Episode 4 : Jika Ini Takdirku

1409 Kata
“Ante Doktel, ... Ante Doktel kok enggak pernah kasih Lala pelmen, padahal Lala udah pintel? Padahal Lala mau diperiksa, Lala enggak nangis.” Di ruang kerjanya, Intan dibuat terpana pada pertanyaan polos dari pasiennya. Pasiennya kali ini merupakan bocah perempuan cantik, berusia empat tahun. Gigi atas bagian depan bocah tersebut habis, menyisakan gigi lainnya yang tampak bersih sekaligus sehat. Intan, dengan polemik kehidupan pribadinya yang membuat wanita ayu itu berada di titik nadir, benar-benar merasa terhibur oleh pasien-pasiennya dan salah satunya pasiennya yang sekarang. Memasang senyum terbaik dan memperlakukan pasiennya penuh sayang, merupakan hal yang selalu Intan lakukan bagaimanapun keadaannya meski Intan sedang sangat tidak baik-baik saja. Bahkan, alasan Intan menjadi dokter anak karena Intan ingin memberikan kasih sayang tulus pada anak-anak, dan selama ini belum pernah Intan dapatkan dari orang tuanya sendiri. Setelah membingkai wajah bocah tersebut menggunakan kedua tangan dan mengelusnya penuh sayang, Intan berkata, “Kalau Ante Dokter kasih Lala permen, nanti gigi Lala sakit. Gigi Lala bisa habis dimakan kuman gigi yang berasal dari permen. Makanya, Ante Dokter kasih Lala abon tabur buat makan biar Lala makin sehat. Biar Lala makin kuat dan menang melawan kuman-kuman yang bisa bikin Lala sakit!” “Tapi kan, pelmen enak. Pelmen manis, makanya Lala syuka!” protes Lala mengiringi tatapan tak berdosanya pada Intan. Mata sendunya terus tertuju pada sang dokter yang tiga bulan terakhir menjadi tempatnya berobat. “Semanis-manisnya permen, Lala jauh lebih manis. Dan karena Lala sudah sangat manis, Lala enggak perlu makan yang manis-manis lagi seperti permen. Lala anak pintar, Lala anak baik, pasti Lala ngerti kan, kenapa Ante Dokter enggak kasih Lala permen?” Kedua tangan Intan masih sibuk mengelus penuh sayang kedua pipi Lala. Lala masih menengadah, menatap tak berdosa wajah Intan penuh rasa kagum. “Kalau Lala terus pintal, dan Lala juga jadi anak baik, Ante Doktel akan sayang ke Lala terus, kan?” Menyimak itu, Intan langsung terenyuh. Senyum haru refleks menghiasi wajah ayunya. Dulu, apa yang Lala katakan kerap ia pertanyakan pada orang tuanya, tapi hingga sekarang semua pertanyaan tersebut masih diabaikan. Sambil mengelus kedua pipi Lala, ia mengangguk membenarkan sekaligus wujud dari balasannya pada Lala. “Berarti, Ante Doktel mau jadi mamahnya Lala?” lanjut Lala dan kali ini menatap Intan dengan sangat memohon. Wajah berikut ekspresi gadis kecil di hadapannya benar-benar tanpa dosa. Sang nenek yang menemani dan sedari awal menjadi penyimak bertabur senyuman haru, mendadak sibuk meminta maaf pada Intan. “Maaf, Dok. Maaf banget, Lala memang sayang banget ke Dokter. Semoga suami Dokter enggak marah, ya. Takut jadi salah paham meski Lala memang sayang dan pengin banget Dokter Intan jadi mamahnya.” Wanita berkerudung itu mengelus-elus punggung Lala dari belakang sambil menatap sungkan pada Intan. Intan membalasnya dengan senyum tulus. “Memangnya di mata Oma, saya setua itu, ya?” Intan mengakhiri pertanyaan lembutnya dengan senyum geli. “Enggak apa-apa, kok, Oma. Saya belum menikah, jadi enggak mungkin ada yang marah. Kalaupun saya sudah menikah, suami saya pasti tahu situasi. Apalagi anak-anak kan memang begitu. Dulu saya juga begitu. Dulu, saya juga sangat mengaguni dokter sekaligus guru-guru saya karena mereka memperhatikan sekaligus menyayangi saya dengan sangat tulus.” Oma Lala langsung kebingungan, merasa sungkan, tapi mendadak ia merasakan kebahagiaan luar biasa setelah mengetahui bahwa dokter favorit Lala, belum menikah. Ia menatap Intan dengan tatapan sungkan yang turut disertai gebuan harapan. “Maaf, Dok. Dokter beneran belum nikah? Dokter sudah punya calon, belum? Anak saya, papahnya Lala, dia seorang duda dan memiliki Lala sebagai anak tunggal, tapi pekerjaannya terbilang mapan. Papah Lala merupakan manager pelaksana di kantornya yang bergerak di bidang arsitektur, dengan gaji yang lumayan apalagi kalau menang tender biasanya bonusnya besar. Papah Lala juga bukan orang yang neko-neko, asal wanita itu sayang pada Lala, dan Lala cocok, pasti papah Lala juga cocok!” Sepanjang Intan menyimak, ia terus memberikan senyum terbaiknya sambil sesekali mengelus penuh sayang kepala sekaligus punggung Lala yang sampai memeluknya dengan manja. Seolah bocah cantik itu sangat berharap padanya. Masalahnya, Intan trauma dan takut hubungannya dengan laki-laki hanya akan menyakiti pihak laki-laki. Karena selain persyaratan orang tua Intan yang terlalu tinggi, dulu sewaktu masih SMA, kakak kelas Intan yang nekat datang main ke rumah langsung dicaci maki oleh Irma hanya karena pemuda itu anak dari tukang tahu keliling yang tiap pagi sebelum sekolah akan membantu orang tuanya jualan menggunakan sepeda. Bagi Irma, pemuda tersebut tidak mungkin memiliki masa depan hingga sekadar berteman pun Intan tak diizinkan. Di belakang Oma Lala, di lorong yang sengaja ditutup tirai di setiap Intan menangani pasien, Wenny—sahabat Intan yang juga merupakan seorang dokter, langsung tersenyum ceria. Wenny yang memakai jas putih layaknya Intan, tersenyum ceria sambil menyodorkan kedua jempolnya pada Intan sebagai kode. **** “Aku terlalu takut melukai, Wen. Aku takut, menjalin hubungan dengan laki-laki justru membuatku makin memiliki banyak dosa. Sebagai anak saja, aku merasa terluka dengan kata-kata sekaligus perlakuan orang tuaku. Apalagi orang lain? Belum lagi dengan orang tua sekaligus keluarganya. Logikanya, enggak ada keluarga apalagi orang tua yang akan baik-baik saja bila anak sekaligus bagian dari mereka dilukai secara sengaja.” Tersenyum kecut, Intan mengakhiri ucapannya. Di jam istirahat, di ruangannya, Intan tengah berbicara empat mata dengan Wenny mengenai alasan Intan menolak secara halus lamaran Lala dan sang oma. Mata sipit Wenny menatap Intan dengan prihatin. “Ya dicoba dulu, Tan. Siapa tahu, setelah kamu menikah, orang tua kamu akan berubah pikiran. Harta bukan satu-satunya sumber kebahagiaan, kok. Semuanya harus seimbang, kita harus memiliki rasa nyaman yang selalu menjadi kunci kewarasan sekaligus kebahagiaan!” Intan menatap gusar wanita berkulit kuning langsat di hadapannya. Dengan kedua tangan yang sama-sama tertumpuk di meja layaknya kedua tangan Wenny, ia berkata, “Enggak mungkin, Wen. Mustahil. Alasanku keluar dari rumah saja karena aku enggak bisa menyanggupi persyaratan mereka. Mereka bilang, mereka malu punya anak seperti aku. Mereka baru akan menerimaku bila aku memiliki calon suami yang lebih kaya dari calon suami Inara.” Tanpa Intan kehendaki, air matanya luruh membasahi pipi. Ia segera menggunakan kedua jemari tangannya untuk menyekanya. “Kadang aku mikir, salahku apa, sih? Aku enggak nyuri apalagi jual diri! Aku kuliah sambil kerja di banyak tempat, kepalaku sampai pitak parah karena terlalu pusing sekaligus capek, selain aku yang benar-benar harus bagi waktu. Aku beneran hanya butuh dukungan dari orang tua sekaligus keluargaku, Wen. Enggak apa-apa mereka selalu bilang enggak punya uang lebih untuk membiayai pendidikanku karena semua uang mereka memang difokuskan untuk biaya pendidikan Inara. Beneran, aku mati-matian kuliah kejar biaya siswa sambil terus kerja di banyak tempat karena memang tetap harus keluar biaya buat keperluan kuliah.” Intan terengah-engah dan sengaja mengatur napasnya. Ia menghela napas pelan demi meredam rasa sesak yang seketika menguasai kehidupannya hanya karena keadaan sekarang—membahas ketidakadilan yang ia dapatkan dari orang-orang terdekatnya. “Sering aku mikir, kenapa mereka begitu membenciku? Apakah karena aku anak tiri? Atau justru sebenarnya aku anak musuh mereka yang sengaja mereka tawan sekaligus siksa? Ini enggak masuk akal, Wen!” Sambil berlinang air mata dan terisak pilu, Wenny mengangguk-angguk. “Berada di titik sekarang, aku benar-benar masih enggak percaya. Aku beneran enggak percaya, aku yang selalu dianggap enggak berguna, dan selalu dianggap bikin malu keluarga karena aku enggak bisa lebih baik dari Inara, bisa jadi dokter spesialis anak di usiaku yang sekarang.” Intan masih terisak pilu. Ia membiarkan kedua tangannya digenggam Wenny. Wenny mengangguk-angguk. “Asli, Tan. Kamu hebat banget! Kita sama-sama memulai sekaligus berjuang, dan aku masih butuh dua tahun lagi biar bisa resmi kayak kamu! Serius, kamu hebat banget. Mulai sekarang, kamu jangan dengar kata mereka yang enggak suka ke kamu bahkan meski itu orang tua sekaligus keluargamu, ya. Karena sampai kapan pun, mereka yang enggak suka ya memang ujung-ujungnya selalu bikin kita sakit. Sudah, tenangkan pikiran kamu, pikirkan yang bikin happy saja. Kita sama-sama jaga kewarasan, Tan.” Intan menunduk kemudian mengangguk-angguk kaku beberapa kali. Sungguh berat, meski hingga detik ini Intan tetap berusaha menjadi pribadi lurus yang mengabdikan hidupnya untuk keluarga. Ya Tuhan, jika ini takdirku, tolong beri aku kesabaran sekaligus kesehatan lebih! Batin Intan sambil terus menunduk. Rantai air mata masih mengikat kebersamaan mereka tanpa perubahan berarti. Wenny masih menggenggam kedua tangan Intan, masih mencoba menenangkan sahabat baiknya itu. Tiba-tiba saja, Wenny teringat mengenai pertanyaan Intan mengapa sahabatnya itu diperlakukan berbeda oleh orang tuanya sendiri? Jangan-jangan benar, Intan memang anak dari musuh pak Andri dan bu Irma, mereka sengaja menyiksa Intan buat balas dendam? Pikir Wenny. Sungguh, ia tak tega pada sahabat baiknya yang terus diperlakukan bak musuh oleh orang tua sekaligus keluarganya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN