11. Pusing 7 keliling

1732 Kata
Part 11 "Arini, aku belum selesai bicara! Jangan pergi Arini!" "Arini!! Tega kamu ninggalin aku kayak gini?! Arini ...!" Aaarrrggh ...! Rasanya geram sekali, Arini benar-benar pergi meninggalkanku. Kukepalkan tangan ke udara rasanya ingin kutonjok lagi wajah dokter yang sok kegantengan itu. "Ada apa Mas?" tanya Mbak Ulfa menghampiriku. Beberapa orang sudah berkumpul sambil bisik-bisik tetangga. Mungkin mereka sudah melihat aksi labrakanku pada dokter muda itu. "Mbak lihat sendiri kan? Istriku pergi sama laki-laki lain. Dia berani main api di belakangku." Semua tampak terkejut mendengar penuturanku. Rasain saja kau Arini! Biar semua orang tahu kalau kamu memang perempuan murahan. "Rasanya gak mungkin Mbak Arini begitu, Mas. Pasti ada kesalahpahaman, lebih baik dibicarakan lagi baik-baik Mas, aku yakin kok, mbak Arini gak pernah neko-neko." "Ya dulu dia memang polos, tapi sekarang sudah dicuci otaknya sama laki-laki sialan itu! Dia tega ninggalin aku sama ibu demi laki-laki itu." Kesal sekali dibuatnya, meski aku sudah menjelekkannya, mereka tak percaya. Memang apa istimewanya dia?! Huh. Aku masuk ke dalam, mendengar suara ibu menangis. Ah Arini, gara-gara kau semuanya kacaau! "Ibu kenapa?" tanyaku. "Apa Arini sudah pergi?" "Ya, Bu. Itulah menantu yang selalu ibu bangga-banggakan sekarang justru ninggalin ibu!" "Itu semua gara-gara kamu, Tiar! Kamu sudah menyakiti hatinya." "Kok aku sih, Bu? Arini yang selingkuh, Bu. Dia pergi bersama laki-laki lain di depan mata kepalaku sendiri. Kenapa aku yang disalahin? Ini semua gara-gara Arini. Lihatlah sekarang perempuan murahan itu ninggalin kita, Bu! Dia ninggalin aku dan juga ibu. Tidak patut sikapnya padahal dia sedang hamil." Ibu tergugu lagi, membuat kepalaku makin pusing tujuh keliling. Gegas aku keluar rumah, sepertinya aku harus ke rumah Elvina, biar hati dan pikiranku kembali damai. Sementara kutitipkan ibu kembali pada Mbak Ulfa. "Maaf, Mas, hari ini aku sama anak-anak harus pergi, mau kondangan ke saudara. Sekali lagi mohon maaf ya, Mas, aku gak bisa bantu jagain ibu," tolak Mbak Ulfa. Aku hanya mengangguk pelan. Berarti aku gak bisa pergi kemana-mana kalau begini caranya. Kuraup wajah dengan kasar. Bagaimana ini? Tetiba dua orang pria datang ke rumah. Siapa ya mereka? Jangan-jangan debt colector? "Dengan Pak Bachtiar Maulana?" sapa salah seorang pria itu. "Ya, saya sendiri. Bapak-bapak dari mana ya?" Dia menyerahkan surat. "Kami ditugaskan oleh kantor untuk menagih uang kredit mobil, silakan bapak bayar untuk bulan ini ya." "Duh, maaf banget ya, Pak. Saya masih belum mendapatkan uangnya. Tolong beri saya waktu lagi, Pak. Pasti nanti saya akan bayar." "Baiklah, karena selama ini bapak ontime, kami beri keringanan waktu, satu Minggu lagi silakan lunasi p********n untuk bulan ini ya, Pak." "Baik, Pak. Terima kasih banyak atas pengertiannya." Syukurlah akhirnya mereka pergi. Aku masih punya waktu seminggu buat nyari dana tambahan. Ting! Sebuah pesan masuk ke aplikasi w******p-ku, pesan dari rekan kantor, Andri. [Hei bro, kapan bayar utang? Gue lagi butuh nih buat bayar rumah sakit. Anak gue dirawat] Kuembuskan nafas panjang. Duh si Andri pakai nagih utang segala lagi. Bagaimana ini? Harus cari pinjaman kemana lagi? Saldo di tabungan sudah ludes, tak bersisa, hanya tinggal beberapa ratus ribu lagi. Ting! Sebuah pesan kembali masuk ke aplikasi w******p-ku. Kali ini pesan dari Elvina. [Mas, bisa datang kesini? Aqilla nyariin kamu, Mas] Kali ini senyumku mengembang. Dari sekian banyak orang hanya Aqilla dan Elvina yang mengharapkanku. [Bilang Aqilla, ayahnya sebentar lagi akan meluncur] [Baik Mas, kami tunggu] Balas Elvina kembali dengan emoticon peluk dan cium. Aku kembali masuk ke dalam, pamitan dengan ibu. "Bu, aku mau pergi dulu. Ibu gak apa-apa kan sendirian?" "Kamu mau pergi kemana, Tiar." "Ibu gak perlu tau. Nanti juga aku balik lagi." "Tapi, Nak--" Tak kuhiraukan ucapan ibu yang merajuk, aku langsung menyambar kunci mobil dan bergegas pergi ke rumah Elvina. Kebetulan hari ini adalah weekend, Elvina juga libur bekerja. Mungkin aku bisa sejenak melepaskan rasa penat di hati. *** "Yeay ayah datang," sambut putriku. Dia langsung memelukku. Kuciumi pipi gadis mungilku, demamnya sudah turun tak seperti kemarin. "Qilla udah sembuh?" tanyaku. Dia mengangguk menggemaskan. "Terima kasih ya, El. Kamu sudah menjaga Aqilla dengan baik." Elvina mengangguk, entah kenapa senyumannya manis sekali. Apa aku terima saja ya tawaran rujuknya? Aqilla masuk ke dalam kamarnya mengambil boneka, dia ingin main bersamaku. Tapi aku justru berbaring di lantai. Rasanya masih penat. Kepergian Arini bersama lelaki itu masih menari-nari di pikiran. Entah kenapa dia begitu tega. "Mas, kok diem aja dari tadi? Lagi ada masalah?" Aku terkesiap kaget. "Ini diminum dulu kopinya, Mas." Aku bangkit dan tersenyum, kemudian menyesap kopi yang disediakan Elvina. "Gimana Arini, sudah ketemu, Mas?" "Jangan bicarakan dia lagi, aku sudah muak dengan dia." "Eh, maksudnya gimana, Mas? Apa yang terjadi dengan Arini?" "Dia selingkuh di belakangku, El. Tadi pagi dia datang bersama lelaki itu, terus pergi lagi. Pulang buat ngambil baju, terus pergi lagi. Dasar perempuan sialan!" "Hah? Masa sih, Mas? Kan penampilannya alim begitu. Masa dia tega mengkhianatimu, Mas?" "Penampilan tak menjamin watak seseorang, El. Ternyata aku baru tahu kedoknya sekarang. Nyesel aku nikah sama dia. Pernikahan kami baru juga setengah tahun, dia sudah main api di belakangku." "Aku benar-benar gak nyangka ternyata dia perempuan jalang, Mas." "Apalagi aku, El. Padahal dia sedang hamil, bisa-bisanya dia! Aaarrrggh ..." Aqilla sampai menatapku heran karena telah melampiaskan emosiku. "Ayah marah?" tanyanya dengan polos, raut wajahnya terlihat takut. "Ah, tidak sayang, ayah cuma kesal saja. Aqilla masuk ke kamar dulu gih, biar bunda bicara sama ayah." "Baik, Bun." Bocah kecil itu berlari ke kamarnya. "Maaf El, aku terbawa emosi." "Tidak apa-apa, Mas. Sabar ya, tenangkan hatimu dulu. Kan masih ada aku. Gak usahlah kau pikirkan lagi w************n itu, kan masih ada aku." Aku mengangguk. "Jadi sekarang Arini sudah pergi dari rumah, Mas?" "Iya." "Bagaimana dengan kondisi ibu?" "Ya, seperti itu, belum ada perubahan." "Mas, aku minta maaf ya soal yang dulu. Aku benar-benar menyesal setelah pergi dari rumahmu. Aku terlalu berpikiran pendek hingga tak bisa sabar dengan apa yang tengah kuhadapi. Maafin aku ya, Mas. Tolong sampaikan salamku pada ibu juga." Aku tertegun mendengarnya. Hati Elvina luas sekali, dia mau mengakui kesalahannya. "Aku salut kamu mau mengakui kesalahanmu, El." "Mas, maaf aku bertanya sekali lagi, karena kemarin malam kamu buru-buru." "Ya, katakan saja, El." "Bagaimana kalau kita rujuk lagi, Mas? Aku memikirkan Aqilla soalnya, dia butuh seorang ayah. Toh sekarang Arini sudah pergi kan? Gak ada lagi halangan untuk kita bersama kan?" Lagi-lagi Elvina ingin rujuk denganku. "Kamu yakin ingin rujuk denganku, El? Apapun kondisinya kamu mau menerimaku?" Elvina mengangguk, membuat debaran di dalam d**a makin tak menentu. "Kita sudah pernah melalui lima tahun pernikahan, jadi tak masalah kan kalau kita kembali mengulang masa-masa indah itu?" ujarnya lagi bertambah yakin. Rupanya dia masih mencintaiku ya. Baiklah kalau begitu, mungkin rujuk dengannya adalah keputusan yang tepat. "Tapi aku belum cerai resmi dari Arini, El." "Tidak apa-apa, Mas, kita nikah siri aja." "Kapan?" "Lebih cepat lebih baik kan, Mas. Kapanpun aku siap kok." Senyumku mengembang sempurna. Jadi Elvina benar-benar mau menerimaku apa adanya, buktinya dia tak minta pesta pernikahan yang mewah dan lain sebagainya. "Baiklah kalau begitu. Kalau nanti sore bagaimana? Aku akan cari penghulu untuk mengesahkan hubungan kita?" Elvina tersenyum malu-malu, kemudian mengangguk setuju. "Beneran kamu mau, El?" "Iya, Mas." "Oke, kalau begitu siap-siap saja ya. Aku akan pergi cari pak penghulu dan para saksi untuk pernikahan kita." "Hari ini, Mas?" tanya Elvina tak percaya. "Iya, lebih cepat lebih baik kan?" Gegas kulajukan mobil. Entah kenapa rasanya bahagia akan bersatu bersama mantan istriku kembali. Ah terserah aku tak peduli dengan Arini, kalau ceritanya begini. Aku menuju ke rumah teman yang ayahnya berprofesi sebagai penghulu. Sekalian kuajak temanku untuk menjadi saksi. "Lu mau nikah lagi sama mantan istrilu itu? Serius lu?" tanyanya tak percaya. "Iya, dia sendiri kok yang ngajakin gue rujuk." "Ckckck! Punya aji-aji apa lu sampe cewek-cewek pada luluh?" "Dasar k*****t, gue gak ngapa-ngapain dodol, mungkin dia udah kangen kali sama gue. Hahaha." "Sontoloyo lu! Sana-sini main embat aja." Aku tersenyum miring. "Ya sudah nanti kita kesana, bro. Minta alamat lu aja." *** Gegas aku pulang ke rumah. Aku harus mencari barang berharga terlebih dahulu untuk kujadikan mahar pernikahan. Kubongkar lemari Arini, tapi tak ada satu perhiasan tersisa. Aku mengingat-ingat ... Ah benar juga, selama menikah aku tak pernah membelikannya perhiasan. "Tiar, kamu pulang, Nak?" tanya ibu. Sebaiknya aku tak bilang apa-apa pada ibu, bisa-bisa dia ngamuk dan gak bakalan merestuiku lagi. "Bu, aku pinjam cincin ibu dong," ujarku to the points. "Cincin, buat apa?" "Aku hutang sama teman, Bu. Anaknya masuk rumah sakit, kasihan dia lagi cari dana buat perawatan anaknya. Uangku gak ada Bu, dibawa sama Arini. Nih kalau ibu gak percaya, aku tunjukin pesannya." Ibu terdiam. "Tolong aku, Bu. Nanti kalau Tiar punya uang bakal dibalikin lagi." "Iya, ambil saja di laci lemari, sama suratnya juga ada di situ." Untunglah ibu punya persediaan cincin, bisa kupakai lebih dulu. "Makasih ya, Bu," sahutku kemudian berlalu pergi. "Tiar, kamu mau kemana? Ibu lapar, Nak. Tolong belikan ibu makanan!" teriak ibu. Ah, ibu menyusahkan saja! Kujual cincin ibu dan membelikan cincin yang lain yang lebih murah, sisa uangnya bisa kupakai untuk yang lain. Maafkan anakmu yang telah berbohong ini, Bu! Demi masa depan, bukankah harus berkorban? *** Sore hari kami sudah berkumpul di rumah kontrakan Elvina. Pak penghulu, dua saksi, aku dan Elvina, lalu Aqilla. Elvina tampak cantik dengan balutan baju kebaya warna putih. Mungkin dia berdandan sendiri, karena dari dulu El hobi sekali make-up. "Kamu cantik," bisikku di telinganya. Akhirnya dimulai juga prosesi ijab qobulnya. Kami menggunakan wali hakim untuk Elvina, karena ayahnya sudah meninggal. "Saya terima nikah dan kawinnya Elvina Damayanti dengan mas kawin cincin seberat dua gram dibayar, tunai." "Alhamdulillah, gimana saksi, Sah?" "Sah!" Yess! Akhirnya aku resmi menjadi suaminya kembali. Tak jemu kupandangi dan kuciumi wajah El, bidadari hatiku. *** Kuregangkan tubuhku dan menggeliat malas. Tak terasa sekarang sudah pagi lagi, rasanya masih kurang dengan aktivitas panas kami semalam. Aku benar-benar bahagia bisa bersatu kembali dengan Elvina. Elvina keluar dari kamar mandi, masih terbalut handuk dan rambut yang basah. "Mas, bangun dong, mandi gih! Udah pagi lho, emangnya kamu gak siap-siap berangkat ke kantor?" Pertanyaan Elvina seketika membuatku kikuk. "Eh, i-iya, El," jawabku kikuk. Kulihat ponselku terlebih dahulu. 30 panggilan tak terjawab dari Mbak Ulfa. Kutepuk jidadku sendiri. Gegara bahagia rujuk dengan El, aku sampai melupakan ibu. Aduh ibu, bagaimana ya dengan keadaannya? Kemarin minta makan, aku belum sempat membelikannya. Astaga, aku lupa! Kubaca juga pesan dari Mbak Ulfa. [Mas, ibu mas ngilang lho gak ada di kamarnya. Tadi pulang kondangan, aku langsung nengokin ibu mas, tapi beliau udah gak ada, gak ada yang tau kemana]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN