Part 12
[Mas, ibu mas ngilang lho gak ada di kamarnya. Tadi pulang kondangan, aku langsung nengokin ibu mas, tapi beliau udah gak ada, gak ada yang tau kemana]
Rasanya shock, benar-benar shock. Ibu menghilang? Lalu kemana? Ibu kan gak bisa jalan. Astaga!
Duh, aku jadi orang ceroboh banget ya, gara-gara mabuk kepayang sampai lupa ibu sendiri di rumah.
"Mas? Hei, Mas? Kok bengong sih? Kenapa wajahmu shock begitu?" Tangan Elvina dadah-dadah di depan wajahku.
"Kamu kenapa, Mas?" tanyanya lagi.
"El, aku harus pulang dulu. Aku harus cari ibu."
"Lho memangnya ibu kemana?"
"Aku lupa ninggalin ibu sendirian El, sekarang ibu ngilang gak ada di rumahnya."
"Jangan ngaco kamu, Mas! Kamu kata siapa?"
"Ini kata Mbak Ulfa."
"Memangnya kemarin kamu gak nitipin ibu ke tetangga?"
Aku menggeleng pelan. "Mbak Ulfa kemarin berhalangan. Aku benar-benar lupa, El."
Elvina terdiam, menatapku dengan tatapan entah. Akupun tak bisa mengartikannya.
Aku bangkit, masuk ke kamar mandi, untuk bebersih diri terlebih dahulu karena rasanya begitu gerah.
"Mas, siapa tahu ibu dibawa Arini pergi?" ucap Elvina menghenyakkanku.
Aku terdiam sejenak. Benar juga, Arini kan sayang sekali sama ibu. Dia pasti yang sudah membawa ibu pergi dari rumah. Kurang ajar dia, gak ngomong dulu sama aku.
"Benarkan, Mas? Lebih baik kamu jangan ceraikan dia deh! Nanti siapa yang mau merawat ibumu kalau kalian resmi bercerai."
"Lho, kan ada kamu El?"
"Ingat Mas, aku kan kerja. Dan lagi aku dah ada Aqilla. Ya kalau gitu kamu sewa ART aja buat ngurusin ibu. Duit kamu kan banyak, Mas."
Deg! Entah kenapa aku jadi tersinggung dengan ucapan Elvina.
"Mas, kapan dong kita pindah ke rumah baru? Aku udah gak sabar lagi pengen nempatin rumah itu, masa belum selesai juga perbaikannya?"
Aku tersenyum kecut.
"Sabar El, nanti kuboyong kalau udah kelar semua."
"Oke, Sayang. Kalau bisa jangan lama-lama."
Aku mengangguk. Entah bagaimana nasibnya rumah baru itu, aku belum bisa setoran yang kedua. Apakah nanti ditarik sama developernya? Huh! Pusing sekali kepalaku ini.
Mendadak kepalaku berdenyut-denyut memikirkan ini dan itu yang tak kunjung menemukan solusi.
"Aku pergi dulu, mau cari ibu."
"Mas, sudahlah, gak usah khawatir. Aku yakin, Arini pasti yang sudah membawa ibu. Nanti aku bantu cari ibu, kalau sampai siang ibu belum ada kabar. Mending kita sarapan dulu, terus kamu kan harus siap-siap berangkat ke kantor."
Aku masih diam, apa jadinya Elvina kalau dia tau aku sudah tak bekerja lagi?
"Oh ya Mas, kamu bilang saja sama Mbak Ulfa, kalau ada kabar terbaru tentang ibu, suruh hubungi kamu."
"Iya," jawabku singkat. Sementara hatiku masih berkecamuk.
"Ini dimakan, aku masakin spesial buat kamu. Rica-rica sosis bakso pedas manis," ujar Elvina.
Dia memang paling tau sama kesukaanku, beda dengan Arini.
"Makasih ya, El."
Elvina tersenyum. "Sayang, Aqilla sini, yuk kita sarapan bareng-bareng sama ayah."
Gadis mungilku mengangguk. Elvina memang istri idaman, dia pun sudah memandikan putri kami, putri kami sudah cantik.
"Bunda, ayah, aku seneng deh, sekarang ayah tinggal bersama kami. Aku jadi gak kesepian deh."
Kuusap kepalanya dengan lembut. "Iya sayang, tiap hari ayah akan selalu bersama kalian."
"Mas, kalau kamu anterin aku ke tempat kerjaku dulu, kamu telat gak sampai ke kantornya?"
"Emmmh enggak kok."
"Ya sudah kalau gitu anterin aku dulu ya, Mas, sekalian mau nitip Aqilla ke rumah penitipan anak."
Aku mengangguk. Sekarang cari aman dulu, aku takkan mengatakan apapun pada Elvina.
Kulajukan mobilku keluar dari rumah. Mengantar istriku bekerja.
"Semangat kerjanya, sayang," ucapku saat Elvina dan Aqilla turun dari mobil.
Elvina dan Aqilla tersenyum dan melambaikan tangan saat mobilku mulai melaju pelan.
***
Mbak Ulfa langsung datang menghampiriku saat aku turun dari mobil.
"Mbak, bagaimana? Apa udah ada kabar dari ibu?"
Mbak Ulfa menggeleng. "Belum ada, Mas. Gak ada yang tau ibu pergi kemana."
"Arini datang kesini gak, Mbak?"
"Tidak kok Mas, Mbak Arini gak ada datang ke sini. Aku udah tanya-tanya sampai ujung jalan gak ada yang tahu, Mas."
"Ya sudah, Mbak. Aku masuk dulu. Terima kasih banyak ya."
Mbak Ulfa mengangguk.
Kuusap wajah dengan kasar. Ya ampun Bu, ibu pergi kemana sih? Menyusahkan saja.
Kuperiksa ke dalam kamar, aku tidak menemukan kursi roda ibu. Baju ibu juga masih utuh di lemari.
Aku mencari ke kotak perhiasan ibu. Shock melihatnya karena kotak itu kosong, padahal kemarin aku masih lihat kalung dan gelangnya tersimpan dalam kotak. Ah, kenapa kemarin tak kuambil semuanya sih?!
Kuperiksa lemari di kamarku. Benar, sebaiknya aku menggadaikan sertifikat rumah ini agar bisa bayar hutang. Hampir semua kuperiksa bahkan kuobrak-abrik, tapi nihil, aku tak menemukan apapun. Apa Arini sudah membawanya? Sial! Aku kalah cepat dengannya. Ternyata Arini bukan wanita yang polos seperti yang kukira.
Pikiranku makin gak tenang. Berjalan mondar-mandir tak jelas, sembari berpikir apa yang harus kulakukan. Sebaiknya aku cari Arini dulu untuk memastikannya. Akan kurebut sertifikat rumah ini kembali. Tapi harus cari kemana?
Kupacu kembali mobilku menuju panti, siapa tahu dia kesana lagi.
"Maaf Mas, Mbak Arini atau ibu-ibu yang mas sebutkan tadi gak pernah datang ke sini, Mas," seru petugas panti.
"Bapak yakin?"
"Ya, saya yakin 1000%."
"Coba cek lagi ke dalam, Pak. Siapa tahu bapak melewatkannya. Arini membawa ibuku pergi tanpa sepengetahuanku, Pak. Ibuku lumpuh."
"Tidak ada, Mas. Silakan Mas cek sendiri ke bagian informasi kalau mas gak percaya."
Tentu saja tidak ada yang kupercaya lagi saat ini. Aku masuk ke dalam dan bertanya.
"Maaf Pak, tidak ada daftar nama ibu Suci di sini."
"Anda yakin, Mbak?" tanyaku lagi.
"Ya, saya sangat yakin."
"Terus kalau Arini Faradina, apa dia bekerja di sini lagi, Mbak?"
Lagi-lagi, perempuan itu menggeleng. Kuembuskan nafas kesal. Kalau tak ada di sini, lalu kemana Arini dan ibu pergi?
Aku kembali bertolak, menuju ke rumah bekas kontrakan Arini, ternyata di sana pun tidak ada. Rumah itu sudah ditinggali oleh orang lain.
"Mbak Arini? Maaf Mas, saya tidak kenal," jawabnya bikin aku sedikit kesal.
Kupukuli keningku sendiri. Kenapa rasanya begitu penat. Masalah ini makin bertambah rumit. Sejak Arini mulai berontak. Aaarrrggh, harus kemana ini?
Diam merenung cukup lama di mobil. Kemarin Arini pergi bersama dokter itu, jangan-jangan dia tinggal di rumahnya? Tidak bisa kubiarkan!
Aku kembali memacu kendaraan besi itu, kali ini tujuanku adalah rumah dokter Ardhy.
"Bi, apa dokter Ardhy ada di rumah?" tanyaku pada asisten rumah tangganya.
"Maaf Mas, Pak dokternya sedang dinas. Sebenarnya ada keperluan apa ya bapak bolak-balik datang kesini? Bapak yang kemarin datang kan?"
"Iya, aku ada perlu sama dokter."
"Dokter tidak di rumah, Mas. Rumah ini biasanya cuma buat persinggahan aja kalau malam buat istirahat."
Aku manggut-manggut. "Dokter Ardhy dinas di RS mana ya, Bi?"
"Kalau hari ini dia ada dinas di RS Mitra Keluarga, Mas."
"Maaf boleh tanya lagi, Bi?"
"Iya, ada apa ya, Mas? Nanti saya sampaikan ke dokter Ardhy."
"Ah gak usah, aku cuma ingin bertanya saja. Apa kemarin dokter Ardhy pulang membawa seorang perempuan?"
"Hah?" Dia ternganga mendengar pertanyaanku.
"Mas, kalau mau nuduh majikan saya jangan sembarangan ya! Dokter Ardhy adalah seorang laki-laki yang baik, dia tidak membawa wanita manapun ke rumah ini! Dia seorang yang pekerja keras bukan mata keranjang!"
"Maaf Bi, kalau aku salah sangka. Tolong jangan masukkan ke hati. Aku permisi dulu."
"Dasar orang aneh!" gerutunya yang masih kudengar.
Aku berjalan menuju kendaraanku kembali, kalau bukan di sini? Dimana lagi dokter itu membawa Arini pergi?
Aaarrrggh sial sial sial!!
***
"Hallo, Pak."
"Iya, ada apa Pak Harsa?"
"Pak, usaha ikan hias bapak bangkrut," tutur suara dari seberang telepon membuatku terkejut. Dia Harsa, orang yang kutunjuk untuk mengurusi usaha sampinganku. Jual ikan hias beserta perlengkapannya.
"Bangkrut? Maksudnya gimana ini? Kok bisa bilang begitu?"
"Semalam ada orang-orang tak dikenal menghancurkan lapak ikan hias bapak! Mereka mengambil ikan-ikan hias yang mahal-mahal, terus menghancurkan aquariumnya juga. Uang pun dibawa pergi."
"Apa? Kok baru bilang sekarang?"
"Maaf Pak, saya baru ngecek ke lapak, soalnya tadi ada urusan penting."
"Kamu ini gimana sih! Kamu dibayar untuk menjaga toko saya! Kamu tahu kan itu semuanya ikan mahal lho! Ikan mahal! Aku berinvestasi tidak sedikit untuk usaha sampingan ini! Masa hancur dalam sekejap saja?!"
"Maafkan saya, Pak. Saya juga tidak tahu, toko dan lapak bapak dibobol orang."
"Aku akan kesana. Pisahkan barang-barang yang masih bisa dijual. Begitu juga ikan-ikannya!"
"Baik, Pak."
Panggilan itupun terputus. Kupukuli setir bundar itu berkali-kali. Satu-satunya harta cadanganku apakah harus hancur juga? Dasar perampok tak punya hati! Padahal dari usaha inilah aku mendapatkan uang untuk DP rumah El.
Benar saja sampai di sana aku shock dengan ke adaannya. Pecahan aquarium, serta genangan air yang ternyata masih licin. Belum lagi ikan-ikan jutaan rupiah juga ikut hilang. Ikan koi dan beberapa ikan hias lain, yang harganya mahal.
Duh ... Ikankuuuu?!
"Bener kan omonganku, bapak sudah bangkrut."
Aku mendelik mendengar omongannya. Pak Harsa ini memang ceplas-ceplos.
"Eh maaf Pak, keceplosan."
"Dasar karyawan gak punya otak. Ya sudahlah sana pergi!"
Aku mengecek ke dalam, sama sekali gak ada sisa. Perampok itu kenapa jeli sekali mencuri duit sekaligus mencuri ide bisnisku.
Duh gusti, hancur sudah semuanya hancur! Padahal aku paling sayang dengan bisnis ini. Aku meminjam uang pada Andri untuk tambahan modal. Tapi kalau hancur begini bagaimana? Gak bisa buat sewa tempat lagi. Makin bangkrut aja aku!
***
Pukul lima sore aku baru sampai ke rumah. Semua yang kulakukan hari ini benar-benar sia-sia. Tak ada yang kudapatkan termasuk informasi dimana Arini dan juga ibu. Justru ditambah berita buruk ini.
"Mas kamu dari mana?" tanya Elvina saat aku turun dari mobil. Pandangannya mengulitiku, sangat berbeda dengan tatapan hangatnya yang tadi pagi.
"Ya dari kantor lah."
"Yakin dari kantor?"
"Ya iyalah terus dari mana lagi?"
"Bohong!"
"Apa maksudmu, El?!"
"Kamu sudah bohongi aku kan, Mas?"
"Bohong apa?"
"Aku tadi siang ke kantor kamu, ingin mengajakmu makan siang sama-sama. Tapi ternyata kantormu itu hampir gulung tikar! Hanya beberapa orang saja yang masih bekerja di sana. Sementara kamu?! Kamu kena PHK! Kenapa kamu bohong padaku, Mas? Kenapa?"
"El ..."