Chapter 11

1506 Kata
Acara pernikahan kakak Jay berlangsung ketika malam minggu. Pesta terselenggara di hotel yang letaknya tidak jauh dari hotel milik Vani. Bram dan Vani berangkat bersama layaknya pasangan kekasih sungguhan. Keduanya keluar dari pintu kamar hotel secara bersamaan. Kamar mereka bersebelahan. Bram pun tersenyum seraya menanti Vani melangkah menghampirinya. Kamar Bram lebih dekat dengan lift sehingga Bram akan menanti hingga gadis itu mencapai depan kamarnya dan mereka akan melangkah bersama menuju lift. "Ayo, Bram." Bram pun menganggukkan kepalanya dan mereka melangkah menuju ke dalam lift. Begitu masuk ke dalam lift dan pintu lift tertutup, rasanya d**a Bram membuncah bahagia. Ini baru pertama kalinya mereka benar-benar berdua dalam ruangan sekecil lift. Dunia ini rasanya milik mereka saja. Sebelum-sebelumnya saat berada di lift selalu ada orang lain selain mereka.  Akan tetapi kali ini benar-benar hanya berdua saja. "Nanti kita dianter Pak Nyoman, ya?" "Dianter supir?" tanya Bram memperjelas. Lelaki yang Vani sebutkan itu adalah orang yang tadi menjemput mereka di bandara. "Iya, Bram." Bram terdiam sejenak kemudian berpikir. Ia tidak ingin kehilangan momen dengan Vani. "Aku aja yang nyetir. Tempatnya juga deket," usul Bram. Vani menoleh kepada lelaki itu. Tadinya Bram kira dia memang akan menyetir karena Vani tidak ada membahas apapun mengenai supir hingga kini mereka berada di dalam lift. "Tapi udah terlanjur minta tolong Pak Nyoman. Nggak enak aja kalau ngebatalin," ucap Vani. Ia tidak berpikiran untuk meminta Bram yang langsung menyetir. Rupanya lelaki itu tidak merasa keberatan. "Aku nanti kasih tip ke beliau. Lagi pengen nyetir di Bali soalnya," ucap Bram terkekeh. 'Maksudnya biar kita bisa berduaan di mobil,' ujar Bram dalam benaknya. Bila ada supir, maka kebersamaan mereka akan terasa janggal. Itu karena adanya orang ketiga di antara mereka. Bila Bram yang menyetir maka merasa terasa seperti tengah kencan bila hanya berdua saja. Vani terdiam sejenak seolah tengah berpikir. Dirinya kemudian menganggukkan kepala dan menatap Bram. "Oke kalo gitu." Bram merasa ingin melakukan selebrasi karena Vani menyetujuinya. Ia hanya mampu berteriak dalam hati seraya tersenyum sumringah.  Pintu lift terbuka dan mau tidak mau mereka melangkah meninggalkan lift. Begitu keluar lobi, nampak pak Nyoman dengan senyum ramahnya. Beliau tengah menanti bersamaan dengan mobil yang telah siap. Bram pun langsung menghampiri lelaki itu dan mengatakan apa yang terjadi. Tidak perlu lama, Bram menyerahkan beberapa lembar uang dan nampak pak Nyoman sangat berterima kasih. Vani hanya tersenyum melihat interaksi keduanya. "Hati-hati ya, Mbak Vani." Vani pun menganggukkan kepalanya atas pesan lelaki tersebut. "Terima kasih banyak ya, Pak. Maaf kalau merepotkan." Bram kemudian melangkah memutari mobil untuk menuju pintu mobil satunya. Ia membukakan pintu itu untuk Vani. Vani pun tersenyum dan menggumamkan terima kasih. "Terima kasih ya, Bram." Bram tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Begitu Vani masuk ke dalam mobil, Bram menutup pintu mobil tersebut dan memutari mobil kemudian masuk ke dalam mobil. --------- Bila Bram belum pernah memuji bahwa Vani begitu cantik, maka Bram akan sering melakukannya mulai sekarang dalam hati. Ya, dalam hati saja dahulu. Gadis itu benar-benar memiliki aura keanggunan yang sangat menakjubkan. Bram suka melihatnya. Vani benar-benar memiliki aura kecantikan yang sangat memikat. Bahkan kedatangan gadis itu membuat beberapa pasang mata dapat menoleh kepadanya. Itu membuktikan bahwa memang Vani memiliki aura kuat yang tidak terbantahkan. Beberapa orang yang mengenali Vani langsung menyapanya dengan ramah. Bram pun hanya bisa tersenyum. Tadinya sebelum mereka berangkat, Vani telah mengatakan bahwa sebaiknya mereka bersikap layaknya teman di depan orang lain. Cukup di depan Jay saja agar tidak menimbulkan masalah baru.  "Hai, Vani!" sapa Luisa.  Gadis itu adalah orang yang Vani kenal dengan baik. Dia terlihat terkejut ketika Vani datang bersama seorang lelaki. "Wah. Ini siapa?" tanyanya terlihat antusias. "Hai, Luisa! Kamu sejak kapan di Bali?" "Seminggu yang lalu. Pacar?" tanya Luisa seraya menggoda Vani dengan senyumannya. "Temen aku." ------------ "Wah. Dateng juga ya ternyata?" Jay datang menghampiri Vani dan Bram yang tengah berbincang berdua.  Bram pun tersenyum kepada Jay. Dirinya ingin mengucapkan terima kasih kepada lelaki itu karena sudah berjasa besar dalam trip-nya kali ini bersama Vani. Sayang sekali Bram hanya bisa mengatakannya dalam hati karena tidak mungkin ia mengucapkannya secara langsung. Itu sama saja dengan membongkar hal yang ingin Vani rahasiakan. Vani menunjukkan senyumannya dengan terpaksa. "Halo, Jay. Kak Mega dimana?" Vani bertanya karena ia tidak melihat keberadaan pengantin di kursi pelaminan. Itu sebabnya ia berdiam dulu untuk berbincang dengan Bram seraya menanti kemunculan kedua mempelai. "Masih foto-foto bareng keluarga di photobooth." Jay menatap Vani dan Bram seraya bergantian. Dirinya kemudian menatap Bram cukup intens. Vani tidak tahu harus membicarakan apa dengan Jay karena sebenarnya ia merasa malas untuk berbincang dengan lelaki itu. Dirinya berharap kak Mega dapat segera muncul sehingga ia bisa menghampiri gadis itu dan berbincang dengannya. Vani rasa tidak perlu terlalu lama berada disini karena ia hanya datang sebagai tamu undangan saja. Jadi mungkin dua jam sudah termasuk cukup lama untuk ukuran bertamu. Dirinya memang dekat dengan Kak Mega namun tidak sedekat itu. Setidaknya datang kesini sudah cukup baginya. Ia malas terlalu lama berada di dekat Jay. Lelaki itu bisa saja melakukan hal-hal yang membuatnya tidak nyaman terlebih ini adalah acara dimana banyak orang berkumpul. Ia khawatir Jay melakukan hal nekat seperti ketika mereka kuliah dulu dimana lelaki itu secara begitu saja menyatakan perasaannya di hadapan banyak orang. "Kalian berangkat kapan ke Bali?" tanya Jay. "Tadi pagi," ujar Bram menjawab pertanyaan dari Jay. Jay pun tersenyum seolah meremehkan. "Jadi ceritanya kalian berangkat berdua? Atau rame-rame tapi sengaja dateng ke pesta ini cuma berdua?" Jay seolah tidak merasa puas hanya dengan satu pertanyaan saja. "Kenapa, Jay? Aku rasa itu bukan urusan kamu." Jay pun terkekeh seraya memasukkan tangannya ke saku celana. "Urusan aku dong. Kalo udah bersangkutan sama kamu, jelas termasuk urusan aku." Bram sepertinya paham mengapa Vani sampai harus melakukan semua ini. Sepertinya Jay memang benar-benar meresahkan. "Udah ditolak berkali-kali, masih aja ngarep." Gumaman Bram itu termasuk dalam volume yang cukup besar sehingga Vani dan Jay dapat mendengarnya. Bram kira tadinya Jay akan emosi dengan langsung menarik kerah bajunya namun rupanya lelaki itu justru terkekeh. "Jadi lelaki itu harus pantang menyerah. Selagi bendera kuning belum berkibar, masih ada kesempatan." Jay kemudian menggerak-gerakkan alisnya seraya menatap Bram dengan ekspesi percaya diri yang sangat menjengkelkan. Bila saja ini bukan tempat umum maka Bram rasanya ingin mengatakan kalimat-kalimat yang ia pendam sejak tadi.  Lelaki di hadapannya ini selain terlalu menyebalkan juga terlalu percaya diri. Kadar percaya diri yang terlalu berlebihan sehingga Bram muak melihatnya. Dirinya saja kesal, apalagi Vani yang sudah menghadapi lelaki itu selama bertahun-tahun. "Hai, Jay!" Jay pun secara reflek menoleh ke belakang Vani ketika mendengar suaranya dipanggil. "Oke. Aku nyambut tamu yang lain dulu ya, Van. Nanti aku samperin kamu lagi. Kita ngobrol tentang masa depan." Jay memberikan senyuman manisnya kemudian berlalu begitu saja. Seolah sangat sengaja untuk mengabaikan Bram.  Melihat hal itu Bram pun hanya menghela napasnya. Ia kemudian menatap Vani yang terdiam. "Orangnya nyebelin, ya?" tanya Bram. Vani menoleh kepada Bram kemudian tersenyum. "Lumayan. Yang penting sabar aja ngehadapinnya." Vani sendiri rasanya sudah kehabisan kesabaran untuk menghadapi lelaki itu namun dirinya tetap berusaha bertahan. Biar bagaimana pun ia harus menahan diri di tempat ramai seperti ini. Pengendalian diri terutama pengendalian emosi adalah hal yang sangat penting. Vani kemudian menoleh ke arah kursi pelaminan. Nampak kak Mega dan sang suami melangkah menuju kesana. Dirinya pun menoleh ke arah Bram. "Bram. Itu Kak Mega udah ada. Ayuk nyamperin kesana," ajaknya. Bram pun menganggukkan kepalanya dan mulai melangkah. "Halo, Vani! It's that you?"  Langkah keduanya terhenti ketika ada seorang gadis yang memanggil Vani dengan bersemangat.  Vani pun menunjukkan senyumannya kepada gadis itu. Bram hanya bisa tersenyum seraya memperkenalkan diri ketika gadis itu nampak menatapnya bingung.  Setelah perkenalan dirinya secara singkat, gadis yang bernama Neta itu pun asik berbincang dengan Vani. Teman Vani lumayan banyak juga. Gadis itu sepertinya memiliki begitu banyak relasi. Tidak mengherankan memang. Vani terlihat sangat ramah terhadap semua orang. Gadis itu benar-benar pandai bergaul dan juga pintar membuka topik bahkan meski sudah tidak lama bertemu dengan teman-temannya. Gadis itu membuat begitu banyak orang merasa nyaman berbincang dengannya. Benar-benar tipikal social butterfly. Setelah perbincangan singkat antara Vani dan Neta berakhir, Vani pun mengajak Bram untuk menghampiri sang mempelai. Keduanya melangkah beriringan. Baru saja maju beberapa langkah, Bram dapat mendengar suara panggilan yang memanggil dirinya. "Bram?" Dirinya secara reflek menoleh ke arah kanan, begitu juga dengan Vani. Suara itu cukup terdengar oleh keduanya meski tidak terlalu keras. Begitu Bram menoleh, dirinya pun langsung membulatkan matanya.  "Mama?" Wanita paruh baya itu jelas-jelas adalah mamanya sendiri. Beliau melangkah menghampiri Bram dengan wajah kebingungannya. Dirinya kemudian teringat akan pesta pernikahan sepupu jauhnya yaitu Kak Roy. Pesta respesi itu dilaksanakan di Bali saat hari sabtu. Begitu mengingatnya dengan baik, Bram pun menoleh ke arah kursi pelaminan dimana pengantin berada. Ketika menatap pengantin lelaki yang tengah berbincang dengan penganti perempuan yang Bram ketahui bernama Mega, matanya pun membulat. Bagaimana bisa ia baru memperhatikan mempelai pria itu sekarang. Itu jelas-jelas adalah sepupunya sendiri. "Bram, kamu disini?" Bram kemudian menoleh kepada mamanya yang kini telah berada di hadapannya. Pandangan wanita itu bergeser dari wajah shock Bram menuju ke gadis cantik bersamanya. Ia tersenyum karena gadis itu tersenyum. "Ini siapa?" tanya mama Bram.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN