Setelah hampir dua belas jam perjalanan, Razan dan Yasna pun akhirnya sampai di sebuah rumah minimalis bercat putih dengan halaman rumah yang luas dan ditumbuhi rerumputan hijau nan rapih. Halaman rumah itu hanya dibatasi oleh pagar yang terbuat dari tanaman rambat yang tampak terawat dan gerbang kayu kecil.
Seorang wanita paruh baya tampak duduk di teras rumah yang berlantai kayu jati sembari menyeruput minuman di dalam cangkirnya. Seorang pria yang kepalanya juga sudah ditumbuhi rambut putih tampak memegang gunting rumput di tangannya dan menoleh ke arah mobil yang baru saja berhenti di depan gerbang rumahnya.
Yasna turun lebih dulu dan membuat kedua pasangan paruh baya itu langsung tersenyum senang sembari menghampirinya. "Assalamualaikum, Umi... Abi... " Ia menyalami tangan kedua orangtuanya.
"Waalaikumsalam. Syukurlah kamu sampai dengan selamat, nak," ucap Umi yang sebenarnya sudah menunggu kedatangan buah hatinya ini.
"Mana calon suamimu?" tanya Abi kali ini. Matanya menuju ke arah pria berkemeja navy yang baru saja turun dari mobilnya. Kedua sudut bibirnya terangkat terutama ketika pria berwajah ramah itu menyalami tangannya.
Razan pun ikut turun dan menyalami kedua orangtua Yasna dengan sopan. "Assalamualaikum, Om, Tante. Apa kabar? Maaf saya jadi pergi berdua aja sama Yasna ke sini dan belum membawa kedua orangtua saya."
"Alhamdulillah, kabar kami baik kok. Nggak apa-apa. Ayo mari masuk dulu. Biar kita sambil ngeteh." Abi menuntun Razan untuk segera masuk ke rumah mereka.
Rumah minimalis milik orangtua Yasna tampak asri. Dengan lantai dari kayu serta dinding berwarna putih yang cantik. Di dalam rumah itu juga tidak terlalu banyak perabotan. Hanya sofa berwarna cream dengan meja bulat yang terbuat dari kayu jati di bagian tengah. Sebuah lemari kaca besar menjadi pembatas ruang tamu dengan ruang keluarga yang tersedia TV serta sofa berwarna biru muda.
"Silahkan duduk dulu, biar umi bawakan teh dan camilan untuk kalian. Oh ya, kalian udah makan malam?"
"Udah kok, Mi. Lagipula kita terlalu malam sampainya." Yasna tersenyum kecil lalu mengajak ibunya ke dapur sementara Abi menemani Razan di ruang tamu.
"Bagaimana perjalanannya? Nggak sulit kan mencari alamat rumah ini?" tanya Abi berbasa-basi.
"Nggak kok, Om. Lagipula masih masuk ke jalan besar dan Yasna juga tidak mungkin lupa dengan rumahnya sendiri." Razan tersenyum sungkan.
"Abi hanya nggak menyangka jika Yasna akan secepat ini mendapatkan jodohnya. Abi sangat senang. Selama ini abi khawatir karena anak itu hidup di perantauan meski ada tantenya. Apalagi dia anak perempuan satu-satunya yang kami punya, adiknya juga masih di Surabaya. Kami hanya berdua jadinya di sini," ucap Abi yang tampak terharu karena anak perempuannya akan segera dipinang.
"Saya juga senang karena akan segera meminang anak Om. Jujur, saya menyukainya sejak lama tapi kami baru kali ini berkenalan secara langsung." Wajah Razan tampak memerah saat mengingat beberapa tahun yang lalu, sejak pertemuan pertamanya dengan Yasna yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Cinta pertamanya itulah yang sebentar lagi akan menjadi teman seumur hidupnya.
"Benarkah? Memang ya jodoh nggak akan kemana." Abi tampak mengangguk-angguk.
Tak lama Yasna kembali bersama Umi dan membawakan satu nampan berisi empat cangkir teh hangat dan pisang goreng yang aromanya sangat sedap.
"Diminum dulu, Nak." Umi menyodorkan secangkir teh hangat ke arah Razan. "Teh di sini enak loh. Asli dari kebunnya."
"Wah! Pantas aromanya enak sekali. Saya minum ya, Tante." Razan mengangkat cangkirnya dan meminum tehnya sedikit. Aroma teh yang khas langsung menyambut indera penciumannya, rasa hangat juga menjalar di tenggorokannya.
"Hayo pada ngomongin apa tadi?" tanya Yasna yang kini duduk di samping abinya.
"Ngomongin kamu lah. Jomblo kelamaan tahu-tahu pulang bawa calon suami. Untung umi sama abi nggak jantungan," canda Abi yang membuat wajah Yasna memerah.
"Ih! Abiiiii."
"Memangnya, kapan rencana kalian akan menikah? Jangan lama-lama, nggak baik." Umi ikut bicara.
"Eh itu... rencananya dua bulan lagi, Tante. Setelah saya libur kuliah."
"Oh iya kamu masih kuliah ya. Apa nggak apa-apa sama orangtua kamu?" tanya Abi yang ikut cemas.
"Nggak kok, Om. Orangtua saya malah senang. InsyaAllah saya akan bertanggungjawab penuh atas Yasna. Jadi meski saya masih kuliah, saya tidak akan merepotkan kedua orangtua saya atas pernikahan saya nanti," jawab Razan dengan nada meyakinkan.
Yasna sebenarnya juga sudah cerita dengan kedua orangtuanya soal kondisi Razan dan usaha apa yang pria itu miliki. Kedua orangtuanya pun percaya jika Razan adalah pria yang bertanggung jawab.
"Ya, ya. Memang harus begitu. Karena pernikahan bukan hanya soal menyatukan dua hati saja, tapi juga tanggungjawabnya yang besar. Ketika usai ijab qobul nanti, semua tanggung jawab Yasna sepenuhnya telah berpindah ke tanganmu. Baik buruknya istrimu adalah tergantung bagaimana kamu mendidiknya."
Razan mengangguk mengerti. "InsyaAllah saya siap, Om."
Umi menatap Yasna yang tampak malu-malu lalu menggenggam tangan anak perempuannya itu dengan erat. "Yasna anak yang mandiri, insyaAllah dia akan menjadi istri yang baik asal kamu sabar membimbingnya."
"Iya, umi. InsyaAllah."
"Ya sudah. Ini sudah malam. Baiknya kalian istirahat dulu. Besok dilanjutkan lagi pembicaraannya." Abi menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. "Kamu bisa tidur di kamar Yufzar, umi sudah menyiapkannya. Ingat, kalian belum sah jadi suami istri. Harus bisa saling menjaga diri."
"Ih! Abi. Iya tahu kok. Yasna juga udah ngantuk nih." bvc malah menggamit lengan ayahnya dengan posesif. Ia memang dekat dengan kedua orangtuanya, berbeda dengan adik laki-lakinya yang agak cuek. Sayangnya Yasna belum bisa menemui adik kesayangannya itu karena masih masa-masa kuliah.
Razan pun masuk ke dalam sebuah kamar yang tidak terlalu luas itu. Hanya ada satu single bed, meja belajar dan sebuah lemari kayu besar di dalamnya. Banyak gantungan foto yang memperlihatkan wajah pria yang baru beranjak dewasa bersama Yasna dan kedua calon mertuanya. Sepertinya ini adalah adik kandung Yasna yang sedang kuliah di Surabaya. Wajahnya seperti Yasna versi laki-laki. Razan jadi tersenyum melihatnya. Pasti menyenangkan punya saudara kandung, tidak seperti dirinya yang adalah anak tunggal. Meski sepupunya banyak yang lebih muda dan lebih tua darinya, tapi ia tidak punya saudara kandung.
Pria itu pun memutuskan untuk segera beristirahat karena besok siang ia harus kembali lagi ke Jakarta untuk mengantar Yasna dan langsung ke Bandung juga. Kesibukan kuliahnya membuat pria itu tidak bisa terlalu berleha-leha. Untungnya Yasna tidak pernah menuntut apapun padanya seperti gadis-gadis lain yang selalu ingin diperhatikan oleh pasangannya. Meski begitu, Razan selalu berusaha meluangkan waktunya untuk berkomunikasi dengan Yasna atau menemui gadis itu di akhir pekan. Ia tahu pentingnya komunikasi untuk pasangan, apalagi mereka akan segera menikah.
"Dia masih sama seperti beberapa tahun yang lalu." Razan menyentuh foto Yasna yang sedang merangkul Yufzar yang lebih tinggi dari gadis itu.