Prolog
"Maafkan saya, Razan. Yasna sudah memasuki stadium ke empat pada kanker otaknya. Sel kankernya ternyata belum benar-benar hilang pasca operasi beberapa bulan yang lalu."
Penjelasan dari dokter Brian, salah satu dokter spesialis kanker terbaik di rumah sakit tempat Razan bekerja itu pun seketika membuat pria bermata kecoklatan itu mendadak basah. Awalnya Razan percaya jika istrinya sudah sembuh, tapi semua yang Yasna alami selama beberapa minggu terakhir ini cukup membuatnya tahu... jika Yasna masih tidak baik-baik saja. Bahkan penyakit yang dideritanya empat tahun terakhir ini malah semakin parah. Razan benar-benar menyesal karena telat mengetahui penyakit yang menggerogoti tubuh istrinya.
"Jadi, apa yang bisa kulakukan, Bri?" tanya Razan dengan keputusasaan.
"Kita hanya bisa mencegah sel kanker ini berkembang, Razan. Kemoterapi rutin adalah jalan satu-satunya. Operasi sudah tidak mungkin lagi karena perkembangan sel kanker ini sangat cepat." Brian menghela nafas, menyesal karena harus mengatakan hal terburuk bagi wali keluarga pasiennya. Ia juga tidak mungkin berbohong dan mengatakan semua baik-baik saja, kan? Ia tidak mau memberi harapan palsu pada siapapun.
"Baiklah. Aku rasa aku harus kembali ke kamar rawat istriku sekarang. Entahlah. Semua ini benar-benar membuatku cemas." Razan menyugar rambut hitamnya ke belakang.
Brian menepuk pundak Razan. "Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kamu yakin, Razan. Teruslah berdoa untuk istrimu. Saat ini dia sangat butuh support darimu. Jika kamu saja putus asa, bagaimana dengannya?"
.................
Razan menggeser pintu kamar rawat istrinya dan membukanya. Yasna sedang duduk di ranjang dengan selang infus yang menempel di punggung tangannya. Wajahnya begitu pucat setelah pingsan seharian ini, meski begitu... wajah pucat itu masih berusaha menyambut kedatangannya dengan senyuman. Seketika Razan takut, jika senyum itu tidak bisa dilihatnya lagi. "Bagaimana keadaanmu?"
"Alhamdulillah. Aku baik, Mas. Apa kata Dokter Brian?" tanya Yasna masih dengan senyum tipis di bibir ranumnya.
Razan menyadari jejak-jejak air mata di pipi istrinya, membuatnya yakin jika sebelum ini pasti Yasna habis menangis. Mungkin juga wanita ini menyadari apa yang terjadi.
"Apa penyakit itu telah kembali?" Yasna kembali bertanya saat melihat suaminya tak kunjung menjawab pertanyaannya dan malah duduk di kursi di samping ranjangnya. Tangannya terulur dan menggenggam tangan kekar dan hangat itu. "Katakanlah... seburuk apapun keadaanku." Ia menghela nafas seolah telah menebak apa yang terjadi.
"Kamu harus rutin menjalani kemoterapi, Sayang. Kamu pasti bisa sembuh." Razan membalas genggaman tangan istrinya, menyatukan jari jemari mereka dan mengecup punggung tangan Yasna dengan lembut.
Setetes air mata turun dari netra Yasna. Namun bibirnya masih berusaha terangkat membentuk senyuman. Senyuman yang malah membuat Razan semakin hancur. "Kesempatanku kecil, kan?"
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Tidak ada yang tidak mungkin, Yasna. Termasuk kesembuhanmu." Razan tidak suka mendengar nada putus asa yang keluar dari bibir istrinya, meski ia sendiri pun sama putus asanya.
"Tapi, Mas... Kamu dan Naura... "
"Sudahlah, Yasna. Kenapa kamu malah memikirkan kami? Kamu harusnya memikirkan kesehatanmu. Kamu harus lekas sembuh, dengan begitu tidak akan ada yang merasa kehilangan." Razan tahu apa yang akan istrinya katakan. Ia tidak sanggup mendengarnya lagi. Kata-kata yang pernah Yasna katakan di saat wanita itu pertama kali tahu soal penyakitnya beberapa bulan yang lalu, ia tidak akan pernah melupakannya.
"Aku mohon, Mas. Demi Naura... aku tidak ingin dia kehilangan sosok seorang ibu."
"Kamu masih di sini, Yasna. Kamu masih hidup, kamu masih ibunya Naura, kamu masih istriku... lantas apa yang harus kita khawatirkan?"
"Hidup matiku tidak ada yang tahu, Mas. Sampai kapan aku bertahan, tidak ada yang bisa memastikannya. Aku hanya ingin sebelum kepergianku, kalian bisa terbiasa dengan kehadiran Afsa. Aku mohon, ini satu-satunya permintaan terakhirku. Aku tidak ingin apapun selain kebahagiaan kalian setelah aku pergi."
Razan menunduk, berusaha menulikan pendengarannya. Bagaimana bisa istrinya merencanakan semua itu dan bukannya mengkhawatirkan dirinya sendiri? Kenapa Yasna begitu egois menjodohkannya dengan salah satu junior di kampusnya dulu? Kenapa istrinya tidak bisa yakin saja untuk sembuh? Seakan Yasna akan pergi dalam waktu dekat. Pria itu benar-benar hancur. Air mata meleleh di pipinya tanpa bisa ia tahan.
"Aku sangat mencintaimu, Mas. Saking cintanya... aku tidak ingin kamu sedih berlarut ketika aku pergi nanti. Saking cintanya, aku tidak rela jika kamu kesepian setiap malam saat aku tiada."
"Yasna... "
"Aku mohon... sekali ini saja turuti permintaanku."
Ya, Yasna memang selama hampir lima tahun menjadi istri Razan, dia tidak pernah meminta apapun padanya. Tapi permintaan pertama dan terakhirnya kali ini justru menjadi kebimbangan terbesar dalam hati Razan. Di satu sisi Razan sangat mencintai Yasna dan tidak ingin berbagi tempat Yasna dengan siapapun, di sisi lain ia ingin menuruti permintaan Yasna.
"Baiklah. Tapi aku tidak janji bisa mencintainya."
Yasna tersenyum tipis. "Allah maha membolak balikkan hati manusia, Mas. Jangan cemaskan hal itu. Afsa adalah wanita yang baik, dia pasti bisa jadi ibu yang baik untuk Naura dan istri yang baik untuk kamu."