Bab 8 – Masalah Seorang Wanita Dayang (1/2)
“Yang Mulia, Grand Duke Lilteang telah mengirimkan Anda hadiah sutera dari negeri asing.”
Para wanita dayang-dayang sudah selesai mempersiapkan diri saya untuk hari yang lebih awal dari biasanya. Jadi saya duduk bersama mereka ketika saya meminum kopi sarapan. Sementara itu, Grand Duke Lilteang telah mengirimkan seorang pelayan nya untuk membawakan saya sebuah hadiah. Saya mendongak dari cangkir kopi dan memeriksa barang ditangan pelayan yang terulur. Itu adalah kain sutera biru yang cantik dan bersinar seperti sisik ikan pendek.
Saya menghela nafas dan meletakkan cangkir kopi diatas meja. Sutera itu terlihat indah dan mahal, tetapi sulit bagi saya untuk menerimanya secara murni. Karena saya sangat mempertimbangkan niat dari si pengirim nya. Grand Duke Lilteang adalah Paman dari Sovieshu, dia 2 tahun lebih tua dari keponakannya. Meskipun dia tidak memiliki keinginan untuk menjadi kaisar, dia secara teratur menyuap saya dan meminta bantuan sejak saya menjadi seorang permaisuri. Jika saya menerima hadiah itu, pasti akan ada tuntutan sulit yang akan dia ajukan pada saya.
Permaisuri : “Terimakasih, tetapi tolong katakan padanya bahwa saya tidak bisa menerima hadiah itu karena saya khawatir akan menyebabkan kesalahpahaman.”
Hal seperti ini telah terjadi berulang kali sebelumnya, dan pelayan itu tersenyum canggung seolah-olah dia juga mengharapkan ucapan itu keluar dari mulut saya. Dia menggumamkan kata “Ya.” Dengan hormat lalu melangkah mundur.
“Pria itu belum kapok juga.” Ketika pintu di tutup, Countess Eliza mengucapkan pemikirannya dan yang lain tertawa. Suasana kembali damai.
Tak disangka pengunjung kedua dipagi itu di umumkan. Biasanya saya pergi ke istana pusat setelah sarapan pagi, jadi hanya sedikit pengunjung yang datang kesini pada awal pagi. Tapi 2 orang dalam satu pagi? Saya pun mengizinkan masuk pengunjung selanjutnya ini, karena walau bagaimana pun saya tetap merasa penasaran.
Untunglah pengunjung kedua bukanlah pelayan dari seorang bangsawan yang menawarkan suap, tetapi seorang pejabat yang datang untuk mengkoordinasikan agenda pada hari itu. Bukan tugas yang sulit, dan setelah bertukar beberapa pemikiran kami, dia pun pergi. Yang mengejutkan saya, pengunjung ketiga segera muncul. Dan kali ini adalah Rastha yang saya pikir kita akan saling jarang berjumpa satu sama lain.
Permaisuri : “Rastha? Betulkah dia?”
Saya menatap penjaga itu dengan terkejut. Dia menundukkan kepalanya dan menjawab, “Ya” dengan ekspresi jijik. Countess Eliza mendecak lidahnya lagi,
“Kenapa dia berani datang kesini?”
Penjaga itupun juga tidak tahu alasannya, dia hanya berdiri di dekat pintu masuk dan mengumumkan kedatangan dari para tamu. Namun, sepertinya dia merasa bertanggung jawab untuk memberitahu saya berita kedatangannya itu. Seketika sang penjaga terlihat merasa malu di wajahnya. Countess Eliza menoleh ke arah saya dengan rasa cemas.
“Apakah Anda akan menerima nya, Yang Mulia?”
Permaisuri : “Baiklah.”
Terus terang saja, saya sebetulnya tidak ingin bertemu sama sekali. Mengapa saya harus menemui seseorang yang hanya akan melukai perasaan saya? Suatu hari, mungkin saya bisa tertawa dan berbicara dengan Sovieshu bahkan jika dia memiliki banyak selir cantik di sisinya. Namun itu mungkin akan terjadi nanti, tidak sekarang. Masih sulit bagi saya untuk memperlakukan kekasih Sovieshu dengan mudah. Namun....
Permaisuri : “Biarkan dia masuk.”
Countess Eliza berteriak kaget,
“Yang Mulia!”
Saya mengambil gagang cangkir kopi yang isinya masih setengah penuh. Saya tidak ingin melihatnya, tetapi Rastha hanyalah seorang selir dan dia cinta pertama Sovieshu. Apa itu cinta? Apakah itu artinya wanita pertama yang dia cintai? Sovieshu bersikap dingin terhadap saya sejak dia pertama kali muncul, dan saya tidak ingin berdebat dengannya lagi. Bahkan jika saya tidak bisa mencintainya dengan penuh semangat, saya tidak ingin di benci oleh kaisar. Saya hanya bisa mentolerir kunjungannya yang satu ini.
Rastha : “Ini pertemuan kedua kita, Yang Mulia. Aku Rastha.”
Saya tidak tahu apakah dia berpura-pura tidak tahu atau tidak peduli tentang kejadian yang menimpa Laura tempo hari, tetapi Rastha menyambut saya dengan senyum cerahnya begitu dia masuk. Countess Eliza tidak bisa menyembunyikan ketidak senangan terhadapnya dan hanya duduk diam. Sementara saya melatih otot-otot wajah agar menjadi ekspresi yang kosong. Untungnya, saya memiliki banyak latihan dalam menyembunyikan emosi saya dalam setiap situasi yang kurang ideal.
Permaisuri : “Tidak seperti sebelumnya, saya yakin Anda adalah selirnya sekarang. Selamat.”
Rastha : “Terimakasih.”
Saya memberi salam mekanis. Apa yang harus saya katakan sekarang? Saya memikirkannya sejenak dan memutuskan untuk langsung ke pokok permasalahan.
Permaisuri : “Jadi apa yang membawa mu kemari?”
Rastha : “Apa yang membawa ku kesini?”
Saya meliriknya. Dia mengulangi pertanyaan yang saya ajukan. Dengan cepat dan dengan suara ceria dia menjawab,
“Anda dan aku seperti saudara perempuan sekarang, Yang Mulia. Kita keluarga.”
Countess Eliza terkejut bahkan dia tersedak kopi dingin. Dia segera meletakkan tangannya di depan mulutnya saat terbatuk dan melototi Rastha. Saya pun sama-sama bingung dan terkejut. Apa yang barusan saya dengar? Saudara perempuan? Keluarga?
Permaisuri : “Keluarga?”
Rastha : “Ya, karena kita memiliki suami yang sama.”
Wajah saya yang halus, hampir pecah. Saya berjuang sebisa mungkin untuk tetap tidak gelisah. Kontrak selir secara harfiah adalah sebuah kontrak. Dan mereka tidak di akui sebagai bagian dari Keluarga Kekaisaran. Selama dalam masa kontrak, seorang selir dapat menerima sejumlah kekayaan yang menguntungkan. Tetapi jika kontrak itu tidak diperpanjang, dia harus meninggalkan Istana Kekaisaran. Anak-anak yang dilahirkan oleh selir tidak dianggap sebagai pangeran ataupun putri. Bahkan jika ayah mereka adalah kaisar sekalipun.
Namun sekarang wanita ini menganggap kita adalah keluarga hanya karena kita memiliki suami yang sama? Ada begitu banyak kesalahan dalam pernyataan nya sehingga saya tidak tahu harus mulai mengoreksi dari yang mana. Saat berusaha meluruskan pikiran, Rastha mengumpulkan kedua tangan nya,
“Bolehkah aku memanggil mu ‘Kakak’ ?”
Udara dingin menyeruak disekitar saya. Saya menekan bibir dan ini adalah batas kedermawanan saya.
“Tidak!”
Ekspresi Rastha menurun. Dia mengedipkan matanya dan menatap saya seolah-olah ketakutan. Nampaknya dia tidak pernah mengantisipasi jawaban seperti ini. Itu lebih menakjubkan lagi bagi saya. Dia seperti menyiratkan, ‘Baiklah. Mari kita menjadi saudara. Aku mengambil suami Anda, jadi bisakah kita bergaul?’ Saya masih tetap berusaha agar terlihat sebaik mungkin.
Rastha : “Apakah itu karena Anda tidak suka pada Rastha?”
Matanya membesar, seperti rusa betina dan mulai berkaca-kaca.
Permaisuri : “Ini bukan masalah apakah saya membenci mu atau tidak.”
Tapi tentu saja sebetulnya saya membenci dia. Lalu saya melanjutkan kalimat,
“Anda mungkin telah resmi menjadi selir kaisar, tetapi bukan saudara perempuan saya.”
Saya mencoba menjelaskan kebenaran yang sulit ini dengan senyuman. Tetapi Rastha hanya semakin berkaca-kaca dan mulai ingin menangis. Dia pasti mengira saya menertawakan nya. Tersenyum tidak berhasil, jadi saya menyudahi pembicaraan itu dan memutuskan untuk mengakhiri pertemuan kita disini.
Permaisuri : “Silahkan pergi.”
Setelah Rastha pergi, semua orang diruangan itu melihat sekeliling dengan perasaan kaget.
“Memang.... Aku benar-benar tidak tahu lagi harus berkata apa tentang dia.”
Countess Eliza tercengang dengan apa yang baru saja dia saksikan. Dan begitu pula dengan wanita dayang lainnya. Kebanyakan dari mereka belum pernah bertemu dengan selir kaisar sebelumnya, apalagi selir yang dengan berani menghadap langsung ke permaisuri. Dengan mengerutkan kening, saya menoleh ke seorang wanita dayang yang umurnya lebih tua.
“Apakah seperti ini sikap seorang selir itu?”
Meskipun saya keluar masuk Istana Kekaisaran sejak saya masih berumur muda, saya belum pernah bertemu dengan para selir kaisar sebelumnya ketika saya sedang di didik di pengadilan. Saya belum cukup umur untuk debut di masyarakat, jadi tidak ada hubungannya dengan selir kaisar.
“Selir jarang melihat permaisuri. Itu hanya akan melukai perasaan masing-masing dan para selir tidak ingin di benci olehnya.”
Saya terdiam. Mungkin Sovieshu menyukai karakter seperti Rastha. Countess Eliza menghela nafas.
“Cepat atau lambat dia membutuhkan seorang dayang. Kaisar berkata bahwa dia adalah orang biasa, tetapi saya khawatir dia tidak seperti orang biasa sama sekali. Aku ingin tahu apakah ada wanita muda yang ingin menjadi seorang dayang untuk selir?”