Tepat pukul setengah enam sore, ketika Intan memperhatikan waktu melalui arloji warna putih yang menghiasi pergelangan tangan kirinya. Ia keluar dari ruang kerjanya masih mengenakan seragam jas putihnya sambil mengembuskan napas pelan melalui mulut. Dan tepat di lorong keluar dari lorong keberadaannya menuju lorong selaku jalan utama di sana, Intan mendengar suara Wenny yang memanggil nama Intan dengan lantang.
“Tunggu!” lanjut Wenny sampai berlari hanya untuk secepatnya sampai pada Intan.
Intan tersenyum menunggu Wenny sambil terus menatap ke arah sahabatnya yang juga menjadi satu-satunya pelipur lara di mana Intan juga menjadi tidak merasa sendiri. Intan masih memiliki Wenny, tempatnya berbagi dan juga menjadi alasannya bertahan hingga sekarang.
Tanpa Intan sadari, seorang pria yang mengenakan lengan panjang warna biru tua dan tengah berbincang melalui sambungan telepon, pria tersebut berjalan tergesa sambil mengamati sekitar dan baru saja keluar dari lorong yang Intan tinggalkan, perlahan menghentikan langkahnya tepat di dekat Intan. Kedua mata agak sipit pria tersebut menatap lurus, terpana menatap setiap inci wajah Intan dengan jarak tak kurang dari dua jengkal.
Rio Ardian, pria berusia 27 tahun dan tengah menatap Intan dengan tatapan kagum tersebut, sengaja berdeham. “Aku sudah menemukannya. Sudah dulu, ya. Nanti kita sambung lagi,” lirihnya yang buru-buru mengakhiri sambungan teleponnya. Ia agak terkejut sekaligus gugup karena di waktu yang sama, Intan justru menoleh padanya. Tatapan mereka bertemu seiring Intan yang langsung tersenyum sambil mengangguk santun sebelum mendadak pergi meninggalkannya.
Intan baru saja menghampiri Wenny ketika pria yang baru saja ia sapa melalui senyum dan Intan ketahu bernama Rio Ardian, justru memanggilnya. Pria dengan tinggi tubuh sekitar 175 senti itu perlahan menghampirinya.
“Apa kabar?” tanya Rio yang kali ini sudah berdiri di hadapan Intan maupun Wenny.
Senyum semringah langsung bermekaran menghiasi wajah Wenny. Apalagi, hanya melihat ekspresi serta cara Rio menatap Intan penuh perhatian layaknya sekarang, Wenny yakin pria berpenampilan rapi itu memiliki rasa istimewa kepada Intan.
“Alhamdullilah, Mas. Baik, ... Mas sendiri, apa kabar?” balas Intan basa-basi membalas sapaan pria berkulit sawo matang dan Intan ketahu merupakan salah satu pria yang sangat mencintai Inara.
Refleks melihat interaksi manis antara Rio dan Intan, Wenny menyikut dan sengaja menggoda Intan. Kenyataan tersebut membuat Intan refleks menoleh dan menatap Wenny yang berdiri agak di belakangnya.
“Ciee ...,” bisik Wenny tepat di salah satu telinga Intan.
Intan langsung kebingungan dan buru-buru berkata, “Ciee apaan? Dia itu salah satu pria yang suka sama Inara, Wen. Ya ampun, jangan salah sangka. Takutnya dikira aku yang kegeeran. Lihat saja, habis ini pasti dia tanya-tanya kabar Inara, seperti biasa.”
“Gimana kabar orang tua kamu? Inara sehat juga, kan?” ucap Rio tak lama setelah Intan berbisik pada Wenny.
Wenny yang awalnya tersenyum dan berharap Rio benar-benar mencintai Intan, langsung menyikapi keadaan dengan serius. Ia menatap saksama Rio secara diam-diam. Benarkah pria di hadapan menyukai Inara? Atau, Intan saja yang merasa terlalu tidak pantas dicintai karena selalu dibandingkan dengan Inara? Lihatlah, dari cara Rio menatap sekaligus memperlakukan Intan saja sangat lembut. Wenny yakin, pria yang memiliki ketampanan khas orang Indonesia itu mencintai Intan!
“Kamu kapan ada waktu? Sekarang bisa enggak?” ucap Rio yang langsung membuat Wenny menahan napas.
Kan, aura-auranya memang ada rasa ke Intan, batin Wenny sengaja menyikapi keadaan dengan serius.
Intan yang sama sekali tidak curiga apalagi merasa diperlakukan spesial oleh Rio yang sekadar menatapnya saja dengan tatapan yang begitu dalam, refleks menoleh dan menatap Wenny.
Sadar dirinya menjadi batu penghalang, Wenny sengaja mengumbar senyum sambil menggeleng, meyakinkan kedua orang di sana khususnya Intan, bahwa dirinya baik-baik saja. “Aku tunggu di atas. Dah!” pamitnya sambil buru-buru berlari.
Intan mengernyit bingung melepas kepergian Wenny yang langsung menaiki tangga darurat di hadapannya. Tangga darurat menuju lantai atas selaku lantai keberadaan kamar yang menjadi kamar sekaligus tempat tinggal baru Intan.
Setelah sempat melepas kepergian Intan, fokus Rio kembali pada Intan. “Keluar bentar, yuk? Kamu enggak sibuk, kan?”
Intan yang yakin pria di hadapannya akan menanyakan kabar Inara lebih detail, merasa terpanggil untuk berkata jujur secepatnya apalagi dalam hitungan hari, benar-benar sebentar lagi, Inara akan menikah dengan Arden.
Yang Intan tahu, pria seumuran Arden dan merupakan kakak dari salah satu teman Inara itu berasal dari keluarga cukup berada. Itu juga yang membuat Rio diizinkan menginjakkan kaki di kediaman orang tua Intan. Rio yang saat Inara masih SMA kerap main ke rumah, dikata Irma, merupakan satu di antara sekian banyak pemuda yang mencintai Inara.
“Mas Rio, ... empat hari lagi, Inara akan menikah. Kalau Mas ingin tahu lebih lanjut, Mas bisa datang ke rumah,” ucap Intan sengaja bertutur penuh pengertian.
Terbiasa sakit hati dan dilukai oleh orang terdekat sendiri, membuat Intan takut melukai orang lain selain Intan yang sebisa mungkin akan berusaha untuk meringankan luka-luka orang lain.
Rio mengernyit bingung. “Oh, ... Inara sudah mau menikah?”
Intan mengangguk sambil mengulas senyum. Ia refleks menahan napas karena merasa tegang, takut lawan bicaranya itu benar-benar sakit hati.
“Kamu kapan? Kamu belum, kan?” balas Rio.
Setelah sempat menahan napas, balasan Rio kali ini sukses membuat Intan lupa bernapas. Hatinya mendadak terasa sangat perih hanya karena Intan yakin, dalam hidupnya tidak akan pernah ada pernikahan.
Setelah membuat Rio menunggu agak lama, Intan tersenyum masam tanpa balasan berarti. “Ya sudah yah, Mas. Saya pamit dulu. Maaf kalau saya ada salah meski saya benar-benar enggak sengaja melakukannya.” Intan berlalu sambil membungkuk sopan meninggalkan Rio dengan langkah cepat menuju tangga darurat yang sempat menjadi tujuan Wenny.
Fakta Rio yang merupakan teman dekat bahkan pria yang mencintai Inara membuat Intan mewajibkan dirinya untuk lebih menjaga sikap. Intan tak mau makin bermasalah hanya karena berurusan dengan Rio.
“Tan?” lantang Rio tepat ketika kaki kanan Intan nyaris menapak pada anak tangga pertama di hadapannya.
Intan tak jadi melewati anak tangga dan refleks menoleh. Ia menatap Rio sambil membenarkan kaitan tote bag di pundak kanannya.
“Sebenarnya, dari awal aku lihat kamu ketika aku mengantar Inara bersama Riri adikku, aku sudah suka kamu, Tan. Namun makin ke sini, kamu justru terkesan menganggap aku menyukai Inara adikmu!” lantang Rio yang berangsur balik badan hingga membuatnya menghadap sempurna pada lawan bicaranya.
“Aku mau seriusan sama kamu, aku mau kamu jadi istri aku. Kapan aku bisa menemui orang tua kamu? Aku mau berjuang untuk mendapatkan restu mereka! Kamu, ... mau sama-sama membangun rumah tangga bersamaku, kan?” lanjut Rio masih dengan suara lantang.
Intan sungguh tidak bisa berkata-kata. Ia sampai merinding menatap tak percaya pria bergaya kantoran di depan sana. Apalagi kenyataan suasana yang sepi membuat penuturan tegas Rio barusan, Intan dengar dengan sangat jelas. Terlepas dari rasa cinta Intan yang telanjur jatuh pada Arden, Intan masih tidak percaya ada pria dari kalangan berada yang sudi menyukainya.
Dengan agak berlari, Rio menghampiri Intan. “Aku serius!” ucapnya cukup terengah-engah sambil menunggu balasan Intan. Wanita itu tampak kebingungan dan baginya wajar karena selain mereka baru bertemu setelah sekitar sepuluh tahun lamanya tak bertukar kabar, ia justru langsung melamar Intan di tengah keadaan yang benar-benar serba instan.
Mendadak begini, aku harus jawab apa? Batin Intan benar-benar bingung. Terpikir oleh Intan, apakah Rio bisa menjadi jembatan untuknya menjadi anak yang layak dianggap oleh orang tuanya sendiri? Namun, tiba-tiba saja Intan teringat peringatan tegas dari sang mama.
“Enggak usah menikah bila calon kamu bukan orang kaya apalagi dari kalangan terhormat seperti yang Inara dapat!”
Tentu saja, serapi dan sesantun bahkan setulus apa pun seorang Rio Ardian kepada Intan, pria di hadapannya bukan tandingan Arden. Rio masih jauh di bawah Arden. Yang bisa jadi, kejadian sembilan tahun lalu ketika kakak kelas Intan yang merupakan anak dari tukang tahu datang ke rumah, akan kembali terulang.
“Aku tahu ini terlalu tiba-tiba, ... bahkan aku yakin kamu akan mengira aku gila. Namun tolong, tolong, izinkan aku untuk berjuang!” Rio benar-benar memohon.
Intan merasa serba salah. Ini bukan karena ia tidak mencintai Rio, tetapi Intan terlalu takut Rio terluka gara-gara orang tua Intan. Karena bila calon Intan harus lebih dari Arden, dengan kata lain Rio tidak bisa.
Kalian tahu rasanya takut melukai karena kita paham situasi akan melukai orang tersebut apalagi orang yang melukai adalah orang tua kita sendiri? Itulah yang Intan rasakan sekarang.
Bersambung