“Aku mau seriusan sama kamu, aku mau kamu jadi istri aku. Kapan aku bisa menemui orang tua kamu? Aku mau berjuang untuk mendapatkan restu mereka! Kamu, ... mau sama-sama membangun rumah tangga bersamaku, kan?” Permintaan Rio sore menjelang petang tadi, terus menghantui Intan. Namun dengan cepat, permohonan yang terdengar tulus tersebut langsung digantikan dengan peringatan tegas dari Irma yang mendadak menjelma menjadi kutukan yang benar-benar mengerikan.
“Enggak usah menikah bila calon kamu bukan orang kaya apalagi dari kalangan terhormat seperti yang Inara dapat!”
Kini, Intan menghela napas dalam seiring ia yang berangsur duduk dari ringkukannya. Di tengah suasana kamarnya yang benar-benar remang dan hanya mengandalkan penerangan dari rembulan sekaligus bintang-bintang yang menghiasi langit malam, Intan melipat kedua tangannya dan meletakannya di kedua lututnya. Pandangannya masih asyik mengamati rembulan dan bintang-bintang yang menghiasi langit malam di luar sana. Intan bisa dengan mudah melihatnya karena keberadaan tempat tidurnya yang berukuran layaknya tempat tidur pasien tersebut, tepat menempel pada jendela kamar yang sengaja tidak Intan tutup dengan gorden.
Keputusan Intan membiarkan jendelanya tidak ditutup gorden karena Intan ingin melihat alam bebas yang terlihat makin indah sekalipun kegelapan malam membuat sebagian alam tertutup, tak bisa dilihat dengan jelas tanpa adanya penerangan.
Intan ingin hidup bebas layaknya alam yang tetap menjalaninya meski alam memiliki banyak tugas mulia dalam kehidupan. Dan kini, melihat langit malam yang berhias gemerlap bintang, suasana di luar yang benar-benar indah, membuat senyum bahagia menarik kedua sudut bibir berisi milik Intan. Senyum yang sungguh sama ketika ia menghadapi pasien-pasiennya.
Langkah cepat yang terdengar gaduh karena langkah tersebut Intan yakini tak hanya dari sepasang kaki, Intan dengar dari atap ruang keberadaannya.
Maling, kah? Pikir Intan. Namun, kenapa maling sampai menjadikan rumah sakit sebagai tujuan beraksi?
Karena langkah itu terus berlangsung dan perlahan turun, Intan sengaja beranjak untuk memastikan. Ia meraih ponselnya dari sebelah bantal dan siap menghubungi polisi andai sesuatu yang buruk sampai terjadi.
Buk!
Ada yang jatuh dan itu tepat di sebelah Intan. Melalui lirikan tegang, Intan bisa memastikan sosok tadi jatuh karena sengaja lompat dari atap dan sukses mendarat di dak yang ada tepat di depan jendela hadapan Intan. Sosok tadi memiliki tubuh bidang, memakai jaket kulit warna gelap dan juga menutupi kepala berikut sebagian wajahnya menggunakan topi warna gelap. Tanpa direncanakan, Intan yang sampai menahan napas justru mengenali wajah sosok tersebut sebagai wajah Arden. Tak beda dengannya, Arden yang tak sengaja menoleh ke arahnya hingga tatapan mereka bertemu juga terlihat tak kalah terkejut.
Dor!
“Mas!” Suara tembakan barusan, refleks membuat Intan berteriak mencemaskan Arden. Jantung Intan seolah langsung lepas akibat mendengar suara tembakan tadi. Intan refleks bangkit dan buru-buru membuka jendela kaca di hadapannya. Di luar, tubuh Arden sudah mulai goyah. Entah bagian mana yang terkena tembakan, tapi Intan yakin, tembakan tadi sungguh mengenai Arden yang juga Intan dapati mengendalikan sebuah pistol di tangan kanan. Intan yang sudah ketakutan luar biasa makin bingung, tak hentinya bertanya dalam benaknya kenapa keadaan mendadak seperti sekarang?
“Mas, ayo masuk!” Susah payah Intan membujuk Arden. Kedua tangannya dengan lancang mencengkeram salah satu lengan Arden.
“Apa yang kamu lakukan? Cepat pergi dari sini!” usir Arden yang terengah-engah.
Di tengah suasana remang dan hanya mengandalkan pantulan cahaya dari rembulan, Intan bisa memastikan Arden yang fokus mengerling waspada, sudah kuyup keringat. Dan demi bisa melindungi pria yang sangat ia cintai, pria yang juga telah menjadi cinta pertamanya, Intan nekat lompat ke luar. Tak peduli meski lantai dak di sana hanya sekitar lima puluh senti membuat siapa pun yang berdiri di sana harus ekstra hati-hati.
“Tan!” tegas Arden lirih sambil menatap marah Intan yang baru saja loncat keluar persis di sebelahnya, tapi mendadak jongkok karena sepertinya wanita itu takut atau malah fobia ketinggian. Kenyataan tersebut dikuatkan dengan keadaan tubuh Intan yang mulai gemetaran.
Dor!
Namun, suara terlepasnya peluru barusan langsung membuat Intan berdiri. Wanita kurus itu seolah mendapatkan nyawa sekaligus kekuatan tambahan. Intan langsung memeluk Arden sangat erat, salah satu tangan Intan sampai menahan punggung kepala Arden dan membuat kening mereka saling menempel. Arden bisa melihat ekspresi kesakitan di wajah Intan yang langsung dihiasi buih keringat berbarengan dengan tubuh Intan yang menggeliat. Intan tidak menangis apalagi berteriak kesakitan. Karena yang terus Intan lakukan hanyalah terus memeluk Arden, melindungi Arden dari bahaya yang mengancam.
Dunia Arden apalagi Intan seolah berhenti berputar tepat ketika tatapan mereka akhirnya bertemu. Terengah-engah napas mereka selain mereka yang bisa merasakan hangatnya deru napas satu sama lain karena jarak mereka benar-benar dekat. Kening mereka masih menempel, termasuk hidung bahkan bibir hingga Arden yang baru menyadarinya sengaja mengakhirinya dengan memalingkan wajah.
Rasa cintanya pada Arden yang begitu besar, membuat Intan sama sekali tidak merasakan sakit meski lengan kiri bagian pinggirnya tertembak dan menjadi sarang peluru.
Terdengar langkah lari yang seketika menjauh dan itu sumber tembakan tadi. Arden nyaris mengejar, tapi Intan segera menahan kedua lengan Arden.
“Mas bukan ninja. Bahaya!” Intan tak bisa berkata-kata. “Ayo, masuk. Aku obati luka Mas.” Ia benar-benar memohon.
Sambil terus melirik Arden, Intan bermaksud memanjat jendela di hadapannya. Sayang, jarak antara kusen dengan lantai nyaris dua meter dan Intan kebingungan karena tidak bisa memanjat tanpa bantuan. Tak disangka, Arden yang hanya diam dan memperhatikannya melalui lirikan kesal, menggunakan tangan kanannya kemudian mendekap pinggang Intan dari belakang disusul mengangkatnya dengan sangat cepat seolah bagi Arden, tubuh Intan sangat ringan.
Intan yang sudah jongkok di kusen jendela, berangsur balik badan dan membuatnya menghadap sekaligus menatap Arden. “Mas wajib masuk. Mas terluka,” ucap Intan sungkan sekaligus takut. “Simpan pistolnya. Aku janji, enggak ada orang lain yang tahu masalah ini, selain kita.”
Arden kebingungan dan menjadi sibuk menepis tatapan Intan. Wanita yang akan menjadi kakak iparnya itu terus menatapnya dengan tatapan peduli. Tunggu dulu, Arden baru ingat bila Intan juga terluka. Lengan kiri Intan yang terbalut piama panjang warna putih tersebut, lengan kurus itu terus mengucurkan darah!
Beberapa saat kemudian, Intan mengobati Arden. Arden berbaring di tempat tidur Intan dan sudah sampai diinfus. Meski Arden tak sampai tertembak karena ternyata Arden memakai jaket anti peluru, Arden memiliki luka robek parah di perut bagian kanan tak jauh dari pusar. Arden juga sampai pendarahan hebat dan Intan tengah berusaha menghentikan pendarahannya. Intan bersiap untuk menjahit luka robek yang kiranya memiliki panjang sepuluh senti sementara dalamnya nyaris dua kali lipatnya.
Meski Arden hanya diam, di tengah suasana kamar yang menjadi sangat terang karena semua lampu di sana dinyalakan, Arden kerap memperhatikan Intan diam-diam. Wanita yang telah mencepol tinggi rambut lurus warna hitam sepunggung itu tampak fokus menjahit luka di perut Arden. Tak beda dengan agenda operasi pada kebanyakan, meski Intan masih mengenakan pakaian yang sama layaknya sebelumnya, Intan juga sampai memakai masker, pelindung kepala, serta sarung tangan yang menyeterilkan kedua tangannya. Yang mencuri perhatian Arden, lengan kiri Intan yang tertembak belum diobati dan hanya diikat kencang menggunakan beberapa lapis kain karena calon kakak iparnya itu memilih untuk mengobati luka Arden lebih dulu. Intan hanya berusaha menghentikan pendarahan di luka tembaknya hanya untuk mengobati Arden.
Melihat Intan serta kenangan yang baru saja menjadi bagian dari hubungan mereka mengenai Intan yang rela bertaruh nyawa demi melindungi Arden, membuat Arden teringat kata-kata Inara.
“Aku benar-benar lupa bila tepat di hari pernikahan kita, aku sudah harus di Amerika, Mas. Besok juga aku harus berangkat, dan demi mengamankan semuanya, aku dan orang tuaku sepakat menjadikan Mbak Intan sebagai istri pengganti di pernikahan kita. Demi Tuhan pernikahan tetap berjalan dengan semestinya, hanya mempelainya saja yang beda. Mbak Intan akan menggantikanku, setelah itu semuanya selesai, aku akan segera menyelesaikan pendidikanku. Aku akan memberikan yang terbaik buat kita. Aku akan segera pulang dan menjalani pernikahan nyata dengan kamu, Mas! Aku janji! Tolong jangan berpikir macam-macam, aku begini karena aku sayang banget sama kamu. Aku cinta banget sama kamu dan aku akan memberikan yang terbaik buat kamu.”
Mengingat ucapan tersebut, Arden menjadi mengakhiri tatapannya pada setiap inci wajah Intan yang sempat refleks ia amati.
Kenapa keadaan mendadak kacau begini? Istri pengganti dan pernikahan sementara? Demi Inara, aku bisa saja mengikutinya, tapi aku enggak yakin mamah dan nenek akan setuju! Batin Arden ketar-ketir.
Mimpi apa aku semalam hingga aku bisa sedekat ini dengan Mas Arden? Namun, haruskah aku bahagia atau justru kebalikannya? Kedekatan kami tercipta karena aku mengobati lukanya yang benar-benar parah. Sementara sebelum ini, Mas Arden sampai terlibat dalam baku tembak bahkan sepertinya lebih karena luka yang harus aku jahit saja, separah ini, batin Intan. Di tengah keseriusannya menangani luka Arden, Intan juga bertanya-tanya, apa yang membuat Arden bisa terlibat baku hantam layaknya tadi? Bahkan Arden sampai memakai jaket anti peluru yang menegaskan bila Arden paham nyawanya terancam?