ada kursi kosong di taman istana barat. Tidak ada yang menggunakannya saat itu jadi Rastha bermain disana...” “Apakah maksudmu kamu pergi ke istana barat lagi?” Sovieshu merangkul bahu Rastha dan menatapnya tidak percaya. “Aku pergi ketika permaisuri tidak ada disana. Dan itu adalah taman yang terpencil, bukan di dekat gedung, Yang Mulia.” Air mata membasahi wajah Rastha seperti air keran. Dan Sovieshu menghela nafas, dia menyeka nya dengan lengan bajunya. Lalu Sovieshu melanjutkan, “Jadi kamu duduk di kursi yang tidak digunakan. Dan saat itu tidak ada permaisuri disana. Bukankah begitu?” “Ya. Aku tidak tahu itu. Dia juga memiliki raut wajah yang menakutkan dan Rastha berkata padanya bahwa aku ingin berteman dengan permaisuri.” “Lalu dia menyindir bahwa aku akan membawa selir lain ketika aku bosan dengan mu. Begitu kah?” “Dia tidak mengatakan itu dengan tepat. Tapi aku bisa lihat bahwa dia bersungguh-sungguh. Jadi apakah itu benar? Apakah Anda akan mencintai wanita lain selain Rastha? Yang Mulia, apakah Anda akan menipu Rastha nantinya?” “Itu tidak mungkin.” “Apakah Anda yakin, Yang Mulia? Apakah Anda bukan tipe pria yang suka berselingkuh?” Rastha menatapnya dengan mata yang lebar. Bagai rusa betina dan Sovieshu memeluknya dengan erat. Lalu mengulangi jawaban yang sama. Gemetarnya akhirnya mereda, Sovieshu mengusap punggung Rastha. Dia mengerutkan keningnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN