13. Iri hati

1600 Kata
Part 13 "Aku tadi siang ke kantor kamu, ingin mengajakmu makan siang sama-sama. Tapi ternyata kantormu itu hampir gulung tikar! Hanya beberapa orang saja yang masih bekerja di sana. Sementara kamu?! Kamu kena PHK! Kenapa kamu bohong padaku, Mas? Kenapa?" "El ..." "Kamu mau ngomong apa, Mas? Mau ngomong kalau semua itu benar hmmm?" "El, Maaf. Aku memang belum cerita semuanya sama kamu. Kamu selalu memotong pembicaraanku dan menggebu-gebu menceritakan yang lainnya. Aku cuma tak ingin kamu kecewa." "Dan sekarang aku sudah kecewa, Mas. Aku nyesel. Nyesel bisa rujuk lagi sama kamu!" "Kok kamu ngomong gitu, El? Mana sikap manis yang kau tunjukkan kemarin-kemarin sampai pagi tadi?" Aku memalingkan wajah. Geram sekali dengan lelaki yang ada di hadapanku ini. Berani-beraninya dia berbohong padaku. Aku masuk ke dalam rumah, mengambil beberapa lembar bajunya. "Nih silakan kamu pergi, Mas! Kembali saja pada ibumu yang lumpuh itu! Gak usah kesini lagi!" teriakku geram. "Kok kamu ngomong gitu, El? Harusnya suami lagi kesusahan kamu dukung dan beri semangat, bukannya malah seperti ini. Apa kamu gak kasihan sama Aqilla?" "Udah, gak usah bawa-bawa Aqilla. Cepat pergi saja dari sini!" usirku lagi. Pantas saja Arini membawanya kesini dan mengembalikan Mas Tiar padaku, ternyata karena dia sudah bangkrut? Dan sekarang dia cuma seorang pengangguran? Sial, aku cuma kebagian apesnya doang. Dia menatapku penuh kecewa, terpancar jelas dari sorot matanya. "Ayah, jangan pergi ..." Tiba-tiba gadis kecilku muncul dari dalam dan langsung memeluk Mas Tiar. Dalam sekejap, Aqilla sudah berpindah ke gendongannya. "Aqilla gak mau kalau ayah pergi. Jangan pergi ayah ..." Aqilla terisak. Kedua pipinya sudah basah oleh air mata. Ah, kenapa dia menangisi ayahnya yang pengangguran itu. "Bunda, kenapa bunda marah-marah sama ayah? Ayah kan baik," ucapnya lagi begitu polos. Terlihat jelas kalau dia orang itu saling menyayangi. Aku terdiam. "Bunda jangan marah-marah nanti cepat tua lho, rambutnya cepat putih." Heh? Dasar bocah ada-ada saja, dari mana dia mendapatkan kata-kata itu? Kulihat Mas Tiar mengulum senyum mendengar celotehan anak kami. Oh ternyata kau meledekku, Mas! "Ayah, jangan pergi, Yah. Ayah jangan pergi," rengek gadis kecilku. Duh, Aqilla tidak bisa diajak kompromi lagi kalau begini ceritanya. "Iya sayang, ayah gak akan pergi. Ayah akan selalu nemenin Aqilla," sahut Mas Tiar sembari menjapit hidung pesek Aqilla. "Janji?" "Ya, janji." Keduanya saling menautkan jari kelingking, terus sama-sama tersenyum. "Kalau ayah pergi, aku juga mau ikut!" celetuk Aqilla, membuatku membulatkan bola mata. "Mau ikut sama ayah?" "Iya. Soalnya bunda marah-marah terus. Mending sama ayah, sayang sama Qilla." Astaga! Ini bocah kenapa lebih sayang sama ayahnya ya! Duh, gagal sudah kalau begini ceritanya. Aqilla pergi sama ayahnya, itu tidak mungkin kan? Aku gak bisa hidup tanpa gadis kecilku. Tapi kalau tetap bersama Mas Tiar, yang ada bisa makan hati terus-menerus. Bagaimana ini? Semua ini gara-gara Arini sialan itu! *** Pertemuanku kembali dengan mantan suami setelah sekian lama membuat hati ini bergetar. Tak dapat dipungkiri, aku masih menyimpan puing-puing kerinduan itu yang berceceran. Lalu melihatnya kembali bagai bunga layu yang disiram oleh air. Apalagi kulihat raut wajah itupun tampak rindu pada kami. Kami berbincang bersama hingga menghabiskan waktu yang cukup lama. "Biar Aqilla ikut aku saja. Dia gak akan kekurangan, dan lagi akan ada yang mengurusnya dengan baik." Aku terdiam. "Aku sudah menikah lagi, El. Aku yakin Arini pasti bisa menerima Aqilla. Nanti akan kukenalkan kamu dengannya." Deg! Entah kenapa ada nyeri di hatiku, saat dia mengucapkan hal yang itu. Mas Tiar sudah menikah lagi? Dan nama istri barunya adalah Arini? Kehidupannya sekarang sepertinya sangat bahagia. Tapi dia berusaha memisahkanku dengan putri yang sudah kulahirkan? Tidak akan! Aqilla tak boleh dibawa oleh mereka. Enak saja, aku yang melahirkan dan merawatnya, mereka yang akan mengambilnya. Hari itu, Mas Tiar membawa istri barunya ke rumah. Cantik juga anggun. Wanita itu mengenakan gamis serta kerudung bercorak bunga. Oh, jadi ini istri baru Mas Tiar. Entah kenapa aku sedih merasa kalah saing dengannya. Arini, ya namanya Arini, dia ternyata seorang perawat lansia. Waow, pekerjaannya mulia sekali. Dia punya rasa sosial yang tinggi, pantas saja Mas Tiar memilihnya untuk dijadikan istri. Pasti agar dia bisa merawat ibunya yang lumpuh. Seketika aku merasa menyesal telah meninggalkan Mas Tiar. Kini pria itu terlihat makin sukses. Dulu aku meninggalkannya karena muak dengan ocehan ibu mertua. Sudah tak bisa apa-apa tapi banyak maunya. Iseng aku bertanya, ingin tahu apa mahar yang diberikan oleh Mas Tiar saat mereka menikah dulu. "Waktu nikah sama Mas Tiar, dikasih mahar apa, Rin?" tanyaku penasaran. Pasalnya saat aku menikah dengannya hanya diberi satu set perhiasan emas. Tapi perhiasan itu ludes tak bersisa karena dijual untuk biaya hidup pasca pisah dengan suamiku. "Maharnya satu unit rumah, Mbak." "Hah? Apa? Satu unit rumah? Mas Tiar ngasih kamu rumah?" Arini hanya tersenyum dan mengangguk. Aku sangat shock mendengarnya, jadi Mas Tiar udah kaya banget ya sampai-sampai ngasih rumah buat cewek ini? Aku merasa kalah darinya. Dia yang baru hadir di kehidupan Mas Tiar, langsung dapat rumah. Enak sekali dia. Aku saja yang bertahun-tahun hidup dengannya, tak mendapatkan apa-apa. Mas Tiar hanya memberikan uang belanja. Tak ada barang-barang mewah untukku. Padahal aku sudah melahirkan anak untuknya. Apa Mas Tiar benar-benar cinta sama perempuan ini? Jujur, aku iri dengannya. Baiklah, akan kucoba dekati Mas Tiar kembali dengan alasan Aqilla. Apa dia akan luluh pada kami lagi? Aku yakin dalam waktu yang singkat Mas Tiar akan bertekuk lutut kembali padaku. Karena kami sudah pernah bersama mengarungi bahtera rumah tangga. Aku tersenyum penuh rencana. "Bagaimana sikap Mas Tiar padamu, Arini? Dia pasti sangat baik ya?" "Iya, Mbak, Mas Tiar sangat baik dan juga perhatian," sahutnya kemayu, membuat dadaku semakin panas hati. Baiklah, sikap baik dan perhatian Mas Tiarmu akan kurebut kembali. Hingga hari berganti hari, aku selalu mengirimkan pesan dan perhatian untuknya, lagi-lagi aku memberikan tameng Aqilla agar dia percaya dan mau datang kesini. Gayungku pun bersambut, ternyata tidak sulit untuk bisa mendapatkan hatinya kembali. Tapi aku tidak tahu kalau akhirnya jadi begini, dia membohongiku! Dasar sialan! *** "El, aku gak akan pergi. Lihatlah Aqilla, kasihan dia. Kamu juga harus memikirkan dia, jangan mementingkan egomu sendiri," ujar Mas Tiar menghenyakkanku. Dia berlalu ke dalam masih sambil menggendong Aqilla. Semua salahku, gara-gara ocehanku, Aqilla jadi nempel banget sama ayahnya. Duh! Kalau dipisahkan Aqilla pasti bisa sakit. Kupijat dahiku sendiri, rasanya pusing tujuh keliling. Aku yang terlalu cepat mengambil keputusan, jadi terikat dengannya lagi. Huh, sungguh menyebalkan! "El, Aqilla udah kutidurkan. Kita bicara sebentar," ujar Mas Tiar sembari menarik tanganku. Kami duduk berdua di atas tempat tidur. "Sebenarnya dari kemarin aku ingin mengatakan hal ini, tapi kamu terlalu antusias, aku tak ingin merusak kebahagiaanmu. Selain itu, banyak masalah lain yang membelitku, pekerjaan, Arini hingga ibu. Kumohon mengertilah. Kita sudah bersama lagi, masa harus berpisah untuk kedua kalinya? Lalu bagaimana dengan perasaan Aqilla bila ayah dan bundanya seperti mempermainkan pernikahan?" Aku mendengus kesal, masih tak terima dengan kondisinya. "Aku janji, El, akan mencari pekerjaan lagi yang lebih layak, aku kan punya tanggung jawab buat menafkahi kalian. Aku gak akan lupa buat dengan kewajibanku sebagai seorang ayah dan juga suami. Percayalah mungkin ini ujian pernikahan kita. Kamu yang sabar dulu ya." "Aku gak butuh omong kosongmu, Mas. Aku butuh bukti!" "Iya, mulai besok aku akan mencari pekerjaan yang lain. Tolong doakan aku ya, biar cepat kerja kembali. Demi Aqilla dan juga kamu aku rela berkorban untuk apapun." Dia mengecup keningku lembut. Memang kurasakan kasih sayangnya tak berubah, tapi rumah tangga bukan hanya butuh cinta dan kasih sayang melainkan butuh uang buat makan dan kebutuhan yang lain. Kalau dia pengangguran bagaimana dia akan menafkahi kami? Aku menghela nafas dalam-dalam. Baiklah, baru juga nikah kemarin masa aku harus jadi janda lagi. Walaupun ini berat aku harus menjalani hidup ini. "Baiklah, Mas, aku beri kamu kesempatan, cari kerja yang bener, dan jangan kecewakan aku!" "Iya, pasti. Terima kasih ya, kamu mau ngertiin aku. Kamu memang istri yang terbaik." Hah! Rasanya muak sekali dia merayuku tapi gak ada uangnya. Sama aja bohong. Kalian mungkin menilaiku cewek matre. Helloow jaman sekarang kalau gak matre ya bakal kelaparan! Gak bisa shopping-shopping belanja. Gak bisa seneng-seneng jalan-jalan. Aku bukan matre, tapi realistis. *** Pagi hari, seperti biasa aku nebeng Mas Tiar untuk berangkat kerja ke salon, sementara Aqilla kutitipkan di rumah penitipan anak, dia memang belum kudaftarkan sekolah rencananya tahun ajaran baru ini. Sedangkan Mas Tiar, dia hendak mencari pekerjaan entah kemana dan entah apapun itu, yang penting bagiku sekarang dia harus bekerja! Titik gak pakai koma. Jam makan siang aku keluar mencari makan siang, saat melewati Rumah Sakit, tetiba aku melihat Arini tengah berbincang dengan seorang lelaki. Arini tampak tersenyum sumringah.a "Lho, itu kan Arini. Kenapa dia ada di sini? Gila! Belum juga pisah sama Mas Tiar, dia malah sama laki-laki lain?" Kupotret saja kebersamaan mereka. Dan kukirim foto itu pada Mas Tiar. Biar dia makin marah sama w************n itu. Tak butuh waktu lama, Mas Tiar langsung meneleponku. "Kau lihat dimana Arini? Apa dia juga bersama ibu?" tanyanya di seberang telepon. "Ibu tidak ada," jawabku. "Share lokasinya sekarang, El. Aku harus menemui dia." "Kamu masih peduli sama dia, Mas?" "Bukan begitu, El, tapi ada yang ingin kubicarakan dengannya dan ini masalah penting." "Ada apa sih, Mas? Masalah apa? Ibu? Kalau ibu bersama dia bukannya bagus ya, jadi kamu gak ada tanggungan lagi." "Bukan itu, El. Tapi sertifikat rumah dibawa sama Arini." "Apa? Kok bisa, Mas? Kenapa bukan kamu yang nyimpen? Kamu gimana sih ceroboh banget. Sertifikat rumah sampai di tangan orang!" "Rumah itu memang kujadikan mahar pernikahan untuknya. Kamu tahu sendiri kan aku memang mempercayakan semua pada seorang istri. Tapi sekarang, aku ragu karena kita ada masalah. Aku khawatir Arini menyalahgunakan sertifikat itu dan menjual rumah itu," jelas Mas Tiar, cukup membuatku shock. "Apa??" Aku dapat apa dong, kalau Arini membawa semuanya?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN