Chapter 9

1365 Kata
"Seriusan mau kesana sama Bram?" Risa menatap Vani dengan tatapan terkejut. "Ayolah, Van. Kenapa si Jay ditanggepin?" Vani merasa maklum bisa Risa terlihat terkejut dengan keputusannya yang tiba-tiba begini. Bahkan sebenarnya ia juga tidak ingin melakukan hal yang diminta oleh Jay. Masalahnya adalah ia sangat dekat dengan kakak Jay. Dirinya sudah menerima undangan itu dari kakak Jay melalui chat. Hanya saja Vani belum berkabar apakah dirinya bisa datang atau tidak.  Resepsi pernikahan itu berlangsung di Bali. Memang tanggal resepsinya adalah saat weekend dimana sebenarnya Vani bisa pergi bila ia mau. Hanya saja dirinya sedang mempertimbangkan mengenai pekerjaannya yang akan terganggu bila ia memaksa datang ke Bali hanya sebentar. "Aku deket sama Kak Mega, Sa. Nggak enak kalo nggak dateng." Sebenarnya Vani akhirnya memutuskan untuk datang karena sebelum membaca pesan dari Jay, dirinya menerima pesan dari Bayu sesaat sebelum memasuki toko Bram. Dirinya perlu pergi ke Bali untuk mengurus salah satu hotel disana. Jadi Vani pikir itu adalah timing yang tepat dimana Vani bisa pergi ke Bali untuk bekerja sekaligus menghadiri resepsi pernikahan kak Mega. "Bramnya bisa?" tanya Risa. "Bisa." "Kamu bayarin tiketnya? Biaya hotel?" tanya Risa kemudian. "Aman." "Kalian berangkat berdua aja?"  Risa seolah sangat penasaran. "Iya." Vani pun menghentikan kegiatan menatap berkasnya. Ia lantas menatap Risa. "Kamu mau ikut?" tanya Vani. Risa pun menganga karena terkejut. "Mohon maaf, Bu Bos. Kerjaan menumpuk." Vani pun terlihat berpikir sementara. "Kalo Yoga?" Risa pun langsung tersenyum dan menatap Vani dengan tatapan menggodanya. "Cie.. Iya juga ya si Yoga. Kenapa kamu nggak pergi sama Yoga aja?" "Si Jay nantangin datengnya sama Bram. Kalo kamu sama Yoga bisa ikut, nanti kita liburan di Bali." Risa pun mendengus. "Aku pengen banget, Van. Tapi Bu Nara nanti marah-marah." Vani pun tersenyum. "Nanti aku rayu-rayu Bu Nara biar ngizinin kamu sama Yoga bolos." Risa menghela napasnya. Terlihat berubah menjadi tidak bersemengat. "Tapi minggu ini lagi ngejar proyek banget. Aku nggak bisa dan Yoga juga kayaknya juga nggak bisa. Dia malah lebih numpuk dari aku." Vani pun terdiam dan menganggukkan kepalanya karena merasa maklum. Bila Vani terlalu memaksakan agar mereka bisa pergi berlibur, maka itu sama saja terlalu egois. Bahkan jika Bu Nara mengizinkan Risa dan Yoga pergi ke Bali dalam beberapa hari, maka tetap saja itu akan berdampak cukup signifikan terhadap pekerjaan mereka. "Oke deh. Berarti nanti aku sama Bram aja kesana." ------------- "Halo, Mama sayang." "Jadi gimana, Bram? Bisa nggak?" "Itu acaranya kapan ya, Ma?" "Sabtu ini. Di Bali. Papa Mama mau berangkat hari Jumat. Kamu gimana?" "Sabtu?" Bram berusaha mengingat apakah dirinya memiliki agenda di hari sabtu.  Hanya perlu beberapa saat hingga dirinya membulatkan mata ketika mengingat apa yang akan ia lakukan di hari itu. "Yah, Mama. Bram ada acara." Terdengar decakan sebal di sebrang sana. "Kamu ini. Sibuk terus. Padahal cuma liatin laptop." "Tapi aku udah siap nafkahin anak orang, Ma." Tidak lama kemudian terdengar suara kekehan dari sebrang sana. "Iya, ya. Gitu aja terus ya? Biar nyalip Kakakmu. Jadinya nggak bisa ikut?" "Iya, Ma. Nggak bisa. Titip salam ya buat Kak Roy. Bilangin aku bentar lagi nyusul." Mamnya pun kembali tertawa. "Kayak udah ada calon aja." Kini Bram yang terkekeh. 'Udah ada, Ma. Ini lagi proses mepet," gumam Bram dalam hatinya. "Kamu kapan pulang? Betah banget disitu sendiri. Apa diem-diem udah ada istri kamu jadi betah tinggal disana?" Bram pun menepuk keningnya sendiri. Padahal dirinya tinggal di tempat yang tidak jauh dari rumah orang tuanya, namun ia justru sangat jarang pulang seolah dirinya tinggal di kota lain saja. Hal itu membuat Bram merasa bahwa dirinya adalah anak yang durhaka. "Iya, Mama sayang. Besok Bram pulang." "Bener, ya? Kalo enggak pulang nanti Mama tiba-tiba grebek ke rumah kamu. Siapa tau ternyata menantu Mama selama ini disembunyiin." Bram terkekeh dan tidak menyangka ibunya itu bisa berpikir demikian. "Kalo mau grebek jangan ngasih tau dong, Ma. Aku jadi mau siap-siap ini biar nggak ketahuan." Bram ikut tertawa mendengar ibunya yang kini tertawa. Semua ini memang hanya omong kosong belaka namun entah mengapa terdengar lucu bagi dirinya sendiri dan ibunya. "Iya, iya. Besok pulang ya. Kok betah banget tinggal sendirian disana." Bram pun hanya tersenyum. "Ya udah gitu aja. Biar Mama kabarin ke Papa kalau kamu nggak bisa ikut ke resepsinya Roy." "Oke, Mama. See you tommorow, Mam. I love you." "Ya, ya. Cepet pulang ya. Love you too." Sambungan telepon pun kini terputus. Bram segera mencari kontak Angel di ponselnya dan langsung menelpon kontak gadis itu. Tidak perlu waktu lama hingga teleponnya diangkat. "Halo, My Angel. Udah di depan, nih." "Oke." Lalu sambungan telepon pun langsung dimatikan. Bram mengernyitkan keningnya heran dan menatap ke layar ponsel. Dirinya pun menghela napas. "Singkat, padat, dan sangat jelas." Dirinya kemudian terdiam menatap wallpaper ponselnya kini. Foto dirinya dan Vani sengaja ia gunakan sebagai wallpaper. Tadinya Bram ingin menggunakannya sebagai homescreen. Hanya saja itu terlalu berbahaya bila di tempat umum, terlebih bila ponselnya menyala saat di atas meja. Jadi lebih baik digunakan sebagai wallpaper saja. Bram pun memandangi foto tersebut seraya tersenyum. Tok tok Suara ketukan itu membuat Bram langsung menoleh ke arah jendela. Rupanya Angel telah berada di dekat pintu mobil. Bram pun segera membuka kunci sehingga Angel langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. "Dah, hayuk." "Oke. Let's go." ------------ "Emang acara apa sampe seniat ini? Kayaknya selama ini lo paling masa bodoh soal penampilan," ucap Angel. "Ya, gimana ya? Gue udah ganteng banget soalnya. Pesona gue udah terlalu wah jadi penampilan biasa pun tetep bikin para cewek tergila-gila." Angel yang tengah menatap beberapa atasan pria pun menunjukkan ekspresi mualnya mendengar ucapan dari Bram. "Idih," ujarnya. "Pokoknya tolong pilihin outfit yang bikin pesona gue makin tumpah-tumpah, ya!" "Ini acaranya ngapain dulu, Bambang?" Angel menatap ke arah Bram dengan pandangan kesalnya. "Acara nikahan." "Lah, terus kenapa lo minta bantuan gue nyari outfit yang casual?" Bram pun menyilangkan tangannya di depan d**a dan menatap Angel dengan serius. "Ya kan dari sini ke bandara dan dari bandara ke hotelnya, terus di hotelnya, dan pasca acara respsinya gue nggak mungkin pake tuxedo terus, Sayang." Angel pun menganga menatap Bram. "Hah? Seriusan!" Bram menganggukkan kepalanya. "Iya seriusan, Sayang." Angel masih tidak habis pikir dengan Bram. Ia pun menghentikan kegiatan menyentuh atasan yang tergantung. Dirinya kemudian menatap Bram dan menyilangkan tangannya di depan d**a. "Enggak, deh. Bentar." Angel menatap Bram dari ujung rambut hingga ke bawah. Lelaki itu tengah mengenak sandal santai saat ini sehingga Angel dapat melihat kuku kaki lelaki itu. Maka Angel menatap Bram dari ujung rambutnya hingga ujung kuku kakinya. Ia melakukannya beberapa kali. Angel kemudian menggerakkan tangannya dan menempelkan punggung tangannya di kening Bram. "Nggak anget. Lo.. sehat, kan?" tanya Angel seraya mengangkat tangannya dari kening Bram. "Sehat banget gue." Bram langsung menarik tangan Angel dan mengarahkannya untuk menyentuh leher Bram. Ia ingin agar gadis itu juga memeriksa suhu di lehernya. Selain kedua sisi leher, Bram juga mengarahkan tangan Angel untuk menyentuh kedua pipinya.  "Tuh. Suhu tubuh gue normal semua. Sehat gue, tuh." Angel pun langsung menarik tangannya dari genggaman tangan Bram. Ia menatap Bram dengan bingung. "Enggak. Maksud gue. Lo kenapa tumben banget seribet ini? Biasanya juga main berangkat-berangkat aja. Liat aja lo sekarang." Angel kembali menatap Bram dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki. "Pake kaos rumahan sama celana rumahan selutut plus sandal jepit yang kayak gitu. Lebih keliatan kayak lagi di rumah bukan mau ke mall." Bram pun menunduk menatap dirinya. "Lah, kenapa emang? Gue gini doang juga ganteng." Angel menghela napasnya. "Bukan. Maksud gue lo tuh orangnya simpel dan cuek. Ini kenapa sekarang jadi mikiran kostum banget deh?" Bram pun tersenyum. Dirinya kemudian merangkul Angel. Tangannya menyentuh pundak lelaki itu. "Ini edisi niat banget. Jadi tolong bantuin gue pilihin outfit yang kece, ya?" Angel pun terdiam dan menatap Bram dengan malas. Lelaki itu memang secara tiba-tiba meminta bantuannya untuk menemani membeli baju. Angel kira hanya sebatas menemani saja. Ternyata Bram meminta bantuannya untuk memilihkan.  "Ya, ya, ya?" Bram tersenyum dengan tulusnya.  Angel masih menatap lelaki di sebelahnya itu dengan bingung. "Kenapa enggak ngambil baju di toko sendiri aja, Bambang?" Bram pun masih menampilkan senyumannya. "Sekalian aja nyari di mall. Biar puas." Angel pun hanya terdiam. Bram kemudian mengelus rambut gadis itu. "Oke. Sekarang pilihin outfit biar gue makin kece, ya?" pinta Bram lagi seraya mengelus kepala Angel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN