BAB 9. Terkaget-Kaget

1154 Kata
“Astaga naga bonar jadi dua!” pekik Kaluna dengan kedua bola matanya yang terbelalak. Untung saja piring yang sedang dipegangnya tidak ikut dilempar karena begitu kaget bukan main. “Suaramu bagus juga,” ucap Anggara masih dengan senyuman di bibirnya. Seperti tanpa rasa bersalah sedikitpun, padahal bisa saja dia membuat anak orang kena serangan jantung. “Ish! Ngagetin aja!” teriak Kaluna dengan wajah memberengut. Dibentak begitu justru membuat Anggara terkekeh kecil. Dia yang sejak semenit lalu berdiri saja di ambang pintu dapur, melangkah mendekati Kaluna. Lalu berdiri tepat di hadapan gadis itu. “Kok kaget?” “Kok Om Anggara pulangnya cepat banget? Tadi katanya masih ada kerjaan di kantor, tapi kenapa sekarang sudah sampai sini?” “Terserah saya, kan ini rumah saya.” “Ya tapi kan tadi katanya masih ada kerjaan di kantor! Kenapa sekarang sudah pulang? Kenapa nggak selesein dulu aja kerjaannya?” Kaluna masih tidak terima sebab merasa terganggu. “Loh, terserah saya juga dong, kan itu kantor saya.” “Hemm.” Kening Kaluna mengernyit. “Iya juga sih.” Anggara kembali dibuat tersenyum oleh tingkah polos Kaluna. Sebenarnya memang pekerjaannya di kantor belum selesai, malah masih banyak sekali. Namun Anggara sengaja membawa pekerjaan itu pulang. Dia akan melanjutkan di rumah saja dan tidak sabar untuk pulang melihat hasil tugas Kaluna. “Bagaimana? Sudah jadi risotto dan steaknya?” Anggara menaikkan kedua alisnya beberapa kali. Tanpa menjawab, Kaluna menggerakkan matanya ke arah piring yang sedang dia pegang, alisnya juga dinaikkan beberapa kali. “Ohh.” Anggara ikut melihat pada sepiring risotto yang tampak menggiurkan itu. “Om Angga nggak usah khawatir, semuanya beres!” ucap Kaluna dengan jumawa. Dia sangat percaya diri dengan hasil masakannya. Sebab dia sudah mencobanya sendiri tadi. Lalu gadis itu meletakkan piring berisi risotto yang masih mengepulkan asap di atas meja makan, bersebelalahan dengan piring ceper putih berisi tenderloin steak. Anggara yang sedari tadi mengikuti langkah Kaluna, berdiri dengan sabar sambil mengamati. “Silakan dicoba Tuan Muda Anggara,” ucap Kaluna dengan gestur bagaikan pelayan yang sedang berhadapan dengan pangeran kerajaan. “Terima kasih, Nona cantik.” Lalu Anggara menggeser kursi dan duduk di sana. Yang pertama kali dia coba adalah tenderloin steak barbeque. Saat memotongnya saja Anggara sudah curiga, harapannya akan pupus hari ini. Dan benar saja, begitu potongan pertama itu masuk ke mulutnya, daging berlemak tersebut bagaikan lumer di lidah Anggara. Bagaimana mungkin … bisa selezat ini? Anggara membatin dengan raut wajahnya yang tegang. Kemudian dia segera memotong daging untuk suapan yang kedua. “Wuahhh!” desis pria tampan itu tanpa sadar. Melihat ekspresi Anggara yang tampak terpaku setelah satu suapan. Dan lalu melanjutkan suapan yang kedua dengan tidak sabar. Senyum penuh kemenangan langsung terpampang di wajah manis Kaluna. Gadis itu menyilangkan kedua tangannya di d**a. “Bagaimana? Enak kan Om steak buatanku?” Anggara menoleh, dia tidak langsung menjawab. Melainkan menghela napas dalam-dalam. Raut wajahnya terlihat sekali kalau dia sedang sangat kecewa dengan keberhasilan Kaluna memasak steak. Jika dia bilang tidak enak, maka itu adalah sebuah bohong besar. Anggara Mahameru Yudhistira bukanlah seorang yang licik dan suka berbohong. Bahkan dalam berbisnis pun, sebegitu besarnya godaan dan celah untuk berbuat licik, tetap saja dia teguh pendirian. Memilih bekerja dan berusaha keras untuk mendapatkan kesuksesan seperti sekarang ini. “Ya, steak ini lumayan enak, tapi saya belum coba risottonya.” Sulit sekali Anggara mengucapkan bahwa steak itu sangat lezat. Dia masih punya satu harapan, berharap risotto yang akan dimakannya rasanya akan mirip nasi uduk atau nasi liwet saja sekalian. “Hohohooo silakan dicoba risotto buatan ku, Om Angga. Dijamin lidah Om Angga akan termehek-mehek dengan rasa risotto ini,” tandas Kaluna dengan penuh percaya diri. “Cih! Termehek-mehek. Paling juga rasanya seperti nasi uduk atau nasi liwet,” ejek Anggara untuk menjatuhkan mental Kaluna. Dia mulai menyuapkan sesendok risotto yang masih mengepulkan asap tipis ke mulutnya. Dan seketika itu juga, sendok yang dipegang oleh Anggara terjatuh begitu saja ke atas piring, sehingga menimbulkan bunyi denting yang nyaring. Tangannya mendadak lemas sambil berusaha menelan risotto masuk ke tenggorokannya. Seumur hidupnya dia sudah menikmati risotto dari puluhan restoran Italia, termasuk di negara Italianya langsung. Anggara bisa menilai risotto buatan Kaluna ini rasanya nyaris sempurna. Bahkan sudah seperti menikmati risotto buatan restoran terkenal. “Ba—bagaimana bisa ….” Anggara tak mampu melanjutkan ucapannya. “Haha! Tentu saja bisa.” Dengan sombongnya Kaluna menggeser kursi di samping Anggara, lalu dia duduk di sana, tepat di sebelah pria tampan itu. Tanpa minta izin lebih dulu, Kaluna langsung mengambil sendok baru dari atas meja, kemudian dia ikut menyuapkan risotto ke mulutnya, dari piring yang sama. “Maaf ya Om, tapi aku juga lapar.” Kaluna terus menyuapkan nasi dengan tekstur creamy itu ke mulutnya. Anggara menggeser piring risotto ke depan Kaluna. “Oke, saya makan steaknya, saya juga lapar,” ucapnya lalu mulai memotong kembali daging steak di depannya. Selesai makan, dengan cekatan Kaluna mencuci seluruh piring kotor bekas makan dan bekas dia masak tadi di wastafel dapur. Pandangan Anggara selalu mengikuti Kaluna kemanapun gadis itu pergi. “Om, rumah sebesar ini, masa’ sih nggak ada pelayannya satupun? Yang kayak di drama-drama Korea gitu loh Om, yang namanya penthouse kan yang punya orang-orang kaya, nah pelayannya pasti banyak tuh. Sampai ada kepala pelayannya segala,” oceh Kaluna sambil terus mencuci piring. “Ada kok, mereka datang jam 5 subuh, lalu sudah pulang lagi jam 8,” jawab Anggara dengan santai. Sontak Kaluan menghentikan kesibukannya, dia menoleh ke belakang. “Hah?! Gimana Om maksudnya? Mereka?” “Ya, mereka. Ada 7 orang pelayan yang bekerja di rumah ini, tapi mereka masing-masing hanya bekerja 3 jam setiap harinya di sini.” Kaluna memiringkan wajahnya sedikit. “Hemm? Kenapa?” “Sebab saya tidak suka banyak orang di rumah ini, cukup 3 jam saja mereka di sini untuk membersihkan seluruh ruangan rumah. Saya butuh privacy.” “Dih.” Kaluna mengangkat sebelah sudut bibir atasnya. Lalu dia kembali membalik badan untuk melanjutkan mencuci piring. “Orang aneh,” desisnya. “Saya dengar itu, Kal.” “Ups!” Selesai mencuci piring, Kaluna berjalan menuju kulkas empat pintu di sudut dapur. Tadi dia melihat banyak sekali minuman dingin di dalam kulkas, tenggorokannya terasa haus. Setelah makan belum sempat minum tadi. “Karena tugasku sudah selesai. Aku sudah boleh pulang kan, Om?” tanya Kaluna sambil membuka pintu kulkas. Dia tidak menoleh sama sekali pada Anggara. “Belum boleh,” jawab Anggara dengan nada datar. “Loh? Kok!” Kaluna yang sudah membuka pintu kulkas membalik badannya, belum jadi mengambil minuman dingin. Raut wajahnya tampak memancarkan protes. Anggara berdiri dari duduknya, lalu perlahan tapi pasti dia melangkah menuju Kaluna. Dengan tatapan tajam yang sontak mendominasi keadaan. Karena Kaluna langsung terpaku ditatap sedemikian intens oleh si pria kulkas. Anggara terus berjalan hingga dia berhenti tepat di hadapan Kaluna yang masih terpaku. Untuk beberapa saat mereka hanya saling bertatapan tanpa bicara. Kaluna menahan napas ketika Anggara memajukan wajahnya, lalu tangan kirinya terulur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN